Guna memudahkan pembaca dengan mengingat banyaknya hal-hal yang menjadi dasar pemikiran yang mendukung judul dari tulisan ini yang terkait satu sama lainnya , kiranya penulis perlu untuk meringkas menjadi beberapa segment yang pada intinya adalah bagaimana mendukung model ekonomi kerakyatan yang telah digaungkan para ahli dan praktisi terutama Bung Hatta yang dapat mewujudkan sistem ketahanan ekonomi nasional guna mengantisipasi ketergantungan terhadap asing demi menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia di Indonesia. Tulisan ini juga mengajak dan mengingatkan kembali sehingga kita lebih jauh dapat memikirkan bagaimana melalui kewajiban kesadaran “bela negara” dapat mempertahankan Indonesia dari segala ancaman khususnya ancaman terhadap ekonomi nasional dan kaitannya dengan hukum nasional dimana jika tidak dipertahankan dapat berujung pada disintegrasi bangsa. Disamping itu juga tulisan ini memberikan pandangan secara umum terkait realisasi/implementasi seharusnya dari intisari pemikiran ahli dan praktisi sebagai salah satu sistem ketahanan ekonomi nasional yang ditawarkan. Semoga “latihan penulisan” dalam rentan waktu yang singkat dari penulis ini dapat bermanfaat.
1.Fenomena Asing , World Trade Organization, Pengaruhnya serta efek World Trade Organization bagi Indonesia
Dewasa ini fenomena “asing” di Indonesia mulai menghangat terlebih ketika tenaga kerja asing asal Tiongkok dikabarkan mulai masuk ke Indonesia melalui perusahaan nasional yang baik dimiliki asing ataupun memiliki unsur asing, namun perlu diketahui juga tidak hanya tenaga kerja asal Tiongkok, tenaga kerja dari berbagai negara bahkan termasuk negara maju seperti Amerika Serikat juga telah masuk di Indonesia, para tenaga kerja asing ini dikabarkan bekerja sebagai tenaga kasar, level staff sampai dengan CEO. Gambaran akan hal ini dapat juga dilihat secara kasat mata dari fenomena peningkatan jumlah baik expatriat di Indonesia yang masuk secara sah maupun tenaga kerja illegal di lokasi lokasi bisnis atau perkantoran dan tempat hiburan seperti di Jakarta, Bandung dan Medan. Dulu ketika penulis masih mengikuti program TV Dunia Dalam Berita pkl 9.00 WIB (TVRI) khususnya yang mengabarkan meledaknya gudang peluru di Jakarta , pengamatan penulis masih sulit melihat orang asing yang identik dengan bule berkeliaran di kawasan bisnis dan perkantoran menggunakan pakaian formil di Jakarta, Bandung dan Medan, jikapun ada biasanya tidak berpakaian formil dan lebih terlihat sebagai wisatawan. Disisi lain pada masa itu orang asing dituntut untuk bisa berbahasa Indonesia hal tersebut disebabkan karena banyak orang Indonesia tidak terlalu peduli dengan bahasa Inggris dan juga banyak orang Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris termasuk penulis sendiri. Namun keadaan yang demikian jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana bahasa Inggris menjadi kewajiban nonformil bagi setiap orang untuk bisa menggunakannya apabila tidak ingin tertinggal baik dalam bisnis maupun dalam persaingan tenaga kerja juga dalam pendidikan, terutama bagi mereka yang bekerja pada perusahaan asing atau perusahaan nasional dengan unsur asing. Disamping itu berdasarkan data dari harian Rakyat Merdeka (23/01/2017) yang diolah dari KEMENAKERTRANS jumlah Tenaga Kerja Asing di Indonesia sejak 2014 sampai dengan 2016 mengalami peningkatan dimana pada tahun 2014 TKA berjumlah 68.762 orang sedangkan pada tahun 2016 berjumlah 74.183 orang meningkat +7,9% . demikian juga apa yang disampaikan kepala pengembangan investor BEI Irmawati Amran dikutip dari detik.com tahun 2016 saham yang dibuka ke publik yang dikuasai asing sebesar + 60 % . Hal tersebut setidaknya menjadi salah satu indikator bahwa asing memang sudah masuk ke Indonesia, belum lagi fakta bahwa beberapa dari lembaga keuangan baik bank maupun non perbankkan berstatus asing yang tentunya jika sektor finansial dikuasai asing dan roda perekonomian bersandar pada sektor finansial maka dimungkinkan ekonomi nasional juga tergantung pada asing disamping itu serapan tenaga kerja lokal di perusahaan asing di Indonesia juga cukup memberikan harapan bagi kesejahteraan para pekerja dengan kata lain sangat tergantung.
Fenomena ini sebenarnya dirasakan semakin meningkat dimulai sejak bergabungnya Indonesia dalam globalisasi melalui World Trade Organization (WTO) sejak tahun 1994 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing World Trade Organization, dimana setiap negara anggota diharapkan membuka diri (langsung atau bertahap) kepada seluruh anggota WTO tanpa pandang bulu dalam setiap aktifitas perdagangan / bisnis dunia dan mengeliminasi kebijakan proteksi bagi negara lain (asing), yang mana dalam rezim perdagangan international WTO dikenal dengan prinsip non diskriminasi . bahasa sederhananya adalah ketika Indonesia membuka hubungan dagang/bisnis dengan Amerika Serikat (ekspor/impor/investasi) sebagai salah satu anggota WTO, maka terhadap negara lain (anggota WTO lainnya) Indonesia juga wajib membuka diri dan tidak boleh menerapkan kebijakan proteksi atau berpihak terhadap satu negara saja, misalnya Indonesia juga memberikan perlakuan yang sama dengan Amerika Serikat terhadap Tiongkok selaku anggota WTO, di WTO prinsip ini dikenal dengan Most Favoured Nation (MFN) Treatment-Non Discrimination principles. Disamping itu kebijakan proteksi juga tidak boleh diterapkan pada asing yang berdagang/berbisnis di Indonesia, mulai dari aktifitas perdagangan barang dan jasa sampai investasi, misalnya adanya kebijakan yang mebeda-bedakan perlakuan terhadap produk asing dengan produk lokal yang dikategorikan sebagai kebijakan proteksi, sebagai contoh produk Indonesia dikenakan ppn 5% sedangkan produk asing yang sudah masuk di Indonesia dikenakan 10% untuk barang / jasa yang sejenis. Dalam rezim WTO juga dikenal sanksi atas pelanggaran terhadap prinsip non diskriminasi, bisa ganti rugi sampai dengan tindakan retaliasi (pembalasan). oleh karenanya dapat juga dikatakan bahwa fenomena asing yang terjadi dewasa ini dapat masuk melalui tiga kategori yaitu kategori produk barang yang diatur dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) , produk jasa (termasuk tenaga kerja) yang diatur dalam General Agreement on Trade of Services (GATS) dan investasi yang diatur dalam Trade Related of Investment Measures (TRIMS). Khusus untuk bidang investasi dirasa memegang kontrol yang sangat penting terkait pengaruhnya terhadap ketahanan ekonomi nasional, penguasaan asing di Indonesia dapat juga sebagai kontributor melemahnya ketahanan ekonomi nasional yang berakibat berkurangnya kesejahteraan nasional. Dominasi investasi asing di Indonesia khususnya untuk sektor yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 karena adanya aturan dalam WTO rules annex 1 A yaitu Trade Related Investment Measures (TRIMS) yang mengatur perihal perdagangan yang terkait perusahaan (investasi) asing dengan mengedepankan perlakuan non diskriminasi. Indonesiapun menyesuaikan kebijakan nasionalnya berdasarkan WTO rules seperti yang dapat kita lihat dari aturan penanaman modal di Indonesia dan peraturan dibawahnya yang membuka peluang bagi asing untuk masuk di Indonesia termasuk berinvestasi pada bidang yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 meskipun dengan pembatasan, namun demikian aturan tersebut terlihat tetap masih memberikan kebebasan dalam praktiknya. Berdasarkan Peraturan Presiden No 44 Tahun 2016 yang mengacu dan merupakan turunan pelaksana dari Undang-Undang Penanaman Modal No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan hanya 20 bidang usaha yang tertutup bagi asing, namun belum meliputi bidang usaha yang seharusnya tertutup sebagaimana pasal 33 UUD 1945.
Dari ketentuan diatas tampak bahwa terhadap asing dibuka kesempatan berinvestasi di Indonesia dan hal tersebut diatas itulah yang menjadi penyebab fenomena “asing” di Indonesia termasuk tenaga kerja asing, dimana biasanya perusahaan asing (PMA) atau perusahaan nasional yang masih terdapat unsur asing baik langsung atau tidak langsung (naturalisasi) akan membawa tenaga kerjanya sendiri untuk masuk ke Indonesia , plus jika ada CEO Asing, maka tenaga kerja asing pun diserap dengan kemungkinan bermacam cara dalam praktik lapangannya meskipun dalam GATS tidak selamanya bagi negara berkembang tenaga kerja asing boleh masuk ke Indonesia kecuali yang sudah dibuka/disepakati dalam negosiasi GATS.
Gambaran sederhananya adalah pintu gerbang fenomena asing pada tahun 1990-an di Indonesia adalah Ratifikasi WTO Establishment melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dari gerbang utama tersebut penetrasi masuk melalui beberapa pintu utama nasional yaitu Undang-Undang Penanaman Modal (investasi asing) , Undang-Undang Perseroan Terbatas (40/2007)-memungkinkan kapitalisasi , Undang-Undang Tenaga Kerja (13/2003) terkait kemungkinan penggunaan tenaga kerja asing, meskipun pintu untuk perdagangan barang/jasa diberi sekat oleh Undang-Undang Perdagangan (UU 7/2014) dimana pada dasarnya undang-undang ini memberikan resistensi namun masih belum dapat menghambat laju fenomena asing.
Lalu mengapa Indonesia harus bergabung dalam WTO jika tidak ingin ada unsur asing atau ingin memperkuat tatanan ekonomi nasional ? secara ideal Indonesia sendiri mau tidak mau suka tidak suka harus ikut globalisasi dan WTO dalam hal ingin berkembang dan lebih sejahtera, karena Indonesia dengan segala keterbatasannya membutuhkan negara lain dan negara lain juga demikian mempunyai hasrat besar dengan Indonesia sehingga terjadi hubungan timbal balik. Indonesia tidak bisa memilih satu negara atau memproteksi diri karena adanya politik internasional dimana setiap negara pada dasarnya membentuk blok-blok tertentu baik dalam perdagangan maupun politik, bahasa sederhananya adalah “nge-gank”. Jika Indonesia melanggar prinsip non diskriminasi terhadap suatau negara, maka negara tersebut akan menuntut baik ganti rugi maupun sanksi via Dispute Setlement Body WTO, jika Indonesia tidak mengindahkan maka negara yang dirugikan dapat melakukan tindakan balasan dimana hal tersebut dapat dibenarkan oleh WTO berdasarkan prinsip retaliasi dan secara politik dapat meminta gank-nya untuk menekan Indonesia guna memenuhi tuntutan negara yang dirugikan bisa dengan cara pembatalan kerjasama, pembatalan pinjaman, dan kerjasama lainnya. Contoh hal ini adalah dahulu kasus Mobil Timor meskipun belum sampai retaliasi, pemerintah telah merevisi kebijakan nasional yang bersifat proteksi. Tentunya hal tersebut dapat berdampak pada perekonomian nasional terlebih jika terkena sanksi ekonomi embargo yang secara politik dapat dicari kesalahan suatu negara. Dengan demikian alasan kekahwatiran akan hal-hal tersebut diataslah yang menyebabkan Indonesia mau tidak mau suka tidak suka harus tergabung dalam globalisasi melalui WTO. Implementasi dari konsekwensi bergabungnya Indonesia dalam WTO adalah dengan menerapkan kebijakan selalu “berbuat baik” terhadap negara lain terutama negara maju dan yang mempunyai kekuatan ekonomi tentunya. Pertimbangan Indonesia untuk patuh mungkin dengan telah memperhitungkan segala keterbatasannya dari segala sisi dan tentunya kesejahteraan bangsa. Sampai point ini tidak salah juga ketika Indonesia berhati-hati agar tidak terjadi pelanggaran bahkan memodifikasi sejumlah aturan nasional.
Namun demikian perlu diingat bahwa konsekwensi tersebut diatas tidak selamanya positif namun juga terdapat hal negative dikemudian hari , dimana sikap patuh Indonesia akibat “kekhawatiran” dan juga adanya WTO rules makin membuka peluang bagi asing untuk masuk ke Indonesia yang menyebabkan fenomena asing di Indonesia menjadi trend , frekwensi “asing” menjadi meningkat, beberapa produk barang/jasa asing masuk ke Indonesia bahkan dengan harga yang lebih murah dari produk lokal baik barang/jasa, disamping itu arus investasi asing dan “naturalisasi asing” menjadi trend dengan melihat “keseksian” Indonesia dimana hal ini menimbulkan ketergantungan akan adanya asing dan menyebabkan tatanan ekonomi nasional menjadi rapuh dengan adanya isu global yang tentunya dapat berakibat menurunnya tingkat kesejahteraan bagi warga negara Indonesia khususnya . Lalu bagaimana caranya ketika proteksi itu dilarang namun Indonesia masih harus mengejar kesejahteraan nasional dengan segala keterbatasannya dalam kerangkan WTO rules? Perlu disadari juga proteksi itu perlu untuk ketahanan ekonomi nasional dan tidak bisa dihindari , Nah justru hal ini yang menarik bagaimana mensiasati aturan WTO dalam konteks proteksi yang tidak dikategorikan melanggar WTO rules.
2.Liberalisme/Neo Liberalisme , Tatanan Ekonomi Nasional dan Sanksi Perdagangan Internasional,
WTO mendasarkan pada Sistem ekonomi liberal dan konsep liberalisme/neo liberalisme itu sendiri dibangun dari hasil pemikiran ahli ekonomi yang sangat terkenal dengan konsep liberalismenya yaitu Adam Smith yang juga belakangan teorinya dijustifikasi bahwa dengan adanya liberalisme ekonomi tidak akan terjadi penumpukan kekayaan pada seseorang ( kapitalis) karena adanya sifat pendistribusian kesejahteraan yang dikenal dengan prinsip “Trickle Down” –nya, dimana menurut pandangan penganut prinsip ini, semakin banyak seseorang (kapitalis) mengumpulkan uang, maka mereka akan terus menggandakan uangnya dengan cara investasi untuk memperoleh uang yang lebih banyak, namun demikian investasi yang dimaksud dan diharapkan dalam prinsip ini adalah investasi membentuk mesin uang baru seperti misalnya pembentukan usaha baru, perusahaan baru dimana hal ini diasosiasikan dengan adanya penyerapan tenaga kerja, dimana uang yang didapat dari para kapitalis akan turun kebawah yaitu kepada pekerja dalam bentuk gaji, sehingga roda ekonomi berputar . menurut pandangan kelompok ini semakin banyak investasi maka tingkat kesejahteraan meningkat atau dengan kata lain terkadang secara ekstrim dianggap investasi sama dengan kesejahteraan (I(investasi)=W(wealth)). Oleh karenanya mendasarkan pada pemikiran Adam Smith dalam bukunya an Inquiry into the causes of the wealth of nations (1776) pemerintah tidak boleh mencampuri mekanisme pasar (intervensi) tidak boleh membatasi perdagangan, ekonomi harus dibebaskan tanpa batas, ekonomi harus diserahkan pada mekanisme pasar (natural). Pada akhirnya prinsip ini dikemudian hari berkembang dengan implementasi bahwa intervensi pemerintah dibatasi dan seminimal mungkin, jika perlu ditiadakan. Atas dasar papaparan Adam Smith dan bukti empiris jika bersandar pada Amerika Serikat perlu diakui juga bahwa liberalisme juga dapat memberikan kontribusi positif, namun yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah efektifkah? Bagi siapa? apakah dapat diterima secara universal? Dalam tulisan ini tidak membahas detail mengenai efektif atau tidaknya liberalisme dalam mencapai kesejahteraan , hanya menyangkut sedikit yang terkait liberalisme, mengingat pembahasan ilmiah akan hal ini akan penulis tuangkan dalam judul tersendiri yang secara komprehensif akan membahas liberalisme/neo liberalisme dan implementasinya secara global. Kembali pada pemikiran diatas bahwa liberalisme adalah kesejahteraan, maka WTO pun mengadopsi pemikiran liberalisme, dimana dengan liberalisme dan trickle down teorinya dapat mensejahterakan. Tidak hanya WTO , IMF. Bank Dunia (dahulu IBRD) juga mengadopsi pemikiran dan konsep liberalisme hal ini dapat ditelusuri dari jejak sejarah pembentukan WTO (dahulu ITO), IBRD, IMF dalam Brettonwoods documents pada konferensi Brettonwoods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tahun 1944.
Karena Indonesia menjadi bagian dari WTO , sedikit banyak Indonesia pun mengarah pada pemikiran ekonomi liberal, disamping dipengaruhi mungkin beberapa factor lain misalnya beberapa dari mereka yang belajar di Amerika Serikat atau negara lain yang berbasis liberalisme yang kembali ke Indonesia, juga berpotensi memberikan pengaruh pada tatanan ekonomi dan hukum nasional dalam hal apa yang menjadi objek studi nya dan bagi mereka yang tidak mengkritisi studinya dengan mengacu pada akar budaya , perilaku dan psikologis bangsa Indonesia. Sebelum masa orde baru sistem ekonomi setidaknya mendasarkan pada praktik dan sejarahnya terbagi menjadi dua periode: sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialis, pada saat orde baru menjadi sitem demokrasi ekonomi dan setelah reformasi digadang-gadangkan sebagai sistem ekonomi kerakyatan. Apa yang menjadi pemikiran pemerintah setelah reformasi sebenarnya telah tertuang pada UUD 1945 pasal 33, namun demikian meskipun sudah dinyatakan sebagai ekonomi kerakyatan ide liberalisme masih melekat ketat pada tatanan ekonomi nasional dan perangkat hukumnya dalam konteks ekonomi kerakyatannya, sebagai contoh sederhananya adalah ketika pemerintah baik pada masa pemerintahan presiden Sukarno sampai dengan pemerintahan presiden Joko Widodo masih berharap banyak pada investasi asing guna mengelola baik kekayaan Indonesia maupun tatanan ekonomi nasional dengan banyaknya saham yang dimiliki asing baik secara privat maupun menggunakan Sovereign Wealth Fund (SWF: pembahasan pada artikel selanjutnya).
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Peraturan Presiden No 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dimana ketentuan tersebut notabene adalah turunan dari Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Didalam Perpres tersebut usaha yang tertutup bagi asing hanya terdiri dari 20 golongan KBLUI (klasifikasi baku lingkup usaha Indonesia) , sisanya terbuka untuk asing, meski untuk sektor usaha tertentu ada pembatasan maksimal saham, namun dalam praktik dapat saja perusahaan asing /investasi asing dapat menempuh jalur “naturalisasi”, dimana penanam modal asing akan masuk serta mendirikan perusahaan berbadan hukum Indonesia melalui usaha yang dapat dikuasai asing atau menggunakan pendiri ber WNI yang telah membuat perjanjian khusus, sehingga badan usahanya berstatus badan hukum nasional/perusahaan nasional, dimana setelahnya perusahaan yang telah terbentuk tersebut dikemudian hari berinvestasi pada usaha yang diharuskan dimiliki oleh penanam modal dalam negeri 100%. Disamping itu namun menurut kepala pengembangan investor BEI Irmawati Amran dikutip dari detik.com tahun 2016 saham yang dibuka ke publik yang dikuasai asing sebesar + 60 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa unsur asing setidaknya dapat mendominasi ekonomi nasional.
Seperti yang telah digambarkan pada bagian awal tulisan ini bahwa setiap negara yang melanggar prinsip WTO akan dikenakan sanksi baik sanksi pencabutan kebijakan nasional, ganti rugi (gugatan perdata internasional atas dasar keputusan WTO) , dan retaliasi. Namun yang paling berat sebenarnya bukanlah sanki WTO namun efek psikologis yang ditimbulkan dari sanksi WTO terutama retaliasi yaitu dikucilkan dalam kelompok-kelompok perdagangan internasional yang berdampak pada ekonomi nasional , sederhananya ilustrasinya adalah jika Indonesia menerapkan kebijakan protektif terhadap produk barang/jasa, investasi nasional atas Inggris / Amerika dengan maksud mengamankan ekonomi nasional maka Indonesia akan terkena sanksi WTO yaitu ditetapkan melakukan pelanggaran prisip MFN-non diskriminasi hal ini belum berefek apa apa sampai negara yang mengajukan gugatan/complain pada WTO dalam ilustrasi ini misalnya Inggris/Amerika menyerukan pada kelompoknya , misalnya Uni Eropa/ sekutu Amerika untuk menangguhkan hubungan dagang dengan Indonesia terhadap suatu produk Indonesia baik berupa barang/jasa/investasi dengan justifikasi resolusi WTO, maka Indonesia akan kehilangan stabilitas ekonomi untuk sementara waktu, dalam ilustrasi ini misalnya Indonesia tidak lagi dapat menjual nikel atau produk laut ke negara Eropa/ Amerika, maka kerugian perusahaan eksportir nasional dalam hal ini akan berdampak pada kesinambungan perusahaan jika gagal maka perusahaan akan melakukan efisiensi tenaga kerja akibat tidak adanya produk yang terjual, demikian juga dalam hal investasi misalnya penangguhan/larangan investasi atau yang terburuk adalah pengambil alihan/nasionalisasi perusahaan Indonesia di Luar negeri tentunya ini berakibat efisiensi tenaga kerja juga berakibat pada daya beli nasional dan berujung pada stabilitas ekonomi nasional disamping Indonesia akan kehilangan devisa. Demikian juga halnya pembatasan pada sektor lembaga keuangan baik Bank maupun non Bank dimana dalam sektor ini kekhawatiran penguasaan ekonomi nasional oleh asing cukup tinggi. Hal ini yang tentunya sangat ditakuti setiap negara, jadi bukan sanksinya namun akibat luas dari sanksi tersebut jika suatu negara tidak punya kemandirian atau ketahanan ekonomi nasional. Pada umumnya dewasa ini dunia telah menerima liberalisme dengan justifikasinya, namun tidak berarti liberalisme total mengingat hal tersebut akan mempengaruhi kedaulatan suatu negara dan lebih jauh eksistensi suatu negara, termasuk negara yang menggaungkan total liberalisme itu sendiri. bagi negara yang mempunyai kekuatan ekonomi seperti negara maju menghendaki adanya liberalisasi total mengingat mereka :
1. Menghendaki adanya perluasan sektor usaha /perdagangan,
2. Penguasaan ekonomi internasional,
3. Politik,
4. Jika dimungkinkan perluasan wilayah kekuasaan.
Namun mereka juga mempunyai konsekwensi harus menerima negara lain di negaranya (liberalisme negara lain di negaranya), tapi hal tersebut tidak masalah bagi negara maju atau negara berkembang yang menuju negara maju karena mereka mempunyai kunci pertahanan yaitu ketahanan ekonomi nasionalnya yang diandalkan mampu meredam liberalisme negara lain di negaranya. Dengan kata lain bahasa sederhananya “silahkan anda masuk dan menembus saya jika anda mampu” bagi negara berkembang tentu hal ini sulit, ilustrasinya adalah pasar domestic Inggris atau Amerika Serikat dengan kemandiriannya ini berjuang untuk tidak tergantung dengan asing, proses produksi, distribusi dan konsumen dikuasai secara nasional, dengan hasil akhir rakyat mereka lebih yakin pada produk nasional dan percaya pada pemerintah karena telah membuktikan kesejahteraan hal ini yang membuat ketahanan ekonomi nasional mereka kuat, ketika negara berkembang mencoba masuk pada pasar domestic baik barang/jasa maupun investasi banyak effort yang harus mereka lakukan dan tidak mudah, banyak uang dan waktu yang harus dikerahkan. Kekuatan ini yang tidak semua dimiliki negara berkembang, sebagai contoh kebanyakan rakyat inggris/amerika akan memilih produk barang/jasa atau perusahaan nasional mereka daripada asing. Contoh kecil di Amerika khususnya, dan Inggris/uni eropa (sekutu amerika) Produk Apple lebih disukai/dominan daripada produk Samsung bahkan produk Tiongkok dianggap berkualitas rendah. Seberapapun murahnya produk tiongkok atau Samsung mereka lebih rela membeli produk mahal Aple (nb:ilustrasi).
Jadi kunci negara liberal sendiri untuk menangkal liberalisme adalah ketahanan ekonomi nasional dengan sistem ketahanan ekonomi nasionalnya. Dengan kata lain negara liberalis sendiri pada dasarnya tidak menghendaki adanya total liberalisme, liberalisme boleh tapi ada batasannya yang diperbolehkan tanpa melakukan pelanggaran. Hal ini dapat dilihat dari Amerika Sendiri yang menghendaki Trans Pacific Partnership agreement (TPP) namun pada masa pemerintahan Donald Trump justru menarik diri dari liberalisme dalam TPP karena ketakutannya, bahkan pada masa pemerintahan Donald Trump banyak kebijakan proteksi di buat dengan slogannya “Buy American, Hire American”. Disamping itu Amerika Serikat mencoba untuk memproteksi diri lebih kuat lagi dari berbagai sektor yang dianggap ancaman bagi Amerika Serikat dan lebih menguatkan konsep National Security mereka (baca: Fenomena Snowden dan Konsep National Security). Ini membuktikan bahwa liberalisme tidaklah mutlak, diperlukan juga proteksi, namun proteksi bagaimana yaitu proteksi yang tidak melanggar prinsip prinsip liberalisme yang diagungkannya sendiri.
3.Kaitannya dengan Tujuan Negara , Kesejahteraan Dan Ketahanan Ekonomi Nasional
Sebelum jauh mendalam memikirkan model seperti apa yang dapat menangkal fenomena asing dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional perlu kiranya kita kembali pada pemikiran paling sederhana dimasa lampau tentang untuk apa suatu negara itu ada, apa tujuan dari adanya suatu negara. Teori-Terori terkenal tentang Negara memberikan gambaran apa sebenarnya tujuan dari adanya suatu negara dimulai dari Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Terori ketiganya terkenal dengan teori Kontrak Sosial (Social Contract) meskipun ada sedikit perbedaan diantara ketiganya namun secara singkat point utama dari teori tersebut mempunyai kesamaan yaitu penyerahan hak-hak individu/kekuasaan kepada suatu kumpulan individu yang dipercaya untuk menjaga keamanan, keselamatan dan terpenuhinya hak-hak individu tanpa adanya konflik antar individu karena kepentingan masing-masing. Kumpulan individu tersebutlah yang menjadi cikal bakal terbentuknya suatu organisasi Negara. Lebih jauh sebelum adanya teori kontrak sosial, Aristoteles dalam bukunya Nichomachean Ethics telah mendeskripsikan secara tajam apa yang menjadi tujuan akhir masing-masing individu yaitu kebahagiaan sejati (great happiness) yang meliputi kesenangan, kehormatan, kekayaan yang diasosiasikan dan identik dengan kesejahteraan. Jadi setiap individu pada dasarnya ingin mencapai kesejahteraan yang merupakan hak dari setiap individu. Kembali pada teori kontrak sosial karena masing-masing individu berusaha memenuhi kesejahteraannya maka akan terjadi konflik (ego) , oleh karenanya kumpulan individu (negara) yang telah diberikan kewenangan oleh setiap individu bertujuan melindungi setiap individu dalam memperoleh kesejahteraan dari segala ancaman dan konflik. Oleh karenanya jika kembali kepada pemikiran sederhana tentang negara maka pada dasarnya Negara bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya dengan berbagai upaya untuk melindungi kesejahteraan. Hal senada juga dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno yang dikutip dari bukunya Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan (2003) bahwa tujuan negara adalah untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Model pemikiran ini diserap oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia, namun sebagian negara maju dan negara berkembang pada fase menuju negara maju lebih mengembangkan konsep ini dengan menerapkan konsep “National Security” yang lebih maju misalnya Amerika Serikat, Rusia, Cina.
Kembali pada Indonesia, maka tujuan negara Indonesia adalah wajib menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya, hal ini bisa kita lihat dalam Pancasila dan UUD 1945, lalu bagaimana jika dihadapkan dengan WTO yang ternyata mempunyai dampak negative yaitu mereduksi kesejahteraan nasional dengan adanya ketergantungan pada asing ketika tiba-tiba asing melakukan manuver politik? Sebagai contoh misalnya beberapa waktu yang lalu Indonesia sempat dihebohkan dengan Tempe impor, beras impor, kedelai impor dan beberapa buah-buahan asal tingkok yang disuplai oleh beberapa perusahaan nasional (PT) sebagai importer baik yang berunsur asing maupun perusahaan asing yang menyebabkan di beberapa supermarket harganya lebih murah dari pada produk sejenis dalam negeri yang bisa disebabkan karena politik dagang misalnya subsidi atau dumping atau memang biaya produksi yang murah terlebih ditambah factor beberapa supermarket grosir ber unsur asing atau mayoritas asing. Hal ini tentu berakibat produsen nasional mengeluh , barang tidak laku, beberapa gulung tikar meskipun ada slogan “100% cinta Indonesia”, “cintailah ploduk ploduk Indonesia” masih belum efektif menangkal asing. Yang menjadi sorotan dari fenomena tersebut adalah bagaimana fenomena tersebut membuat perekonomian nasional menjadi tergantung asing, anggap saja jika petani lokal tidak lagi mau memproduksi bahan baku tempe karena tidak lakunya tempe lokal, maka kita sangat tergantung dengan pasokan tempe impor, mungkin jika asing mengetahui ketergantungan Indonesia terhadap tempe misalnya dapat saja membuat rush dengan menyetop ekspor tempe ke Indonesia yang akibat sederhananya tidak ada lagi tukang gorengan tempe , banyak orang kehilangan mata pencaharian, daya beli menurun dan yang terburuk rush karena ekonomi nasional terhenti, ini baru ilustrasi terkait tempe impor, faktanya banyak dari produk agrikultur impor yang masuk ke Inodnesia dengan harga yang minimal sama atau lebih murah. Ini baru dari sisi agrikultur, bagaimana di bidang telekomunikasi? Anda tentu bisa membayangkan sendiri rush seperti apa yang terjadi, misalnya beberapa waktu yang lalu nomor telpon penulis terblokir (bukan terblokir karena salah pin pada SIM card), dan tidak pernah mengajukan blokir dan tidak ada orang dekat atau kerabat yang meminta diblokir, sementara untuk dapat meminta blokir harus ada prosedur yang dilalui guna bisa memblokir suatu nomor telepon dengan mencocokan data diri dengan data yang ada di pihak operator, dengan kata lain tidak mudah, tetapi kenapa bisa? Lalu bagaimana jika asing dengan political interestnya tiba tiba mematikan nomor telpon?sudah dapat dibayangkan bukan?
Oleh karenanya Indonesia harus mampu menangkal hal fenomena ini tanpa membuat suatu pelanggaran , bagaimana ? Jawaban singkat dan mudahnya adalah membangun model ekonomi kerakyatan yang independen dan mempunyai kekuatan terhadap tekanan global baik tekanan ekonomi maupun politik, namun bagaimana implementasinya secara detail salah satu caranya dengan perlunya melihat lebih jauh para pelaku ekonomi .
4.Mensiasati melalui dominasi ekonomi oleh Badan Hukum Koperasi
Pertanyaan selanjutnya adalah model ekonomi kerakyatan seperti apa yang mampu menanggulangi fenomena asing? Pertanyaan ini sebenarnya sudah banyak para ahli, peneliti, praktisi bahkan pemerintah dan akademisi yang menjawab dalam berbagai literature, dimana jawabannya adalah prinsip Koperasi sebagaimana digagas oleh Bung Hatta. Sekedar untuk mengingatkan kembali dan mendukung jawaban tersebut perlu juga kiranya memaparkan suatu bentuk konkrit dan riil terkait model Koperasi seperti apa yang ampuh mengingat saat ini pun banyak tumbuh Koperasi-Koperasi di Indonesia namun nyatanya belum juga efektif dalam menanggkal fenomena asing lebih jauh belum dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia , bahkan terkesan koperasi kalah bersaing dengan Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas. Oleh karenanya perlu lebih jauh menyoroti kekuatan dan kelemahan para pelaku ekonomi dengan fokus pada badan hukum, badan usaha, dan usaha perorangan sebagi penggerak ekonomi nasional
Di Indonesia para pelaku ekonomi non negara yang dominan menggerakkan ekonomi nasional selain tentunya konsumen, yang fokus sebagai rantai produksi/distribusi dapat digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu Badan Hukum dan usaha perorangan. Badan Hukum terdiri dari Perseroan Terbatas , Koperasi , Yayasan dan Non Badan Hukum yang terdiri dari CV, Firma, Individu/orang perorangan. Sebagai badan hukum Yayasan tidak terlalu popular dilirik asing mengingat tujuan yayasan adalah non profit dan Undang-Undang yayasan melarang pembagian kekayaan yayasan baik langsung atau tidak langsung sehingga dipandang tidak terlalu menguntungkan oleh karenanya yang menjadi sorotan adalah Perseroan Terbatas dan Koperasi . Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) sebagai salah satu pelaku ekonomi di Indonesia memegang peranan penting dalam perekonomian nasional , dengan adanya prinsip “keterbukaan” sebagaimana telah penulis gambarkan diatas yang saat ini dianut oleh Indonesia, menyebabkan banyak memunculkan Perseroan Terbatas asing maupun nasional yang berunsur asing , pola ini menyebabkan badan hukum Perseroan Terbatas seolah-olah mudah terjangkit virus asing, dari sisi kontrol dengan adanya pemegang saham dua orang atau lebih yang harus menempatkan dan menyetor modalnya pada perseroan juga menyebabkan kontrol pada perusahaan berada pada orang-orang yang secara finansial “mampu”, kemampuan asing dari sisi finansial bisa saja mendominasi terlebih jika dana dihimpun dalam bentuk Sovereign Wealth Funds (SWF) misalnya Temasek , sehingga kontrol nasional demi pasal 33 UUD 1945 dirasa kurang menyentuh meskipun ada juga yang namanya BUMN namun ini hanya representative dari masyrakat yang nyatanya masyarakat masih belum merasakan manfaatnya langsung terlebih jika ada permasalahan “politik” didalamnya, hal tersebut dapat dianggap kelemahan dari Badan Hukum Perseroan Terbatas. Lalu bagaimana dengan CV, Firma dan usaha perseorangan? Sebagai contoh misalnya banyaknya UMKM nasional, meskipun jumlahnya banyak namun jika masih melakukan usahanya secara mandiri dengan segala keterbatasan yang ada maka akan sulit bersaing dan menguasai ekonomi nasional jika harus disandingkan dengan badan hukum berbentuk Perseoran Terbatas mengingat kekuatan finansialnya, dalam praktik bisnis sehari-hari hubungan B to B biasanya menghendaki pelaku berbadan hukum Perseroan Terbatas dan Koperasi meskipun tidak ada larangan untuk bisa berbisnis dengan siapa saja atau dengan kata lain sebuah PT akan merasa comfort jika berinteraksi dengan PT lagi, hal ini mendorong badan hukum PT tumbuh dan terbuka peluang setiap saat bagi asing untuk mendominasi dengan berbagai cara misalnya akuisisi , atau merger. Disamping hal terkait habitual tersebut, bank, lembaga pembiayaan, investor lebih mengutamakan atau setidaknya nyaman dengan badan hukum Perseroan Terbatas terkait permodalan, hal ini disebabkan juga karena peraturan perundang-undangan (dari Undang-Undang hingga Surat Edaran) yang ada lebih banyak mengatur perseroan terbatas dibandingkan badan usaha lainnya sehingga pergerakan permodalan perseroan terbatas lebih cepat berkembang, hal ini pula yang dapat menyebabkan badan usaha lain terkait permodalan sangat sulit berkembang
Lalu bagaimana dengan Badan Hukum Koperasi? sekedar mengulang apa yang sudah banyak di gaungkan oleh para ahli, peneliti dan praktisi bahwa bentuk Badan Hukum yang satu ini mempunyai karakteristik yang unik namun tidak terlalu popular di Indonesia dalam pengelolaan bisnis, masih sedikit orang yang memahami koperasi dibandingkan Perseroan Terbatas, namun sebenarnya mempunyai kekuatan terpendam apabila di maksimalkan. Koperasi di Indonesia masih dikenal sebagai pedagang sembako atau tempat untuk pinjam uang tidak lebih dari itu. Masih kurangnya program tepat guna dari Kementerian Koperasi dan UMKM serta kurangnya advokasi dari organisasi koperasi nasional (Dekopin) juga memberikan kontribusi tidak berkembangnya Koperasi dalam tatanan perekonomian nasional, sebagai salah satu contoh misalnya pengawasan compliance terhadap koperasi terkait Good Corporate Governance belum mempunyai standard yang baik termasuk cara mengukur kesehatan koperasi itu sendiri serta sistim keanggotaan koperasi yang masih sebagian tertutup, sehingga pengelolaan koperasi masih bersifat sederhana, jika garis besar tata kelola koperasi atau setidaknya panduan tata kelola koperasi diatur secara detail dalam peraturan perundang-undangan mungkin dapat mendorong tumbuh kembangnya koperasi. Hanya sedikit Koperasi di Indonesia yang merupakan koperasi besar beberapa diantaranya misalnya Koperasi Sejahtera Bersama yang memiliki beberapa anak usaha yang efektif dengan sistim keanggotaan yang terbuka dan memiliki anak usaha berbadan hukum Perseroan Terbatas yang efektif, Koperasi Telekomunikasi Selular (kisel) yang juga memiliki beberapa anak usaha dengan sistim keanggotaan tertutup. Namun demikian disamping masalah tingkat kesehatan koperasi dan sistim keanggotaan koperasi yang masih tertutup juga memberikan kontribusi bahwa manfaat koperasi masih belum dirasakan bangsa Indonesia dalam tatanan perekonomian, padahal koperasi mempunyai potensi untuk itu.
Sebagi ilustrasi seandainya Indonesia memiliki Koperasi Nasional Indonesia (sebut saja KNI) dimana keanggotaannya bersifat terbuka bagi WNI dan dengan didukung kelengkapan baik Undang-Undang maupun peraturan dibawahnya untuk menghimpun modal koperasi seperti misalnya Undang-Undang Jaminan Sosial yang mewajibkan setiap perusahaan memungut sejumlah dana dari masing-masing karyawannya yang akan disetorkan pada BPJS , maka penghimpunan modal dapat dilakukan dengan ilustrasi skema sebagai berikut (nb: hanya ilustrasi garis besar – detail dlm pembahasan feasibility studies tersendiri) :
1. Iuran simpanan wajib dapat diatur pertahun atau perbulan yang diawasi oleh unit tertentu koperasi ( mirip dengan BPJS):
- Bagi anggota yang merupakan karyawan baik swasta/ASN/BUMN, perusahaan wajib memotong penghasilan karyawan yang telah ditentukan sebagai simpanan wajib berdasarkan Anggaran Dasar Koperasi. (skema ini sudah terbiasa bagi pekerja di lingkungan ASN/BUMN). Dana yang terkumpul wajib disetorkan pada KNI melalui Bank Nasional yang telah ditunjuk.
- Bagi anggota yang bukan merupakan karyawan,baik pengusaha kecil maupun pengusaha besar diterapkan SOP sebagaimana halnya Ditjen Pajak memungut pajak.
2. Iuran simpanan pokok dapat dipungut sekali saja ketika karyawan/pengusaha/WNI menyatakan diri menjadi anggota KNI pada unit Account Management KNI yang sudah ditunjuk yang besarnya tentunya ditetapkan dalam anggaran Dasar KNI.
Dari skema pengumpulan modal tersebut diatas jika keanggotaan adalah nasional bagi seluruh WNI dapat dipastikan jumlahnya sangat besar terlebih dengan adanya bonus demografi Indonesia sebagai nilai plus yang harusnya dapat diakomodir secara positif. Anggap saja hitungan kotornya jika iuran wajibnya perbulan dikenakan Rp.10.000 dikalikan jumlah penduduk Indonesia yang berusia dewasa misalnya saja 200 juta jiwa (nb: berdasarkan pada CIA Factbook Indonesian Demographic 2016 dan Statistik BPS 18/2/2014 proyeksi penduduk menurut provinsi 2010-2035 ditahun 2015 255.461 070 jiwa ) maka dana yang terkumpul sebesar 2 triliun perbulan / 24 triliun pertahun ditambah Iuran pokok misalnya sebesar Rp. 200.000 per orang yang dibayar sekali ketika menjadi anggota total sebesar 40 triliun sehingga bisa jadi dana yang terkumpul pada KNI untuk pertama kalinya + 42triliun rupiah jika diatrik setahun 64 triliun. Nilai yang cukup bagi suatu koperasi nasional Indonesia tentunya setelah dikurangi Capex dan Opex pertama kali untuk memulai bisnisnya disektor riil termasuk menjadi holding company. Anggap saja untuk pertama kali bisnisnya adalah akuisisi perusahaan produktif dibidang tambang nikel atau membuat perusahaan smelter yang potensial bagi penambang nikel yang belum mempunyai smelter. Jika mendasarkan pada nilai akuisisi China Bearing untuk Far East Mining atas akuisisi PT. Teknik Alum Services yang merupakan perusahaan tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tengah sebesar USD$ 120 Juta setara dengan Rp.1,560 triliun (sumber:Tambang.co.id, 25 Agustus 2016[1]) maka dari pengumpulan ilustrasi modal tersebut diatas cukup bagi KNI melakukan akuisisi . Anggap saja hitungan kasarnya setelah markup untuk akuisisi perusahaan produktif 10 triliun, capex 5 triliun, Opex 2 triliun maka Total investasi 17 triliun , masih menyisakan 25 triliun (dari modal pertama kali 42 triliun) yang dapat digunakan untuk proyeksi bisnis lainnya misalnya bisnis yang juga turut meningkatkan daya beli masyarakat terutama anggota koperasinya sendiri dengan membentuk anak usaha perbankkan syariah, LKNB syariah. Atau dengan kata lain menjadikan KNI sebagai holding utama untuk perusahaan perusahaan nasional jika didukung pemerintah dimungkinkan kepemilikan akan BUMN sehingga pengelolaan BUMN menjadi sangat transparan bertanggung jawab langsung pada masyarakat Indonesia melalui KNI. Ilustrasi tersebut diatas merupakan kekuatan dari suatu koperasi yang mandiri tanpa langsung pemerintah. Apabila didukung oleh pemerintah dengan pengelolaan yang tidak terlepas dari pemerintah bisa saja KNI ini difasilitasi misalnya diberikan gedung kantor, hibah kendaraan operasional dan asset lainnya dengan semangat membangun perekonomian nasional, terlebih diberikan insentif pajak, bebas bea ekspor/impor (kawasan khusus) dan menjadi pemilik atas saham BUMN tentunya ini sangat membantu mengurangi belanja modal dan operasional Koperasi dan koperasi memiliki cash in yang cukup besar. Dukungan pemerintah yang demikian juga termasuk kelebihan Koperasi. Keuntungan yang didapat koperasi nantinya hanya akan berputar di lingkungan anggota yang merupakan WNI wajib pajak yang kemudian diharapkan turun sebagai “resapan” pajak secara “sukarela (keikhlasan membayar kepada pemerintah dengan mekanisme pungutan pajak yang lebih mudah karena terkordinir oleh KNI). Atau dengan kata lain setiap tahun WNI memperoleh pendapatan SHU dari kegiatan usaha KNI berikut anak usahanya yang besarannya ditetapkan dalam anggaran dasar koperasi. Belum lagi jika keuntungan KNI setelah dibagi SHU diproyeksikan dalam anggaran CSR guna mendorong pertumbuhan UMKM dimana pemilik UMKM adalah anggota Koperasi itu sendiri dan mempromosikan usaha anggota kepada Anggota lainnya, dimana pada akhirnya perputaran uang didominasi terjadi dilingkunyan KNI yang menimbulkan daya beli serta kekuatan ekonomi nasional.
Pertanyaannya lagi adalah bagaimana mengawasi dana yang cukup besar tersebut?, jika regulasi telah disesuaikan dan didesign untuk menunjang perkoperasian secara Good Corporate Governance maka tidak perlu khawatir akan kebocoran atau penyalahgunaan wewenang pengurus KNI misalnya secara umum adanya peraturan ekslusif dari pemerinah terkait akuntabilitas KNI, disamping itu koperasi sebenarnya merupakan miniature dari organisasi suatu negara dalam koperasi terdapat pemerintah yakni jajaran pengurus koperasi dan anggota koperasi yakni masyarakat Indonesia. pada saat laporan pertanggung jawaban setiap tahun dikenal Rapat Anggota, dimana anggota (masyarakat Indonesia) dapat mengajukan hak suaranya, jika jumlah anggota banyak maka dimungkinkan representative perwakilan anggota dimana hal ini cerminan dari DPR dalam suatu negara hanya saja bedanya tidak ada partai politik pengusung dalam koperasi sehingga dapat mereduksi adanya kepentingan politik golongan atau dengan kata lain murni representative aspirasi masyarakat. Anggaplah pengurus berbuat salah maka pengurus kecil kemungkinan untuk bisa mengelak dari pertanggung jawaban baik perdata maupun pidana karena rakyat yang berbicara secara langsung terlebih jika dibuat suatu aturan yang mengharuskan suara dipungut secara system dengan menggunakan teknologi informasi yang sudah memungkinkan dewasa ini, sehingg distorsi bisa diminimalisir . tidak ada parpol didalamnya sebagaimana pemerintahan suatu negara yang dapat membuat distorsi suara rakyat yang sebenarnya sebagaimana saat ini pertanggung jawaban para pimpinan BUMN kepada negara yang juga dipertanggung jawabkan melalui DPR yang notabene berisi banyak partai politik, atau dengan kata lain tidak langsung kepada rakyat, hal ini berbeda dengan mekanisme KNI.
Meskipun original dari badan usaha koperasi bukan dari Indonesia tapi setidaknya Indonesia telah membuat trobosan melalui penyesuaian berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yaitu kekeluargaan, berkeadilan , serta kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Koperasi sendiri mencerminkan ekonomi kerakyatan jika dikelola secara baik dan maksimal khususnya jika Koperasi itu bersifat terbuka untuk umum. Konsep dasar Koperasi pada dasarnya tidak berhaluan ekonomi liberal lebih cenderung pada prinsip komunal bagi kesejahteraan bersama dan koperasi Indonesia pada prinsipnya adalah menghimpun dana dari masyarakat yang akan dijadikan modal untuk pengelolaan usaha baik koperasi jasa keuangan (simpan pinjam) maupun koperasi disektor riil, dan hasil pengelolaannya akan dibagi pada setiap anggota yang besar kecilnya berdasarkan kontribusi masing-masing anggota pada Koperasi. Aturan perkoperasian di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU 17/2012 telah dibatalkan) , meskipun Undang-Undang Koperasi perlu pembenahan tapi setidaknya prinsip dasarnya dapat digunakan. Koperasi mempunyai karakter yang unik di Indonesia, meskipun menghimpun dana dari masyarakat tapi badan hukum belum tunduk pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), koperasi dikelola secara mandiri oleh Kementerian Koperasi dan UMKM, persetujuan dan pengesahannya juga melalui Kementerian Koperasi dan UMKM yang juga didelegsikan pada Dinas Koperasi dan UMKM daerah. Justru hal ini merupakan kelebihan dari Koperasi dibandingkan dengan Perseroan Terbatas sebagai contoh ketika perseroan terbatas akan berbisnis keuangan baik bank atau non bank , ataupun asuransi sejumlah aturan OJK menanti, dan tidak mudah untuk melakukan bisnis.
Bagi penulis kekuatan utama untuk memutar roda ekonomi salah satunya terletak pada kekuatan finansial/ arus modal/kapital, kemudahan koperasi untuk mengumpulkan dana pada dasarnya adalah suatu potensi yang merupakan kelebihan dari koperasi yang perlu didorong dimaksimalkan dan dijaga rasa aman investornya. Kekuatan ekonomi yang dibangun melalui ekonomi kerakyatan dalam Koperasi mampu menguatkan system ketahanan ekonomi nasional , sederhananya dari ilustrasi dan gambaran yang telah dipaparkan tersebut diatas jika KNI mampu menguasai sektor ekonomi maka hal tersebut memberikan keuntungan yang besar bagi para anggotanya yakni rakyat Indonesia. dengan adanya pembagian keuntungan /SHU yang dibagikan setiap tahun oleh KNI rakyat Indonesia yang menjadi anggota baik yang aktif maupun pasif akan terdongkrak kekuatan daya belinya, dengan adanya kekuatan daya beli maka rakyat Indonesia diharapkan mampu menyalurkan daya belinya pada produk barang atau jasa nasional yang juga dikelola oleh KNI baik melalui merger/akuisisi ataupun membangun bisnis baru, sehingga perputaran arus kuat uang hanya terjadi di lingkup nasional yang juga menguatkan ekonomi nasional yang membentuk ketahanan ekonomi nasional. Jika ekosistem tersebut sudah terbentuk otomatis nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing akan menguat. Jika sebagian besar sektor produksi dan distribusi serta jasa telah dikuasai KNI maka ketergantungan akan asing (kebutuhan terhadap produk barang atau jasa asing dapat diminimalisir ini artinya Indonesia tidak lagi sangat tergantung pada asing/ mandiri.
Sebenarnya alur konsep tersebut yang diadopsi oleh Amerika Serikat dan negara maju dalam penguasaan ekonomi dunia, namun bedanya mereka mengedepankan kekuatan liberalisme dan neo liberalisme yang merupakan implementasi dari Adam Smith dalam an Inquiry into the causes of the wealth of nations (1776) yang dijadikan justifikasi termasuk masuk kedalam setiap perundingan internasional disegala sektor sehingga arus investasi, kapital dapat masuk kenegara manapun tanpa batas yang dikhawatirkan pada akhirnya hanya akan menguntungkan satu negara tertentu alih alih menguntungkan sesama negara. KNI meminjam sebagian kecil konsep tersebut namun lebih mengedepankan konsep ekonomi kerakyatan guna menangkal liberalisme/neo liberalism itu sendiri. Diharapkan dengan adanya kekuatan KNI maka dapat mereduksi ketergantungan asing dan mengurangi ketergantungan pinjaman luar negeri yang selalu memberikan syarat pada Indonesia/kontrol terhadap Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah dominasi ekonomi oleh KNI dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap WTO rules, secara singkat jawabannya adalah tidak, mengingat KNI hanyalah sebuah badan usaha yang bebas melaksanakan usahanya, penguasaan atas ekonomi karena besarnya Kapital yang dimiliki KNI jika mendasarkan pada ilustrasi tersebut diatas pada dasarnya bersifat natural/alami, seperti halnya tumbuhan yang dirawat dengan baik yang memberikan hasil maksimal atau buah yang unggul sehingga banyak diminati, sedangkan buah sejenis yang lain akan ditinggalkan. Lalu apakah peran pemerintah yang telah memberikan dasar hukum serta perundang-undangan terkait keberlangsungan KNI dapat dianggap kebijakan diskriminatif? Jawaban singkatnya juga tidak, peran pemerintah hanya membuat perundang-undangan yang sangat baik guna mendukung KNI agar beroperasi maksimal dan transparan, dan hal tersebut adalah hak berdaulat suatu negara sebagaimana pemerintah membuat kebijakan terhadap tata kelola BUMN tanpa memberi kekhususan atas produk BUMN tersebut, disamping itupun mekanisme pasar tetap diserahkan kepada pasar secara bebas/liberal. jika KNI adalah holding maka tidak ada produksi KNI yang disubsidi pemerintah, jikalau KNI berproduksi maka pemerintahpun tidak membuat kebijakan special atas hasil produksi KNI.
Alasan lainnya terkait apakah melanggar atau tidak adalah karena Indonesia adalah negara yang dikelompokkan kedalam negara berkembang dimana restriksi/diskriminatif dapat dilakukan secara progresif (menurun /menghilangkan) sampai batas waktu tertentu (sangat lama) hingga Indonesia tidak dinyatakan negara berkembang oleh setidaknya World Bank. Dalam rentan waktu tertentu tersebut diharapkan KNI sudah sangat kuat sehingga sampai pada waktunya Indonesia harus menghapus kebijakan memihak KNI sudah siap secara mandiri bertanding dalam liberalisme.
Bahasa mudahnya adalah : memang tidak mudah untuk meng-implementasikan konsep tersebut diatas, namun setidaknya kita sebagai WNI mempunyai rencana dengan sedikit pilihan untuk menyelamatkan NKRI dari serangan- serangan yang bersifat non-militer khususnya bidang ekonomi. Sebagai ilustrasi setidaknya Indonesia masih bisa mengangkat senjata meskipun hanya bambu runcing (konsep tersebut) untuk melawan total radikal liberalism yang identik dengan kolonialisme modern, daripada kita tidak mempunyai rencana bagaimana menangkal total liberalism guna kesejahteraan bersama, malah justru saat ini Indonesia terlihat menyerap tanpa saringan total liberalism tersebut dengan pengaruh pejabat-pejabat dan para intelektual yang memang belajar di negara-negara liberalis yang menyerap begitu saja idenya , entah apa yang menjadi dasar pemikiran, mungkin bisa jadi kepentingan pribadi, atau golongan. Sederhananya dapat kita lihat bagaiman Kementerian Koperasi dan UMKM yang sudah ada sejak dulu seperti tidak berfungsi atau berfungsi sangat minim sebatas UMKM, kalah jika dibandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap BKPM, Bank Indonesia dan lembaga perbankkan swasta dari sisi dukungan berupa kebijakan-kebijakan sampai yang paling kecil fasilitas.
Akhir kata semoga hal ini menjadi perenungan bersama dalam mempertahankan NKRI yang memang akhir – akhir ini mendapat serangan dari sisi politik dalam negeri, politik Internasional, dan juga ekonomi. Modern “Devide et Impera” konsep dengan justifikasi yang sangat beragam dimulai dari sisi sensitive yaitu Agama. Pemerintah hendaknya tidak hanya berfokus pada pembangunan saja, sangat berbeda dengan konsep bisnis di suatu perusahaan , dalam negara selain pembangunan infrastruktur juga harus menjaga stabilitas dalam negeri yang identic dengan kesejahteraan warga negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H