Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, menduduki posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik. Terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia, Indonesia menjadi jalur utama pelayaran global. Sekitar 30% nilai perdagangan dunia melewati Selat Malaka, salah satu jalur maritim utama di Indonesia [1]. Jalur maritim lain seperti Selat Makassar, Sunda, dan Lombok juga melintasi wilayah Indonesia.
Keuntungan geografis ini menghadirkan peluang dan tantangan. Di satu sisi, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan maritim dan ekonomi regional. Di sisi lain, posisi strategis ini juga meningkatkan risiko keamanan maritim, termasuk ancaman terhadap kepentingan nasional dan pelayaran komersial. Salah satu contohnya adalah Laut China Selatan (LCS) yang menjadi wilayah sengketa dengan kompleksitas geopolitik tinggi.
Laut China Selatan menjadi area perebutan wilayah maritim yang kompleks dan terus memanas. Sengketa ini melibatkan beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam, serta klaim Taiwan atas gugusan pulau di LCS dan klaim hampir keseluruhan wilayah LCS oleh Tiongkok. Akar permasalahannya terletak pada tumpang tindih klaim wilayah perairan dan kepulauan antar negara-negara tersebut. Masing-masing negara memiliki interpretasi berbeda atas batas wilayah maritim mereka, yang berujung pada klaim teritorial yang saling bertentangan.
Di tengah perebutan ini, Tiongkok tampil sebagai aktor yang paling dominan. Mereka secara konsisten memperkuat klaimnya melalui berbagai cara diantaranya melalui cara diplomasi seperti penyusunan dokumen Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) dan Code of Conduct (COC) [2], ataupun melalui cara militer dengan membangun pulau-pulau karang reklamasi di LCS dan menempatkan pangkalan militer di sana. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan unjuk kekuatan/show of force, yang cenderung dilakukan melalui aksi provokatif terhadap negara-negara pengklaim lainnya.Â
Tiongkok juga kerap menggunakan milisi maritim sebagai kaki tangan penegak hukum dan militernya untuk mencapai tujuan politik di LCS, yaitu menegaskan kedaulatannya. Milisi ini ditengarai terlibat dalam berbagai insiden di LCS, seperti penghadangan, pengepungan, pengusiran, bahkan penabrakan kapal nelayan negara lain, terutama negara-negara yang memiliki klaim di wilayah tersebut [3]. Milisi maritim ini merupakan salah satu dari 3 pasukan yang digunakan oleh RRC dalam melakukan operasi maritim dimana dua pasukan lainnya adalah penjaga pantai/China Coast Guard (CCG) dan angkatan laut Tiongkok/People's Liberation Army Navy (PLAN). Milisi ini terdiri dari warga sipil yang bekerja sebagai nelayan yang menerima pelatihan militer dan merupakan bagian dari pasukan cadangan People's Liberation Army (PLA) [3].
Aksi milisi maritim maupun CCG tak jarang memicu ketegangan diplomatik, seperti yang dialami Filipina dan Vietnam, dua negara yang memiliki klaim atas LCS. Indonesia pun tak luput dari insiden serupa di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Natuna Utara, di mana klaim 9 garis putus-putus (9-Dash Line) Tiongkok juga melewati sebagian ZEE Indonesia.
Konflik Laut China Selatan ini semakin memanas ketika Filipina menggugat Tiongkok ke arbitrase internasional pada Juli 2016. Hasilnya, Filipina memenangkan gugatan dan Mahkamah Arbitrase Permanen/Permanent Court of Arbitration (PCA) memutuskan bahwa klaim 9-Dash Line Tiongkok tidak sah secara hukum internasional dan melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang ironisnya ikut diratifikasi oleh Beijing [5]. Menanggapi putusan ini, Tiongkok menolak hasil pengadilan dan memperkuat posisinya di LCS dengan membangun beberapa pangkalan militer di Kepulauan Spratly [6].
Indonesia dan beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, dan juga Taiwan memiliki kesamaan pandangan bahwa konflik di Laut China Selatan (LCS) merupakan ancaman serius bagi kedaulatan negara. Ancaman utama datang dari Tiongkok, yang mengklaim sekitar 90% wilayah LCS berdasarkan faktor historis. Klaim Tiongkok tentang "Sembilan Garis Putus-Putus" atau Nine Dash Line, secara signifikan menumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.
Untuk memperkuat klaimnya, Tiongkok tidak segan menggunakan berbagai cara. Selain mengerahkan milisi maritim untuk mengintimidasi kapal-kapal nelayan dari negara-negara ASEAN yang memiliki konflik kepentingan di LCS, Tiongkok juga mengerahkan kapal-kapal CCG bertonase besar, mencapai hingga 10.000 ton, untuk menandingi kekuatan militer negara-negara ASEAN di LCS.
Saat ini, belum ada negara ASEAN yang memiliki kapal perang kombatan dengan bobot 10.000 ton yang mampu menandingi armada CCG. Kapal-kapal CCG dilengkapi dengan persenjataan canggih, seperti meriam berkaliber besar (76/100 mm) dan kanon reaksi cepat (30 mm), spesifikasi yang setara dengan kapal perang militer kelas korvet [7].
Tiongkok tidak hanya mengintimidasi para nelayan, tapi juga memprovokasi negara-negara ASEAN yang terlibat dalam konflik di wilayah tersebut. Beberapa contohnya antara lain Penabrakkan kapal CCG ke kapal penjaga pantai Filipina pada Maret 2024 [8] yang memicu protes keras dari Filipina, dan 16 pesawat militer Tiongkok terbang di atas ruang udara Malaysia yang kemudian berujung pencegatan oleh jet tempur Malaysia pada akhir Mei 2021 [9]. Indonesia juga tak luput dari provokasi Tiongkok. Pada tahun 2016, sebuah kapal CCG melakukan manuver provokatif terhadap kapal perang Indonesia (KRI Imam Bonjol) di perairan Natuna [10].