Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Money

Jebakan Infrastruktur dan Utang, Pertumbuhan Ekonomi yang Enggan Bertumbuh

23 Desember 2019   11:02 Diperbarui: 23 Desember 2019   21:26 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara teori, pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan bertumbuhnya ekonomi, kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya juga ikut meningkat. Akan tetapi, pembangunan infrastruktur yang "ugal-ugalan" dan terlalu mengandalkan utang, pada akhirnya hanya akan membuat jebakan untuk diri sendiri dan membuat rakyat menjadi nelangsa.

Pemerintah bisa saja bangga dengan karya pembangunan infrastrukturnya. Tapi pembangunan yang lemah analisis efektivitas dan tidak memiliki skala prioritas terbukti membuat sejumlah negara terjerat dalam beban utang.

Sri Langka, Angola, dan Zimbabwe adalah contoh nyata negara yang membangun proyek infrastrukturnya lewat utang dan pada akhirnya tidak bisa membayar utang.

Pada kasus Zimbabwe, negara ini memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China. Akan tetapi, ketidakmampuan pemerintah Zimbabwe menunaikan kewajiban membayar utang membuat negara ini pasrah mengganti mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang.

Pergantian mata uang itu mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2016 setelah Zimbabwe tidak mampu membayar utang yang jatuh tempo pada akhir Desember 2015.

Cerita pilu pembangunan berbasis utang juga dialami Sri Lanka. Ketidakmampuan pemerintah membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur mengakibatkan negara ini harus melepaskan salah satu aset berharganya kepada negara donor utang. Sri Lanka harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada China.

Efektifitas Pembangunan Infrastruktur

Di era kepemimpinan Joko Widodo, pembangunan digenjot sedemikian rupa. Tidak bosan-bosannya kita disuguhkan dengan berita pemerintah meresmikan ini dan itu. Ada yang menganggap ini sebagai sebuah prestasi, tapi ada juga yang menganggap ini sebagai jalan menuju ke jurang kehancuran.

Alasan negatif terhadap gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah ini juga bukan tanpa dasar. Ekonomi yang stagnan, daya beli yang menurun, utang yang semakin menggunung, serta efektivitas dari infrastruktur itu sendiri dipertanyakan. Bahkan RAPBN yang defisit pun diberitakan, untuk membayar utang saja kita harus berhutang. Mengenaskan bukan?

Terkait efektivitas pembangunan infrastruktur, kita ambil tiga contoh proyek infrastruktur seperti Tol Trans Jawa, LRT di Palembang,dan Bandara Kertajati di Jawa Barat.

Ketiga proyek ini seolah menjadi prestasi bagi pemerintah. Tapi yang tidak diketahui rakyat adalah ketiga infrastruktur ini adalah contoh nyata dari beban ekonomi yang harus ditanggung negara.

Untuk Tol Trans Jawa, ternyata apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Tol yang diharapkan ramai dan menghasilkan keuntungan malah sepi dan menjadi beban ekonomi. Bagaimana tidak, keuntungan dari Tol ini perbulannya ditaksir hanya Rp 30 miliar.

Sementara untuk membayar bunga pinjaman yang digunakan untuk  pembangunan tol sebesar Rp 52 miliar perbulannya alias minus Rp 22 miliar. Itu juga belum termasuk dengan pengeluaran operasional pegawai setiap bulannya.

Cerita miris tentang infrastruktur yang menjadi beban ekonomi juga datang dari Palembang, yaitu LRT Palembang. Pembangunan yang menelan biaya sebesar Rp 10,9 triliun ini terancam menjadi monumen kegagalan.

Sejumlah permasalahan seperti kurangnya pasokan listrik dan gap antara pemasukan dan pengeluaran menjadi masalah utama. Gap pemasukan dan pengeluaran perbulannya mencapai Rp 9 miliar. Diberitakan juga beberapa kali LRT ini harus berhenti di tengah lintasan yang diakibatkan terputusnya aliran listrik.

Mengusung konsep burung merak, Bandara Kertajati di Jawa Barat yang digadang-gadang menjadi bandara terbesar kedua di Indonesia ini juga terancam menjadi salah satu destinasi wisata mistis.

Pasalnya bandara megah dan mewah yang berdiri di atas lahan seluas 1.800 hektare ini sepi pengunjung. Pendapatan yang hanya 10 persen dari kebutuhan biaya operasional yang mencapai Rp 6 miliar membuat infrastruktur ini menjadi beban ekonomi di tengah tumpukan utang yang terus menggunung.

Lonjakan Utang & Pertumbuhan Ekonomi "Berkabut"

Utang Indonesia saat ini mencapai Rp 5.000 triliun atau hampir menyentuh angka 30 persen dari produk domestik bruto (PDB). Threshold atau batas yang diperbolehkan sebesar 60 persen dan tenor jangka panjang hingga 30 tahun selalu dijadikan alasan pemerintah untuk memupuk utang yang terus menggunung.

Memang alasan ini bisa dijadikan sandaran untuk saat ini, tapi ancaman resesi global yang diprediksi banyak pakar dan ahli di tahun 2020 akan menjadi neraka bagi perekonomian Indonesia.

Depresi ekonomi dan moralitas yang membebankan dan mewariskan utang kepada anak cucu juga menjadi pertanyaan mendasar rakyat kepada pemerintah hari ini.

Selain pemerintah, ternyata perusahaan plat merah alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga mencatatkan sejumlah utang yang fantastis. Sebut saja seperti Garuda, PT Inalum, PLN, Waskita, dan banyak lainnya. 

Anehnya meskipun telah berutang, masih banyak juga perusahaan plat merah ini yang melaporkan kerugian dalam laporannya. Maka tak heran, sejumlah asumsi tentang BUMN menjadi ladang korupsi muncul kepermukaan.

Terkait asumsi, analisis asing juga meragukan kebenaran terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang landai di level 5 persen. Gareth Leather, seorang ekonom Capital Economics Ltd mengaku tidak percaya dengan angka-angka resmi yang di keluarkan pemerintah terkait PDB Indonesia.

Hal senada juga disampaikan oleh Trinh Nguyen, seorang ekonom dari Natixis SA yang heran dengan pengeluaran pengeluaran pemerintah lemah, investasi melambat, dan impor yang mengalami perlemahan tetapi ekonomi dapat tumbuh pada tingkat yang sama untuk waktu yang lama.

Perlambatan ekonomi, jebakan infrastruktur dan utang serta ancaman resesi 2020 adalah masalah serius yang harus ditangani oleh pemimpin yang juga harus serius. Tidak ada waktu untuk bercanda apalagi melempar beban dan masalah kepihak lain.

Mandate telah diberikan rakyat, amanah telah diemban, kini rakyat menuntut pemimpinnya untuk menunaikan janjinya. Itu hak rakyat dan tidak bisa disebut dengan radikal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun