Mohon tunggu...
donny somawidjaya
donny somawidjaya Mohon Tunggu... Konsultan Hukum -

Penulis adalah Analis alias tukang mikir, pengamat hukum , Politik, Ekonomi, Agama, penggiat UMKM dan praktisi hukum bisnis yang suka menabung Amal dengan berbagi. for discussion dswidjaya01@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menangkal Fenomena "Asing" Secara Sah dalam Konteks WTO

15 Mei 2017   13:13 Diperbarui: 23 Mei 2017   11:21 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Peraturan Presiden No 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dimana ketentuan tersebut notabene adalah turunan dari Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Didalam Perpres tersebut usaha yang tertutup bagi asing hanya terdiri dari 20 golongan KBLUI (klasifikasi baku lingkup usaha Indonesia) , sisanya terbuka untuk asing, meski untuk sektor usaha tertentu ada pembatasan maksimal saham, namun dalam praktik dapat saja perusahaan asing /investasi asing dapat menempuh jalur “naturalisasi”, dimana penanam modal asing akan masuk serta mendirikan perusahaan berbadan hukum Indonesia melalui usaha yang dapat dikuasai asing atau menggunakan pendiri ber WNI yang telah membuat perjanjian khusus, sehingga badan usahanya berstatus badan hukum nasional/perusahaan nasional, dimana setelahnya perusahaan yang telah terbentuk tersebut dikemudian hari berinvestasi pada usaha yang diharuskan dimiliki oleh penanam modal dalam negeri 100%. Disamping itu namun menurut kepala pengembangan investor BEI Irmawati Amran dikutip dari detik.com tahun 2016 saham yang dibuka ke publik yang dikuasai asing sebesar + 60 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa unsur asing setidaknya dapat mendominasi ekonomi nasional.

Seperti yang telah digambarkan pada bagian awal tulisan ini bahwa setiap negara yang melanggar prinsip WTO akan dikenakan sanksi baik sanksi pencabutan kebijakan nasional, ganti rugi (gugatan perdata internasional atas dasar keputusan WTO) , dan retaliasi. Namun yang paling berat sebenarnya bukanlah sanki WTO namun efek psikologis yang ditimbulkan dari sanksi WTO terutama retaliasi yaitu dikucilkan dalam kelompok-kelompok perdagangan internasional yang berdampak pada ekonomi nasional , sederhananya ilustrasinya adalah jika Indonesia menerapkan kebijakan protektif terhadap produk barang/jasa, investasi nasional atas Inggris / Amerika dengan maksud mengamankan ekonomi nasional maka Indonesia akan terkena sanksi WTO yaitu ditetapkan melakukan pelanggaran prisip MFN-non diskriminasi hal ini belum berefek apa apa sampai negara yang mengajukan gugatan/complain pada WTO dalam ilustrasi ini misalnya Inggris/Amerika menyerukan pada kelompoknya , misalnya Uni Eropa/ sekutu Amerika untuk menangguhkan hubungan dagang dengan Indonesia terhadap suatu produk Indonesia baik berupa barang/jasa/investasi dengan justifikasi resolusi WTO, maka Indonesia akan kehilangan stabilitas ekonomi untuk sementara waktu, dalam ilustrasi ini misalnya Indonesia tidak lagi dapat menjual nikel atau produk laut ke negara Eropa/ Amerika, maka kerugian perusahaan eksportir nasional dalam hal ini akan berdampak pada kesinambungan perusahaan jika gagal maka perusahaan akan melakukan efisiensi tenaga kerja akibat tidak adanya produk yang terjual, demikian juga dalam hal investasi misalnya penangguhan/larangan investasi atau yang terburuk adalah pengambil alihan/nasionalisasi perusahaan Indonesia di Luar negeri tentunya ini berakibat efisiensi tenaga kerja juga berakibat pada daya beli nasional dan berujung pada stabilitas ekonomi nasional disamping Indonesia akan kehilangan devisa. Demikian juga halnya pembatasan pada sektor lembaga keuangan baik Bank maupun non Bank dimana dalam sektor ini kekhawatiran penguasaan ekonomi nasional oleh asing cukup tinggi. Hal ini yang tentunya sangat ditakuti setiap negara, jadi bukan sanksinya namun akibat luas dari sanksi tersebut jika suatu negara tidak punya kemandirian atau ketahanan ekonomi nasional. Pada umumnya dewasa ini dunia telah menerima liberalisme dengan justifikasinya, namun tidak berarti liberalisme total mengingat hal tersebut akan mempengaruhi kedaulatan suatu negara dan lebih jauh eksistensi suatu negara, termasuk negara yang menggaungkan total liberalisme itu sendiri. bagi negara yang mempunyai kekuatan ekonomi seperti negara maju menghendaki adanya liberalisasi total mengingat mereka :

1. Menghendaki adanya perluasan sektor usaha /perdagangan,

2. Penguasaan ekonomi internasional,

3. Politik,

4. Jika dimungkinkan perluasan wilayah kekuasaan.

Namun mereka juga mempunyai konsekwensi harus menerima negara lain di negaranya (liberalisme negara lain di negaranya), tapi hal tersebut tidak masalah bagi negara maju atau negara berkembang yang menuju negara maju karena mereka mempunyai kunci pertahanan yaitu ketahanan ekonomi nasionalnya yang diandalkan mampu meredam liberalisme negara lain di negaranya. Dengan kata lain bahasa sederhananya “silahkan anda masuk dan menembus saya jika anda mampu” bagi negara berkembang tentu hal ini sulit, ilustrasinya adalah pasar domestic Inggris atau Amerika Serikat dengan kemandiriannya ini berjuang untuk tidak tergantung dengan asing, proses produksi, distribusi dan konsumen dikuasai secara nasional, dengan hasil akhir rakyat mereka lebih yakin pada produk nasional dan percaya pada pemerintah karena telah membuktikan kesejahteraan hal ini yang membuat ketahanan ekonomi nasional mereka kuat, ketika negara berkembang mencoba masuk pada pasar domestic baik barang/jasa maupun investasi banyak effort yang harus mereka lakukan dan tidak mudah, banyak uang dan waktu yang harus dikerahkan. Kekuatan ini yang tidak semua dimiliki negara berkembang, sebagai contoh kebanyakan rakyat inggris/amerika akan memilih produk barang/jasa atau perusahaan nasional mereka daripada asing. Contoh kecil di Amerika khususnya, dan Inggris/uni eropa (sekutu amerika) Produk Apple lebih disukai/dominan daripada produk Samsung bahkan produk Tiongkok dianggap berkualitas rendah. Seberapapun murahnya produk tiongkok atau Samsung mereka lebih rela membeli produk mahal Aple (nb:ilustrasi).

Jadi kunci negara liberal sendiri untuk menangkal liberalisme adalah ketahanan ekonomi nasional dengan sistem ketahanan ekonomi nasionalnya. Dengan kata lain negara liberalis sendiri pada dasarnya tidak menghendaki adanya total liberalisme, liberalisme boleh tapi ada batasannya yang diperbolehkan tanpa melakukan pelanggaran. Hal ini dapat dilihat dari Amerika Sendiri yang menghendaki Trans Pacific Partnership agreement (TPP) namun pada masa pemerintahan Donald Trump justru menarik diri dari liberalisme dalam TPP karena ketakutannya, bahkan pada masa pemerintahan Donald Trump banyak kebijakan proteksi di buat dengan slogannya “Buy American, Hire American”. Disamping itu Amerika Serikat mencoba untuk memproteksi diri lebih kuat lagi dari berbagai sektor yang dianggap ancaman bagi Amerika Serikat dan lebih menguatkan konsep National Security mereka (baca: Fenomena Snowden dan Konsep National Security). Ini membuktikan bahwa liberalisme tidaklah mutlak, diperlukan juga proteksi, namun proteksi bagaimana yaitu proteksi yang tidak melanggar prinsip prinsip liberalisme yang diagungkannya sendiri.

