Mohon tunggu...
DS Priyadi
DS Priyadi Mohon Tunggu... -

---

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Percakapan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Athaillah

24 Februari 2013   10:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:47 12223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock



Berikut percakapan antara dua orang ulama masyhur dalam sejarah Islam. Yang pertama adalah Syeikhul Islam Ibnu Taimiah, seorang ulama ternama yang fatwa-fatwanya banyak diikuti oleh kaum muslimin. Yang kedua adalah imam Ahmad Ibnu Athaillah As-Sakandari, seorang sufi penyair yang ajaran-ajarannya menginspirasi dan menjadi rujukan kalangan sufi. Yang pertama dilahirkan tahun 660 H di kota Harran, Syria (w. 728 H)[1], dan yang kedua dilahirkan sekitar tahun 658 H di kota Al-Iskandariah (Alexandria), Mesir (w. 709 H).[2]

Syahdan, suatu hari dari Alexandria Ibnu Taimiah berangkat ke Kairo. Menjelang malam ia menuju masjid Al Ahzar untuk shalat maghrib yang waktu itu diimami Ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang berdoa di belakangnya. Sambil tersenyum, sang syaikh sufi itu menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah seraya berkata: Assalamualaikum ya, Syaikhul Islam! Selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamunya yang kesohor dan dikenal vokal mengkritisi paraktik-praktik bengkok sebagian kaum sufi itu.


----------------------

Ibn Athaillah: “Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai sang faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”

Ibn Taymiyah: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”.

Ibn Athaillah: Apa yang anda ketahui tentang aku wahai, syaikh Ibn Taymiyah?

Ibn Taymiyah : Setahuku anda adalah seorang yang saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Tidak ada orang sebagaimana anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintahNya serta menjauhi laranganNya.

Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?

Ibn Athaillah: Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.

Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: “Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat”. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.

Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.

Ibn Athaillah : Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai sang faqih! Maksud dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”

”Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah? Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?

Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al quran yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada rasulNya.

Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.

(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).

Lalu Ibn Athaillah melanjutkan: “Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan” yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku seorang ahli fiqih.

Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung di balik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).

Ketika syaikh al islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapkan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.

Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”

Ibn Taymiyah: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.

Ibn Athaillah: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?

Ibn Taymiyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.

Ibn Athaillah: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis-gadis penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan. Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?

Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Sekiranya anda telah memahami hal ini?

Ibn Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.

Ibn Athaillah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?

Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”

Ibn Athaillah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.

Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah (Risalatul Qusyairiyah).

Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.

Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.

Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.

Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kita yang saleh dan terdahulu: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.

Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda, teranglah itu perilaku ateis dan kafir”.

Ibn Athaillah: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zhahiri (menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).

Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama apa-apa yang tersembunyi. Agar anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.

Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”

Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.

Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.

Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran: ”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.

Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.

Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).

Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa: ”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”

Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.” [3]

----------------------------------------

dikutip dari http://sufimuda.net

----------------------------------------

Catetan

Dialog di atas merupakan terjemahan dari sebuah buku Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations, karya Muhammad Hisyam Kabbani. Pada awal dialog disebutkan sumber referensinya:

Text of the Debate:From Usul al-Wusulby Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Kathir, Ibn al-Athir, and other authors of biographical dictionaries and biographies have transmitted to us this authentic historical debate. It gives an idea of the ethics of debate among the people of learning. It documents the controversy between a pivotal personality in tasawwuf, Shaykh Ahmad Ibn Ata’ Allah al-Iskandari, and an equally important person of the so-called “Salafi” movement, Shaykh Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyya during the Mamluke era in Egypt under the reign of the Sultan Muhammad Ibn Qalawun (al-Malik al-Nasir).[4] 

Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tasawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi” Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).

Muhammad Hisyam Kabbani adalah pemuka Naqsabandi kenamaan yang bermukim di Amerika. Namun demikian pandangannya berseberangan dengan orang-orang Naqsabandi kalangan Sufi di Indonesia. Ia menukil dialog tersebut dari buku Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab karangan penulis Mesir Abdurrahman Asy-Syarqawi yang lahir tahun 1920 Masehi atau tahun 1339 Hijriah dan wafat tahun 1980. Abdurrahman Asy-Syarqawi sendiri adalah seorang syiah yang diketahui mahir membuat naskah drama. Dilihat dari rentang masa hidup Abdurrahman Asy-Syarqawi yang terpaut 700 tahun dengan kedua tokoh yang berdialog, besar kemungkinannya percakapan di atas hanyalah dialog imajiner saja yang direkanya, karena tak ada sumber referensi yang ia cantumkan. Pencantuman sumber justru pada karangan Muhammad Hisyam Kabbani sebagaimana tertulis di atas. Itupun mengandung data yang silang tindih antara satu dan lainnya.

Pertama, bahwa Ibnu Al Athir—yang disertakan sebagai sumber rujukan—telah Wafat tahun 630 hijriah sedangkan Ibnu Taimiyah baru dilahirkan tahun 661 Hijriah. Kedua, Ibnu Katsir juga tidak pernah menyebutkan cerita yang demikian itu. Dalam kitabnya Albidayah Wannihayah disebutkan bahwa Ibnu taimiyah memang pernah ke Iskandariyah untuk menjalani hukuman penjara pada tahun 707 Hijriah dan dibebaskan sebelum tahun 709 Hijriah. Beliau sempat kembali mengunjungi Iskandariyah di Mesir pada bulan Syawal tahun 709 Hijriah, namun  Ibnu Athaillah telah Wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun yang sama. Artinya terpaut 4 bulan dari kedatangan Ibnu Taimiyah ke Mesir. Dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 707 Hijriah, justru Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ibnu Athaillah merupakan seseorang yang melaporkan Ibnu Taimiyah kepada sulthan sehingga beliau dipenjarakan karenanya. Sedangkan dialog tersebut sama sekali tidak mengesankan bahwa Ibnu Athaillah pernah bertemu dan mengusulkan agar Ibnu Taimiyah dipenjarakan.[5]

Sekilas dialog terkesan santun dan egaliter. Namun jika dicermati, nampak kandungan apriori penulisnya yang lebih memposisikan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah seperti murid yang mendengar wejangan dari sang guru. Dalam hal ini, karakter Syeikhul Islam tidak tergambar dengan baik sebagaimana tercermin dalam kitab-kitab yang beliau tulis serta dari sikapnya yang gigih dan pemberani dalam mempertahankan keyakinannya, hingga beliau keluar masuk penjara terhitung 7 kali hingga wafat. Sementara Ibnu Atthailah nampak di atas angin, lebih banyak bicara dan menggurui dalam kadar pengetahuan yang sifatnya tergolong dasar. Termasuk juga paparan beliau tentang Ibn Arabi yang panjang lebar lebih mirip sebuah wejangan dan hanya ditanggapi oleh Ibn Taimiyah secara kalem dan minimalis. Sementara dalam kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyah telah menulis sebuah risalah khusus tentang Ibnu Arabi sebagai bantahan terhadap keyakinannya yang menyatakan bahwa Fir’aun termasuk mukmin. Terkait paham wahdatul wujud yang dipeluk oleh Ibnu Arabi, Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khalik juga telah menulis sebuah kitab kecil tentang pertentangan antara ibnu Taimiyah dan Ibnu Arabi.

Pun juga, stigma bahwa Syeikhul Islam seorang pencaci paham sufi tidaklah sepenuhnya benar. Pada dasarnya beliau bukan seorang yang anti sufi sama sekali. Dalam Majmû Fatâwa beliau menuliskan perihal sufisme dalam citra yang positif. Beliau menuliskan: bahwa kaum sufi adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang Sufi adalah orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai antara emas dan batu. Dan sufi yang demikian itu beliau sebut sebagai Sufi hakiki (shufiyyah al-haqa’iq).

Menurut beliau, seorang sufi hakiki haruslah memenuhi 3 syarat. Pertama, ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”, yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Kedua, ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini, yaitu dengan mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bernilai bid’ah. Dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Ketiga, bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.

Selain sufi hakiki beliau juga menyebut klasifikasi lain yaitu shufiyyah al-arzaq. Mereka adalah para sufi yang rizkinya bergantung pada harta-harta sedekah yang diberikan kepada mereka --Ini mirip dengan rahib-rahib Budha di India dan para ronin di Jepang.

Model sufi yang lain—berdasar pengelompokan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû Fatâwa—yaitu shufiyyah al-rasm.Yaitu mereka yang merasa cukup dengan menisbatkan diri sebagai seorang sufi. Lebih kepada penampilan dan perilaku lahiriah saja, dan bukan hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama, hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.

Kritik Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih kepada praktik asketisme ekstrim para Sufi yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani saja, dengan mengabaikan hal-ihwal yang bersifat zhahir. Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan zhahiri akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah yang bernilai destruktif. Sementara Islam menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh, baik zhahir dan bathin. Seorang Shûfî seyogyanya mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, “Dunia berkhidmat untuk dien (agama).” (baca: Al-Siyasah al-Syar’iyyah).[6]

Sebenarnya, jika Abdurrahman Asy-Syarqawi menempatkan karyanya sebagai karya sastra—semacam naskah drama, atau bentuk fiksi lainnya—tentu akan lain soalnya. Oleh karena sastra telah dimaklumi sebagai jalan memutar bagi seseorang dalam menyampaikan suatu perkara dengan bumbu imajinasi dan opini subyektifnya --dengan kata lain berbasis pada usaha akal budi manusia yang terbatas, atau kita menyebutnya kebudayaan. Dalam itu penulis terlepas dari perangkap-perangkap yang bisa mereduksi nilai validitas dan otentisitas yang menjadi tanggung jawabnya.(Baca Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, mengenai tafsir, tahrif, takwil dan tha'til-pen) [7] Lebih-lebih menyangkut hal-hal ilahiyah yang manusia lebih sering terjebak dengan arogansi spiritual ketimbang kerendahhatian dan keterbukaan atas kebenaran. Juga, tidak seharusnya menggunakan nama Ibnu Taimiyah atau Ibnu Athailah, yang keduanya merupakan imam besar yang menjadi rujukan mereka yang sedang dalam ghirah memelajari agama dalam kajian yang lebih spesifik. Karena yang demikian itu memiliki potensi mengaburkan pemahaman khalayak yang tidak secara langsung bersinggungan memelajari kitab-kitab monumental karya keduanya. Akibatnya, lahirlah epigon-epigon gelap yang berkasak-kusuk menggunjingkan suatu perkara tanpa menilik data dan duduk soalnya.

Wallahua'lam.

----------------------

1 Ibnu Athaila, Alhikam, Syarh oleh Abdullah Sarqowi versi pegon

2 Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq

3 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab

4 Muhammad Hisyam Kabbani, Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations

5 Dobdob, Dialog rekaan antara Syaikhul Islam dengan Pengarang Al Hikam

6 Abu Miqdad Al Maidany, Tasawuf Ibn Taimiyah

7 Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah Li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah / Buku Induk Aqidah Islam, Darul Haq 1996,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun