Keterbatasan alutsista khususnya dalam jumlah, untuk mengamankan seluruh wilayah Indonesia, menjadi pengingat bahwa kebijakan pengadaan alutsista yang hanya mengandalkan impor bukanlah solusi yang tepat. Memperkuat industri pertahanan nasional menjadi langkah krusial dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan negara.
Dalam upaya tersebut, Indonesia telah menerapkan beberapa strategi, di antaranya kebijakan transfer teknologi (Transfer of Technology/ToT), offset, dan produksi lokal. Kebijakan-kebijakan ini membuka peluang bagi industri pertahanan dalam negeri untuk terlibat dalam sebagian atau keseluruhan proses produksi alutsista yang sebelumnya diimpor.
Selain keterlibatan dalam proses produksi, kebijakan ToT dan offset juga memungkinkan perawatan dan perbaikan (Maintenance, Repair, and Overhaul/MRO) serta upgrade alutsista dilakukan di dalam negeri. Hal ini tidak hanya menghemat devisa negara, tetapi juga memberikan kesempatan bagi para insinyur Indonesia untuk mempelajari teknologi terkini dalam bidang persenjataan.
Beberapa contoh keberhasilan dari penerapan kebijakan ini adalah pembelian 4 unit kapal Landing Platform Dock (LPD) kelas Makassar dari Korea Selatan dengan 2 unit dibangun di PT PAL [44], pembelian 3 unit kapal selam kelas Nagapasa dari Korea Selatan dengan 1 unit diproduksi di PT PAL [45][46], pembelian 5 unit pesawat angkut C130J Hercules dari Amerika Serikat dengan pemberian akses penggantian bagian center wing box seluruh pesawat Hercules yang dimiliki oleh Indonesia di dalam negeri yang sebelumnya selalu dilakukan di Singapura dan Malaysia [47][48], pemeliharaan dan upgrade pesawat tempur F-16 melalui program Falcon STAR eMLU [49][50], serta pembangunan keseluruhan 2 unit kapal selam Scorpene Evolved di PT PAL [32].
Namun, untuk mendapatkan akses menuju teknologi persenjataan yang lebih luas dari negara produsen alutsista, diperlukan pengadaan alutsista dengan kuantitas yang besar. Hal ini berdampak pada meningkatnya biaya akuisisi. Di sisi lain, pengadaan alutsista juga harus sejalan dengan kebutuhan dari pengguna alutsista itu sendiri (user) yang dalam hal ini adalah TNI.
Selain dibutuhkan kemampuan finansial yang mumpuni, pengadaan alustsista suatu negara juga perlu diiringi dengan keinginan politik/political will yang kuat. Pembelian alutsista tidak hanya sekedar perjanjian transaksi jual-beli, melainkan akan menentukan arah politik luar negeri suatu negara.
Salah satu strategi yang patut dipertimbangkan adalah melakukan pengadaan alutsista berkualitas tinggi dengan harga terjangkau dalam skala besar. Hal ini akan membuka peluang bagi industri pertahanan dalam negeri untuk terlibat dalam proses produksi, seperti yang dicontohkan oleh Turki melalui program Peace Onyx.
Program Peace Onyx, yang berlangsung dari 1987-2011 yang terbagi dalam 4 babak, program ini merupakan proyek ambisius Turki untuk mengakuisisi dan memproduksi pesawat tempur F-16. Dalam program Peace Onyx I (1987-1995), Turki memesan 160 unit F-16 dari Lockheed Martin, Amerika Serikat [51]. Delapan unit pertama diproduksi langsung di pabrik Lockheed Martin, sedangkan 152 unit lainnya dirakit di pabrik Turkish Aerospace Industries (TAI), Turki [51].
Lebih dari sekedar pengadaan alutsista, program Peace Onyx menjadi lokomotif transformasi industri pertahanan Turki. Melalui program ini, TAI mendapatkan transfer teknologi dan keahlian manufaktur pesawat tempur canggih dari Lockheed Martin. TAI kemudian memproduksi berbagai komponen penting F-16, seperti sayap, badan tengah, dan badan belakang [51].
Dampak positif program Peace Onyx tidak hanya pada sektor pertahanan, tetapi juga ekonomi Turki. Program ini membuka lapangan pekerjaan baru di bidang manufaktur, meningkatkan kemampuan teknologi dan daya saing industri lokal, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Keberhasilan program Peace Onyx mengantarkan Turki menjadi salah satu negara dengan kemampuan manufaktur pesawat tempur terdepan di dunia.
Sengketa Laut China Selatan menjadi salah satu isu maritim terhangat di Asia Tenggara, yang mencerminkan perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Indonesia, sebagai negara non-blok, dihadapkan pada dilema strategis dalam menyikapi situasi ini.