3.Kaitannya dengan Tujuan Negara , Kesejahteraan Dan Ketahanan Ekonomi Nasional

Sebelum jauh mendalam memikirkan model seperti apa yang dapat menangkal fenomena asing dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional perlu kiranya kita kembali pada pemikiran paling sederhana dimasa lampau tentang untuk apa suatu negara itu ada, apa tujuan dari adanya suatu negara. Teori-Terori terkenal tentang Negara memberikan gambaran apa sebenarnya tujuan dari adanya suatu negara dimulai dari Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Terori ketiganya terkenal dengan teori Kontrak Sosial (Social Contract) meskipun ada sedikit perbedaan diantara ketiganya namun secara singkat point utama dari teori tersebut mempunyai kesamaan yaitu penyerahan hak-hak individu/kekuasaan kepada suatu kumpulan individu yang dipercaya untuk menjaga keamanan, keselamatan dan terpenuhinya hak-hak individu tanpa adanya konflik antar individu karena kepentingan masing-masing. Kumpulan individu tersebutlah yang menjadi cikal bakal terbentuknya suatu organisasi Negara. Lebih jauh sebelum adanya teori kontrak sosial, Aristoteles dalam bukunya Nichomachean Ethics telah mendeskripsikan secara tajam apa yang menjadi tujuan akhir masing-masing individu yaitu kebahagiaan sejati (great happiness) yang meliputi kesenangan, kehormatan, kekayaan yang diasosiasikan dan identik dengan kesejahteraan. Jadi setiap individu pada dasarnya ingin mencapai kesejahteraan yang merupakan hak dari setiap individu. Kembali pada teori kontrak sosial karena masing-masing individu berusaha memenuhi kesejahteraannya maka akan terjadi konflik (ego) , oleh karenanya kumpulan individu (negara) yang telah diberikan kewenangan oleh setiap individu bertujuan melindungi setiap individu dalam memperoleh kesejahteraan dari segala ancaman dan konflik. Oleh karenanya jika kembali kepada pemikiran sederhana tentang negara maka pada dasarnya Negara bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya dengan berbagai upaya untuk melindungi kesejahteraan. Hal senada juga dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno yang dikutip dari bukunya Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan (2003) bahwa tujuan negara adalah untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Model pemikiran ini diserap oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia, namun sebagian negara maju dan negara berkembang pada fase menuju negara maju lebih mengembangkan konsep ini dengan menerapkan konsep “National Security” yang lebih maju misalnya Amerika Serikat, Rusia, Cina.

Kembali pada Indonesia, maka tujuan negara Indonesia adalah wajib menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya, hal ini bisa kita lihat dalam Pancasila dan UUD 1945, lalu bagaimana jika dihadapkan dengan WTO yang ternyata mempunyai dampak negative yaitu mereduksi kesejahteraan nasional dengan adanya ketergantungan pada asing ketika tiba-tiba asing melakukan manuver politik? Sebagai contoh misalnya beberapa waktu yang lalu Indonesia sempat dihebohkan dengan Tempe impor, beras impor, kedelai impor dan beberapa buah-buahan asal tingkok yang disuplai oleh beberapa perusahaan nasional (PT) sebagai importer baik yang berunsur asing maupun perusahaan asing yang menyebabkan di beberapa supermarket harganya lebih murah dari pada produk sejenis dalam negeri yang bisa disebabkan karena politik dagang misalnya subsidi atau dumping atau memang biaya produksi yang murah terlebih ditambah factor beberapa supermarket grosir ber unsur asing atau mayoritas asing. Hal ini tentu berakibat produsen nasional mengeluh , barang tidak laku, beberapa gulung tikar meskipun ada slogan “100% cinta Indonesia”, “cintailah ploduk ploduk Indonesia” masih belum efektif menangkal asing. Yang menjadi sorotan dari fenomena tersebut adalah bagaimana fenomena tersebut membuat perekonomian nasional menjadi tergantung asing, anggap saja jika petani lokal tidak lagi mau memproduksi bahan baku tempe karena tidak lakunya tempe lokal, maka kita sangat tergantung dengan pasokan tempe impor, mungkin jika asing mengetahui ketergantungan Indonesia terhadap tempe misalnya dapat saja membuat rush dengan menyetop ekspor tempe ke Indonesia yang akibat sederhananya tidak ada lagi tukang gorengan tempe , banyak orang kehilangan mata pencaharian, daya beli menurun dan yang terburuk rush karena ekonomi nasional terhenti, ini baru ilustrasi terkait tempe impor, faktanya banyak dari produk agrikultur impor yang masuk ke Inodnesia dengan harga yang minimal sama atau lebih murah. Ini baru dari sisi agrikultur, bagaimana di bidang telekomunikasi? Anda tentu bisa membayangkan sendiri rush seperti apa yang terjadi, misalnya beberapa waktu yang lalu nomor telpon penulis terblokir (bukan terblokir karena salah pin pada SIM card), dan tidak pernah mengajukan blokir dan tidak ada orang dekat atau kerabat yang meminta diblokir, sementara untuk dapat meminta blokir harus ada prosedur yang dilalui guna bisa memblokir suatu nomor telepon dengan mencocokan data diri dengan data yang ada di pihak operator, dengan kata lain tidak mudah, tetapi kenapa bisa? Lalu bagaimana jika asing dengan political interestnya tiba tiba mematikan nomor telpon?sudah dapat dibayangkan bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun