Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Pakar: Dr. Ramani Durvasula - Kongsian Dua Cupang Jantan | Narsisisme (1)

15 Desember 2022   20:09 Diperbarui: 15 Desember 2022   20:30 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[tangkapan layar - kanal YouTube MedCircle]

Hidup bersama pasangan dan terus bahagia tanpa anak untuk nanti merayakan ulang tahun perkawinan ke-60?

Ini termasuk angan yang belum tentu mustahil. Dengan kerja dan kemauan keras mereka berdua serta uluran tangan Ilahi, angan itu di dunia nyata bisa mewujud.

Hidup bersama orang narsis dan menjadi bahagia dan tetap waras?

Ini angan yang sudah pasti mustahil. Diiringi kerja dan kemauan sangat keras pihak yang bukan-narsis pun, angannya tetap mustahil menjadi kenyataan.

Dibanding mewujudkan angan itu, lebih mudah ini: 'Mencari cuan besar dengan memodali dua ikan cupang jantan yang mau kongsian membuka warung sate lilit lima-ratusan aseli Bali di New York City'.

Begitulah kira-kira Dr. Ramani Durvasula menggambarkan betapa mustahilnya menjadi bahagia ketika kita bersama orang narsis, entah sang narsis itu orang tua kita, teman, rekan, atasan, siapa pun.

Sebagian, khususnya yang belum pernah berinteraksi lama lagi intens dan belum terdampak oleh orang narsis, bisa jadi akan berkomentar, "Semua hubungan bisa diperbaiki dan dipertahankan. Dengan kasih sayang, segalanya mungkin."

Pendapat bertolak-belakang akan datang dari mereka yang sudah berhasil lepas dari orang narsis. "Memang sedemikian itu mustahilnya!"

Yang paling terpukul dan menderita (menjadi 'korban') adalah mereka yang terikat kuat secara hukum, agama atau alasan lain. Misalnya pihak yang narsis adalah orang tua atau pasangan hidup.

Kekasih, isteri atau suami yang narsis, tidak sudi melepas pasangannya. Mereka ini golongan yang mudah pergi meninggalkan pasangan, tetapi tidak sudi menjadi pihak yang ditinggal pergi. Mereka akan berjuang keras mempertahankan 'benda miliknya' yang sudah di tangan.

Para 'korban' biasanya adalah orang baik yang ingin pasangannya yang narsis berubah. Korban akan berusaha terus mengisi hati pasangannya yang narsis sekalipun kekosongan itu tidak akan pernah bisa terisi.

Dr. Ramani ingin kita memandang narsisisme dari sisi yang tidak banyak orang tahu.

Sosok narsistik yang dimaksudnya bukan sosok yang sebagian besar masyarakat kenal. Bukan sosok dalam mitos Yunani bernama Narcissus, yang punya kekaguman berlebihan terhadap dirinya sendiri. Bukan pula narsis yang gemar unjuk kehebatan dan kemewahan di media sosial.

Dr. Scott M. Peck, dalam buku Road Less Traveled, menggambarkan orang narsis seperti tokoh ibu di bawah ini:

Susan, pasien Dr. Scott, mengidap skizofrenia. Sejak usianya 18 tahun, sudah berkali-kali dia mencoba bunuh diri, dan selama 13 tahun terakhir harus keluar-masuk rumah sakit jiwa. Setelah beberapa bulan terapi, kondisinya jauh membaik. Kemajuannya sangat pesat.

Ibunya lalu diminta datang. Kabar gembira tersebut harus didengarnya sendiri. Dalam pertemuan, alih-alih senang karena Susan membaik, sang Ibu justru bersedih. Mengapa? Tangis itu bukan karena derita sang putri, melainkan karena deritanya sendiri.

Terungkap kemudian gambaran yang lebih jelas.

Semasa sekolah, suatu hari Susan mendapat nilai A untuk pelajaran menggambar. Siang itu, sang ibu kebetulan sedang gundah-hati. Saat Susan bercerita, bukannya menyimak kabar bahagia itu, si ibu malah mengeluhkan cara mengajar guru-guru di sekolah sang putri.

Lain waktu, Susan pulang ke rumah sambil menangis akibat dibuli teman laki-laki di bus sekolah. Siang itu, sang Ibu sedang suka-hati. Begini tanggapannya, "Untung ya supir kalian baik; sabar, padahal kalian suka ribut. Natal nanti kita bawakan hadiah buat pak supir."

Bagi si ibu, dunia ini adalah dirinya sendiri.

Yang digambarkan Dr. Ramani di bawah lebih ekstrim (sekaligus mengerikan):

Orang narsis belum tentu psikopat atau sosiopat, tapi,
Semua sosiopat pasti narsis;
Semua psikopat pasti narsis.

Orang narsis adalah orang yang ciri umumnya begini: super egois, sangat angkuh, sukanya diperhatikan orang, ingin selalu diiyakan, tidak mau mendengarkan orang lain, tidak mau disela saat sedang bicara.

Pribadi yang narsis memang bentukan; produk samping pengasuhan yang keliru oleh orang tua. Mereka oleh orang tuanya diberi perhatian berlebihan di satu sisi (untuk hal-hal di luar diri anak, lebih untuk kepentingan orang tua) namun kurang sekali diperhatikan dari sisi lain (untuk hal-hal yang pokok bagi perkembangan jiwa anak).

Orang narsis mesti dibedakan dari orang yang mengalami gangguan kepribadian narsistik atau narcissistic personality disorder (NPD).

Orang NPD sama-sama narsistik tetapi mereka merasakan gangguan ini sebagai beban. Mereka merasa ada yang salah dan mengganggu pada diri mereka. Mereka merasa tidak nyaman.

Layaknya orang yang pencemas. Kecemasan itu mengganggu mereka. Atau orang yang mengalami depresi. Depresi itu membuat hidup mereka tidak nyaman.

Nah, orang narsis itu orang yang pembawaannya memang narsistik. Mereka tidak merasa terganggu dengan sifatnya itu. Mereka merasa nyaman-nyaman saja menjadi orang narsis.

Di tengah kita ada orang periang,  ada orang pencemburu, ada orang yang suka membanyol. Dan ada orang narsis.

Ada 30 ciri orang narsis, sesuai pengamatan Dr. Ramani. Orang dikatakan positif narsis jika pada dirinya ada 6 ciri berikut:

(1). Empatinya tidak ada atau sangat kurang: Mereka harus diajari cara berempati.

(2). Sangat ingin diistimewakan: Tidak boleh orang diistimewakan selain dirinya.

(3). Selalu ingin dikagumi: Apa yang dilakukan dan dikatakannya selalu ingin diiyakan dan dibenarkan orang.

(4). Punya fantasi berlebihan: Ingin terlihat atau tampil bersama orang yang mereka anggap sehebat atau semenarik mereka.

(5). Sangat peduli dengan tampilan luar dan citra diri mereka dan orang-orang di sekeliling mereka: Dalam menjalin hubungan, yang terpenting bagi mereka adalah pasangan yang membuat mereka terlihat tampan, bukan pasangan yang membuat mereka merasa nyaman.

(6). Sangat tidak mampu menata perasaan: Sangat mudah marah dan mengamuk (terutama jika kemauan mereka tidak dituruti), sangat tidak bisa menerima kritikan.

Masih ada lagi ciri lain:

(7). Suka cemburu; (8). Angkuh; (9). Biasanya tidak begitu setia; (10). Senang melihat orang lain menderita; mereka bisa jadi sosok yang kejam.

Satu ciri khas orang narsis sering muncul dan gampang dikenali. Mereka biasa melakukan teknik 'gaslighting' terhadap pasangan.

Gambarannya kira-kira seperti ini: "Aku sekarang bisa melihat pribadi orang setelah ritual kemarin. Dan aku sekarang tahu bahwa kamu itu menikahi aku karena aku berasal dari keluarga terhormat, punya penghasilan besar, lulusan universitas ternama."

Atau ini: "Otak kamu kecil ya. Apa sih yang kamu ingat? Kamu kan pernah berkali-kali bilang bahwa kamu tidak mau lagi punya ikatan keluarga dengan aku."

Padahal pasangannya tidak pernah berpikiran atau berkata begitu. Jika ini terus berulang, sang pasangan lama-lama akan menyangsikan kewarasannya sendiri.

Ketika, dalam interaksi kita dengan seseorang, terlintas di pikiran, "Mesti direkam nih... Buat bukti nih ...", bisa jadi kita tengah berhadapan dengan orang narsis yang sedang melakukan 'gaslighting' terhadap kita.

Kembali ke bahasan di atas tentang angan yang sudah pasti mustahil.

Memang tidak mungkin bisa bahagia hidup bersama pasangan yang berkepribadian narsis. Luka yang mereka robekkan biasanya sangat lebar, dalam dan banyak. Dan sayangnya, 'sang korban' baru 'siuman' setelah diingatkan puluhan tahun oleh keadaan atau puluhan kali oleh orang-orang yang memang paham soal narsisisme.

Kesadaran muncul terlambat. Muncul setelah mereka hidup menderita begitu lama.

Meski tidak semustahil berkongsi dengan dua cupang jantan, karena beberapa alasan seperti, agama tidak membolehkan perceraian, 'beliau orangtua aku',  hidup berdampingan dengan orang narsis tetap bisa dilakoni, meski perjuangannya sungguh berat.

Sebab yang mesti diubah adalah cara-pandang dan tata-perasaan sang pasangan si narsis.

[bagian 1 dari rangkuman bincang-bincang podcast Dr. Ramani Durvasula bersama Kyle Kittleson dari kanal YouTube MedCircle]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun