Dalam keadaan tertentu, penulis mungkin ingin menduplikasi kata-kata mereka yang sebelumnya digunakan tanpa tanda kutip atau kutipan (misalnya, dalam menggambarkan rincian instrumen atau pendekatan analitik), merasa bahwa referensi diri yang ekstensif tidak diinginkan atau canggung dan bahwa penulisan ulang dapat menyebabkan ketidakakuratan. ketika materi yang digandakan terbatas dalam ruang lingkup, pendekatan ini diperbolehkan.
Menurut APA, pengecualian terhadap larangan plagiarisme diri adalah menerbitkan karya dengan sirkulasi terbatas di tempat sirkulasi yang lebih luas. Misalnya, penulis dapat mempublikasikan disertasi doktor atau tesis masternya secara keseluruhan atau sebagian dalam satu atau lebih artikel jurnal. Dalam kasus seperti itu, penulis tidak akan mengutip disertasi atau tesis mereka dalam teks artikel melainkan mengakui dalam catatan penulis bahwa karya tersebut didasarkan pada disertasi atau tesis mereka.
Demikian pula, sebuah artikel berdasarkan penelitian yang dijelaskan oleh penulis dalam abstrak yang diterbitkan dalam program konferensi atau prosiding tidak merupakan publikasi duplikat atau self plagiarism juga diperbolehkan.
Definisi self-plagiarism menurut APA ini tidak bersifat kaku dan masih terdapat pengecualian, semisal bahwa penulisan ulang dapat menyebabkan ketidakakuratan, Penulis ingin memperluas sirkulasi pembaca. Ketika materi yang digandakan terbatas dalam ruang lingkup terbatas dan artikel dalam prosiding (baik artikel yang diseminarkan dan kemudian terbit di prosiding ataupun jurnal juga termasuk dalam pengecualian). Namun pengecualian ini pun masih multitafsir dan ambigu, sehingga rentan terjadinya pro dan kontra dan mencederai asas keadilan dan kepastian hukum.
Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 5 Tahun 2014 dalam legalitas.unbari.ac.id
Kode etik publikasi ilmiah dapat dijadikan acuan dalam menuliskan suatu karya ilmiah, serta dalam memeriksa suatu karya ilmiah. Pasal 1 Angka 2 Peraturan Kepala LIPI Tentang Kode Etik Publikasi Ilmiah menyebutkan bahwa “Kode Etika Peneliti adalah acuan moral yang berlaku secara nasional bagi peneliti di unit penelitian dan pengembangan (litbang) dalam melaksanakan penelitian dan mempublikasikan hasil penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemanusiaan.” Surat edaran kode etik LIPI mengenai self-plagiarism dan plagiarism ini hanya berlaku bagi peneliti di unit penelitian dan pengembangan (litbang) secara nasional dan terutama di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Surat Edaran Dirjen SDID Kemenristekdikti No. B/4917/D.D2/KK.01.00/2019 tanggal 16 Oktober 2019 dan penyempurnaan pada Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud No. 638/E.E4/KP/2020 tanggal 23 Juni 2020 mengenai penilaian angka kredit dosen dan juga SURAT EDARAN 152/E/T/2012 mengenai kewajiban publikasi karya ilmiah dari tesis/ disertasi ke jurnal bagi mahasiswa program Sarjana/Magister dan Doktor.
Dalam Surat Edaran Dirjen SDID Kemenristekdikti No. B/4917/D.D2/KK.01.00/2019 tanggal 16 Oktober 2019 TERTULIS “Karya Ilmiah yang dipublikasikan/diterbitkan di jumal nasional terakreditasi, jumal intemasional selama pendidikan sekolah (tugas/ izin belajat S2 dan atau S3) yang merupakan sintesis (penggabungan) dari disertasi/ tesis diakui dan dapat dinilai dan dipergunakan untuk kenaikan jabatan dan pangkat setelah selesai pendidikan sekolah, tetapi tidak dapat untuk pemenuhan syarat khusus, dapat dipakai bila terdapat keterbaruan minimal 75% dari disertasinya.”
TERTULIS “Beberapa Perguruan Tinggi mempunyai kebijakan untuk menerbitkan buku disertasi sebagai suatu buku yang dikemas sedemikian rupa sehingga tidak nampak bahwa buku itu sesungguhnya adalah buku disertasi. Selain itu ada perusahaan yang membeli tesis atau disertasi dan kemudian diterbitkan seolah olah bukan dari disertasi/tesis dan diusulkan sebagai buku referensi atau buku monograf. Dengan demikian disertasi/tesis, dicetak dan diterbitkan secara luas baik dalam bentuk cetak maupun soft copy melalui daring dengan menggunakan salah satu bahasa yang diakui oleh PBB dan mempunyai ISBN tidak dapat dinilai sebagai buku referensi atau buku monograf untuk usulan kenaikan jabatan/pangkat akademik. “ Adanya surat edaran ini bermakna bahwa karya ilmiah (jurnal) yang berasal dari hasil tesis atau disertasi dapat dinilai dan dipergunakan untuk penilaian angka kredit dosen, dan bahkan dapat dinilai sebagai syarat khusus jika keterbaruannya lebih dari 75%. Namun surat edaran ini menimbulkan pro-kontra, semisal: 1) Bagaimana jika jurnal dari hasil tesis atau disertasi yang telah dinilai terdapat keterbaruan 75%, namun memiliki kesamaan sebesar 25% tetapi dituliskan pada hasil dan pembahasan atau kesimpulan untuk penilaian lain?; 2) Bagaimana jika jurnal hasil disertasi atau tesis yang telah dinilai tersebut, ternyata Hak Cipta dimiliki oleh penerbit jurnal?; dan 3) Apakah diperbolehkan suatu karya yang telah dinilai dan diuji untuk mendapatkan suatu gelar kesarjanaan tertentu kemudian dinilai kembali untuk kenaikan pangkat dan jabatan melalui media lain, semisal jurnal hasil dari tesis atau disertasi?
Surat Edaran Dirjen SDID Kemenristekdikti No. B/4917/D.D2/KK.01.00/2019 tanggal 16 Oktober 2019 dan Surat edaran 152/E/T/2012 mengenai penilaian karya ilmiah dalam jurnal yangmerupakan hasil tesis/ disertasi, dan kewajiban publikasi hasil karya ilmiah skripsi, tesis, dan disertasi pada jurnal, yangmana hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan akses keterbukaan riset perguruan tinggi sesuai amanat UU No 12/2012.
MAKA Surat Edaran ini tidak mengakui adanya istilah AUTO-PLAGIAT/ Self-Plagiarism atau Plagiat Diri Sendiri, karena Hasil karya ilmiah Disertasi atau Tesis atau Skripsi yang telah dinilai dan diuji diperbolehkan untuk dapat dipublikasikan di media lain seperti jurnal Nasional ataupun Internasional dan diakui untuk penilaian kenaikan jabatan dan pangkat namun tidak dapat dinilai untuk syarat khusus kenaikan pangkat dan jabatan, SEDANGKAN karya ilmiah dari tesis/ disertasi dapat dipakai untuk penilaian pangkat syarat khusus jika minimal 75% hasil karya ilmiah dari disertasi/tesis tersebut baru (maksimal 25 % berasal dari karya ilmiah tesis atau disertasi), namun berdasarkan aturan pada PO-PAK Dikti 2019, buku referensi atau monograf yang berasal dari hasil tesis atau disertasi tidak dapat dinilai untuk kenaikan pangkat akademik. Mengacu pada PERMENDIKNAS 17/ 2010 PASAL 2. Tesis/Disertasi/ Skripsi, buku referensi dan monograf, dan Jurnal ilmiah adalah jenis karya atau karya ilmiah yang sesuai dengan jenis sumber yang dibuat. Kebijakan dari surat edaran Dikti ini sejalan dengan kebijakan dari beberapa asosiasi internasional seperti APSA, AHA, ASA, dan AAUP yang hanya memasukkan masalah plagiarisme dalam kode etiknya, yang didefinisikan: ”Dengan sengaja mengambil hasil karya orang lain sebagai karya miliknya”, namun tak menyinggung masalah auto-plagiat. Menurut The American Political Science Association (APSA) dengan adanya kode etik plagiat diri sendiri atau Self-plagiarism, maka perguruan tinggi tidak diperbolehkan dan bahkan harus melarang untuk mempublikasikan sebagian atau keseluruhan isi hasil laporan penelitain/kertas kerja/ laporan praktik kerja /skripsi/ tesis/ disertasi ke dalam bentuk makalah ilmiah lain seperti jurnal, prosiding ilmiah, dan juga hak kekayaan intelektual (paten). Namun, surat edaran dari Dikti ini agak bertentangan dengan kebijakan beberapa universitas, seperti Universitas Oxford dan Universitas Cambridge. Universitas Cambridge dalam Guidance on Plagiarism and Academic Misconduct yang menyatakan bahwa secara teknis plagiat diri sendiri atau self-plagiarism diperbolehkan asalkan suatu naskah akademik tidak untuk dinilai dalam suatu penilaian akademik, sedangkan surat edaran Dikti mengijinkan naskah akademik dari tesis atau disertasi yang telah dinilai dan diujikan untuk dapat dinilai dalam kenaikan jabatan dan pangkat dosen sebagai karya ilmiah bukan syarat khusus dan bahkan dijadikan penilaian syarat khusus asalkan 75% isi naskah yang diajukan untuk penilaian berbeda dari tesis atau disertasi (dalam hal ini maksimal 25% saja kesamaan naskah yang dinilai dengan karya ilmiah tesis dan disertasi). Pada surat edaran152/E/T/2012 bahkan mewajibkan adanya kewajiban publikasi hasil karya ilmiah skripsi, tesis, dan disertasi pada jurnal, yangmana hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan akses keterbukaan riset perguruan tinggi sesuai amanat UU No 12/2012, yang secara definisi plagiat diri sendiri/ self-plagiarisme menurut Universitas Oxford dan Universitas Cambridge tentu bermaslaah surat edaran ini, dikarenakan tesis atau disertasi adalah karya ilmiah akademik yang dinilai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di suatu universitas yang memiliki kebaruan, sedangkan publikasi dalam jurnal untuk penilaian kepangkatan dosen juga memiliki kebaruan, sehingga jika sebagian atau keseluruhan hasil tesis/ disertasi disajikan kembali ke dalam suatu jurnal, maka aturan surat edaran ini bertentangan dengan definisi plagiat diri sendiri menurut Universitas Oxford dan Universitas Cambridge, dan inilah yang menimbulkan polemik dan kegaduhan. Surat edaran Dikti ini juga memiliki kecenderungan bertentangan dengan ketentuan mengenai daur ulang tulisan ke dalam Kode Etik Praktik Akademik, oleh Committee on Publication Ethics (COPE), serta pendapat Kartika Paramita, S.H., LL.M yangmana batasan penggunaan ulang sebuah tulisan oleh penulis yang sama hanya diizinkan selama dituliskan ulang secara singkat - seperti hanya terdiri dari beberapa kalimat atau satu paragraf di bagian pendahuluan, landasan teori, dan metodologi. Hasil karya ilmiah dalam bentuk jurnal yang berasal dari tesis atau disertasi memiliki kebolehjadian besar bahwa akan terdapat penulisan ulang naskah terutama pada bagian hasil, pembahasan dan kesimpulan antara naskah tesis/ disertasi dengan naskah jurnal. Surat edaran Dikti ini juga dirasakan bertentangan dengan peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 5 Tahun 2014 dikarenakan hasil penelitian yang berasal dari tesis/ disertasi akan memiliki kesamaan yang tinggi jika dipublikasikan pada karya ilmiah dalam bentuk jurnal ilmiah. Surat edaran ini juga dirasakan bertentangan dengan informasi pada tulisan the ethics of self-plagiarism pada diskusi dosen LLDIKTI 12, pada halaman web LLDIKTI Kopertis 12 yang menyatakan bahwa secara etika keilmuan, self-plagiarism tidak menyalahi apabila hak cipta dari karya sebelumnya masih sama penulis, dianggap ilegal (melanggar) apabila hak cipta dari karya sebelumnya sudah dialihkan ke pihak lain. Surat edaran ini dapat bermasalah jika tesis atau disertasi yang telah dinilai kemudian diterbitkan pada jurnal yang mengharuskan pengalihan hak cipta ke pihak penerbit. Pihak universitas atau perseorangan yang menyebarkan isi tesis atau disertasi secara komersil yangmana bagian dari tesis atau disertasi tersebut adalah bagian tulisan dalam jurnal ilmiah yang hak ciptanya dimiliki penerbit dirasakan melanggar UU Hak Cipta 28 Tahun 2014 pasal 9: Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Adanya perbedaan tafsiran mengenai plagiat diri sendiri inilah yang menimbulkan polemik dan kegaduhan yang memiliki kecenderungan mencederai hak kekayaan intelektual peneliti seperti yang diatur dalam UU Hak Cipta 28 Tahun 2014 yangmana pencipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya dan pendistribusian Ciptaan atau salinannya. Adanya pro dan kontra mengenai plagiat diri sendiri ini juga akan menganggu tugas dosen terutama seperti dalam UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 12 Ayat (2), tugas dosen sebagai ilmuwan tak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi, tapi harus menyebarluaskannya. Melihat istilah plagiat diri sendiri ini sudah cukup banyak diketahui oleh banyak orang, maka berdasarkan pengalaman diskusi dengan beberapa kolega dosen, mereka memiliki kecenderungan takut untuk menulis karya ilmiah yang telah dipublikasikan dalam bentuk skripsi/ tesis/ disertasi ke dalam jurnal ilmiah, bahkan adanya istilah plagiat diri sendiri ini juga mengakibatkan beberapa dosen takut untuk menyebarkan ilmu pengetahuannya dalam media-media preprint (pracetak) seperti Arxiv, medRxiv dan bioRxiv. Adanya istilah plagiat diri sendiri yang "menakuti" beberapa kolega dosen mengakibatkan keengganan dosen untuk menulis di media preprint atau pracetak, padahal pracetak memiliki berbagai keuntungan seperti: penyebaran hasil yang cepat, berkontribusi pada aliran informasi yang bebas, meningkatkan kemungkinan umpan balik dan komentar awal, meningkatkan jumlah kutipan, kemungkinan kolaborasi akademik, membuat penulis antusias, dapat mengurangi penerbitan predator, meningkatkan transparansi , dapat mempublikasikan hasil negatif dan kontroversi, dapat menerima DOI, tautan ke ORCID, pemeriksaan plagiarisme, kesempatan untuk menerima hibah dan penghargaan, promosi peneliti muda, kredit awal, tempat yang baik untuk hipotesis, dan deteksi dini pelanggaran sains.
III. DISKUSI
Mengacu pada uraian di atas, mengenai latar belakang, landasan teori dan aturan hukum, pendapat beberapa pakar hukum dan asosiasi, dan beberapa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan konsekuensi hukum, maka Penulis menyampaikan pendapat:
BAHWA plagiat diri sendiri atau Self-plagiarism belum diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan hukum positif di Indonesia (seperti yang dimuat dalam UU 12 tahun 2011 yang diperbaharui pada UU 15 tahun 2019), sehingga setiap peraturan yang belum diatur dalam Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka peraturan tersebut tidak diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, dan hal ini telah dijelaskan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Prof. Nizam serta tim pakar hukum dari tiga universitas (Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang) mengenai kasus rektor USU yang diduga self- plagiarism. Menurut analisa tim, kata Prof Nizam, rektor USU tidak melakukan self-plagiarism karena akses dari karya yang ia terbitkan ulang terbuka atau open access. Artinya, hak cipta dari karya ada di penulis atau pencipta bukan pada penerbit. Mengkutip pada tulisan the ethics of self-plagiarism pada diskusi dosen LLDIKTI 12, pada halaman web LLDIKTI Kopertis 12 yang menyatakan bahwa secara etika keilmuan self-plagiarism tidak menyalahi apabila hak cipta dari karya sebelumnya masih sama penulis, dianggap ilegal (melanggar) apabila hak cipta dari karya sebelumnya sudah dialihkan ke pihak lain.
BAHWA plagiat diri sendiri atau Self-plagiarism menurut The American Psycological Association berbeda dengan istilah plagiarism atau menjiplak karya orang lain, dan istilah plagiat diri sendiri ini masih menimbulkan pro dan kontra (kontroversi) dari beberapa pakar hukum baik di dalam maupun di luar, baik dari asosiasi, seperti APSA, AHA, ASA, dan AAUP, dan maupun perorangan, karena bertentangan dengan hukum internasional mengenai hak kekayaan intelektual yang telah diakui secara internasional, dan menurut The American Political Science Association (APSA) dengan adanya kode etik plagiat diri sendiri atau Self-plagiarism, maka mungkin perguruan tinggi tidak diperbolehkan mempublikasikan sebagian dan seluruh isi hasil laporan penelitain/kertas kerja/ laporan praktik kerja /skripsi/ tesis/ disertasi ke dalam bentuk makalah ilmiah lain seperti jurnal, prosiding ilmiah, laporan penelitian, dan juga hak kekayaan intelektual (paten). Perguruan tinggi yang mewajibkan mahasiswa untuk mempublikasikan karya ilmiah baik sebagian atau seluruh laporan penelitain/kertas kerja/ laporan praktik kerja /skripsi/ tesis/ disertasi ke dalam bentuk makalah ilmiah lain seperti jurnal, prosiding ilmiah, dan juga hak kekayaan intelektual (paten) akan berpotensi terkena kasus plagiat diri sendiri jika hal tersebut diberlakukan. Hal senada juga diutarakan oleh Prof. Muhadjir Effendy yangmana jika memang, kalau semua pengulangan karya dianggap pelanggaran, betapapun ringan pelanggaran itu, mungkin bisa menghambat tugas dosen atau ilmuwan. Padahal, menurut UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 12 Ayat (2), tugas dosen sebagai ilmuwan tak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi, tapi harus menyebarluaskannya. Pada tulisan the ethics of self-plagiarism pada diskusi dosen LLDIKTI 12 di GDI pada 23 September 2011 yang diunggah pada web LLDIKTI 12, dijelaskan bahwa secara etika keilmuan plagiat diri sendiri tidak menyalahi apabila hak cipta dari karya sebelumnya masih sama penulis, dianggap ilegal (melanggar) apabila hak cipta dari karya sebelumnya sudah dialihkan ke pihak lain. Plagiat diri sendiri atau Self-plagiarism ini juga bertentangan dengan UU Hak Cipta 28 tahun 2014 pada pasal 1, pasal 8, dan pasal 9 yangmana pencipta atau penulis diberikan Hak ekonomi yang merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan, yaitu seperti penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan Ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan. Penulis berpendapat bahwa jika plagiat diri sendiri ini ingin diberlakukan, maka tentunya beberapa peraturan perundang-undangan hukum positif , termasuk UU Hak Cipta, UU Sisdiknas, dan segala turunannya harus dilakukan revisi terlebih dahulu.
BAHWA disatu sisi pemerintah melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat edaran152/E/T/2012 mengenai kewajiban publikasi hasil karya ilmiah skripsi, tesis, dan disertasi pada jurnal, yangmana hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan akses keterbukaan riset perguruan tinggi sesuai amanat UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam penyebarluasan keilmuan dan pengetahuan, namun tentu kebijakan dari surat edaran tersebut memiliki potensi besar terjadinya plagiat diri sendiri atau self-plagiarism, seperti yang diutarakan oleh The American Political Science Association (APSA) dikarenakan umumnya jurnal atau prosiding yang diterbitkan oleh mahasiswa merupakan hasil tesis atau tugas akhir dari perguruan tinggi, sehingga APSA hanya memasukkan masalah plagiat dalam kode etiknya, yang didefinisikan: ”Dengan sengaja mengambil hasil karya orang lain sebagai karya miliknya”, namun tak menyinggung masalah auto-plagiat atau plagiat diri sendiri (self-plagiarsm), hal serupa dapat ditemui pada asosiasi lain seperti AHA, ASA, APS, dan AAUP.