Mohon tunggu...
DS Priyadi
DS Priyadi Mohon Tunggu... -

---

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Percakapan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Athaillah

24 Februari 2013   10:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:47 12223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.” [3]

----------------------------------------

dikutip dari http://sufimuda.net

----------------------------------------

Catetan

Dialog di atas merupakan terjemahan dari sebuah buku Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations, karya Muhammad Hisyam Kabbani. Pada awal dialog disebutkan sumber referensinya:

Text of the Debate:From Usul al-Wusulby Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Kathir, Ibn al-Athir, and other authors of biographical dictionaries and biographies have transmitted to us this authentic historical debate. It gives an idea of the ethics of debate among the people of learning. It documents the controversy between a pivotal personality in tasawwuf, Shaykh Ahmad Ibn Ata’ Allah al-Iskandari, and an equally important person of the so-called “Salafi” movement, Shaykh Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyya during the Mamluke era in Egypt under the reign of the Sultan Muhammad Ibn Qalawun (al-Malik al-Nasir).[4] 

Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tasawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi” Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).

Muhammad Hisyam Kabbani adalah pemuka Naqsabandi kenamaan yang bermukim di Amerika. Namun demikian pandangannya berseberangan dengan orang-orang Naqsabandi kalangan Sufi di Indonesia. Ia menukil dialog tersebut dari buku Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab karangan penulis Mesir Abdurrahman Asy-Syarqawi yang lahir tahun 1920 Masehi atau tahun 1339 Hijriah dan wafat tahun 1980. Abdurrahman Asy-Syarqawi sendiri adalah seorang syiah yang diketahui mahir membuat naskah drama. Dilihat dari rentang masa hidup Abdurrahman Asy-Syarqawi yang terpaut 700 tahun dengan kedua tokoh yang berdialog, besar kemungkinannya percakapan di atas hanyalah dialog imajiner saja yang direkanya, karena tak ada sumber referensi yang ia cantumkan. Pencantuman sumber justru pada karangan Muhammad Hisyam Kabbani sebagaimana tertulis di atas. Itupun mengandung data yang silang tindih antara satu dan lainnya.

Pertama, bahwa Ibnu Al Athir—yang disertakan sebagai sumber rujukan—telah Wafat tahun 630 hijriah sedangkan Ibnu Taimiyah baru dilahirkan tahun 661 Hijriah. Kedua, Ibnu Katsir juga tidak pernah menyebutkan cerita yang demikian itu. Dalam kitabnya Albidayah Wannihayah disebutkan bahwa Ibnu taimiyah memang pernah ke Iskandariyah untuk menjalani hukuman penjara pada tahun 707 Hijriah dan dibebaskan sebelum tahun 709 Hijriah. Beliau sempat kembali mengunjungi Iskandariyah di Mesir pada bulan Syawal tahun 709 Hijriah, namun  Ibnu Athaillah telah Wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun yang sama. Artinya terpaut 4 bulan dari kedatangan Ibnu Taimiyah ke Mesir. Dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 707 Hijriah, justru Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ibnu Athaillah merupakan seseorang yang melaporkan Ibnu Taimiyah kepada sulthan sehingga beliau dipenjarakan karenanya. Sedangkan dialog tersebut sama sekali tidak mengesankan bahwa Ibnu Athaillah pernah bertemu dan mengusulkan agar Ibnu Taimiyah dipenjarakan.[5]

Sekilas dialog terkesan santun dan egaliter. Namun jika dicermati, nampak kandungan apriori penulisnya yang lebih memposisikan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah seperti murid yang mendengar wejangan dari sang guru. Dalam hal ini, karakter Syeikhul Islam tidak tergambar dengan baik sebagaimana tercermin dalam kitab-kitab yang beliau tulis serta dari sikapnya yang gigih dan pemberani dalam mempertahankan keyakinannya, hingga beliau keluar masuk penjara terhitung 7 kali hingga wafat. Sementara Ibnu Atthailah nampak di atas angin, lebih banyak bicara dan menggurui dalam kadar pengetahuan yang sifatnya tergolong dasar. Termasuk juga paparan beliau tentang Ibn Arabi yang panjang lebar lebih mirip sebuah wejangan dan hanya ditanggapi oleh Ibn Taimiyah secara kalem dan minimalis. Sementara dalam kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyah telah menulis sebuah risalah khusus tentang Ibnu Arabi sebagai bantahan terhadap keyakinannya yang menyatakan bahwa Fir’aun termasuk mukmin. Terkait paham wahdatul wujud yang dipeluk oleh Ibnu Arabi, Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khalik juga telah menulis sebuah kitab kecil tentang pertentangan antara ibnu Taimiyah dan Ibnu Arabi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun