Ibn Taymiyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Athaillah: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis-gadis penyanyi, dan menyerang masyarakat di jalan. Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Sekiranya anda telah memahami hal ini?
Ibn Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
Ibn Athaillah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?
Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Athaillah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah (Risalatul Qusyairiyah).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.