Para 'korban' biasanya adalah orang baik yang ingin pasangannya yang narsis berubah. Korban akan berusaha terus mengisi hati pasangannya yang narsis sekalipun kekosongan itu tidak akan pernah bisa terisi.
Dr. Ramani ingin kita memandang narsisisme dari sisi yang tidak banyak orang tahu.
Sosok narsistik yang dimaksudnya bukan sosok yang sebagian besar masyarakat kenal. Bukan sosok dalam mitos Yunani bernama Narcissus, yang punya kekaguman berlebihan terhadap dirinya sendiri. Bukan pula narsis yang gemar unjuk kehebatan dan kemewahan di media sosial.
Dr. Scott M. Peck, dalam buku Road Less Traveled, menggambarkan orang narsis seperti tokoh ibu di bawah ini:
Susan, pasien Dr. Scott, mengidap skizofrenia. Sejak usianya 18 tahun, sudah berkali-kali dia mencoba bunuh diri, dan selama 13 tahun terakhir harus keluar-masuk rumah sakit jiwa. Setelah beberapa bulan terapi, kondisinya jauh membaik. Kemajuannya sangat pesat.
Ibunya lalu diminta datang. Kabar gembira tersebut harus didengarnya sendiri. Dalam pertemuan, alih-alih senang karena Susan membaik, sang Ibu justru bersedih. Mengapa? Tangis itu bukan karena derita sang putri, melainkan karena deritanya sendiri.
Terungkap kemudian gambaran yang lebih jelas.
Semasa sekolah, suatu hari Susan mendapat nilai A untuk pelajaran menggambar. Siang itu, sang ibu kebetulan sedang gundah-hati. Saat Susan bercerita, bukannya menyimak kabar bahagia itu, si ibu malah mengeluhkan cara mengajar guru-guru di sekolah sang putri.
Lain waktu, Susan pulang ke rumah sambil menangis akibat dibuli teman laki-laki di bus sekolah. Siang itu, sang Ibu sedang suka-hati. Begini tanggapannya, "Untung ya supir kalian baik; sabar, padahal kalian suka ribut. Natal nanti kita bawakan hadiah buat pak supir."
Bagi si ibu, dunia ini adalah dirinya sendiri.
Yang digambarkan Dr. Ramani di bawah lebih ekstrim (sekaligus mengerikan):