Begitu keluar terowongan, jamaah langsung diarahkan menuju Jamarat dan sebagian harus siap kena paparan sinar matahari karena ada bagian yang tidak dilengkapi peneduh. Pada Jamarat sudah diatur arus jamaah hanya satu arah sehingga tidak mungkin jamaah yang sudah melempar jumrah terakhir tidak mungkin kembali ke jamarat pertama. Jaraknya sekitar 3 kilometer. Jalur ini khusus dipakai oleh jamaah Asia Tenggara. Malah Disinilah TPIH bergerombol dan terfokus dimana justru di jalur yang relative terjamin dan aman
Sementara Terowongan lama inilah yang banyak cabang jalan berpotensi membuat jamaah tersesat. jalur inilah yang luput penjagaan dan diawasi oleh Petugas Haji Kementerian Agama sehingga lolos dilalui oleh Ratusan Jemaah haji Indonesia yang tersesat lalu akhirnya terjebak, terbawa arus persis menuju jalan 204.
Disinilah kelalaian lukman saefuddin sebagai amirul Haj bersama ribuan personil PPIH Kemenag dalam musibah ini. Sebelumnya Oknum-oknum ini Sebatas memberikan himbauan dan konferensi pers agar jemaah mematuhi jadwal melontar, padahal Jemaah tidak sempat nonton TV atau Baca Koran, himbauan kategori kosong lukman ini karena tanpa dibarengi penempatan petugas untuk mengawasi jalur-jalur berbahaya. Padahal arab Saudi sudah menyokong dengan semua fasilitas serba modern dan kemudahan agar pemerintah Indonesia dapat lebih mudah melayani jemaahnya sendiri.
Padahal untuk konteks daerah mina, tugas PPIH Kemenag adalah mengawasi Jemaah agar taat pada jadwal dan jalur melontar yang sudah ditetapkan arab Saudi untuk setiap negara, nah seperti pada umumnya dari ratusan ribu, tidak semua Jemaah Indonesia yang perlu perlakuan khusus hanya segelintir Jemaah haji Indonesia, mereka ini seperti anak kecil di jalan raya belum tahu bahaya.
karena ketidaktahuan mereka akan daerah atau medan dan jalur-jalur di mina mesti terus dipandu, dipantau dan didampingi dan diantisipasi oleh PPIH kemenag di titik-titik tersebut. karena jutaan manusia yang ada disaat yang sama maka PPIH harusnya sadar, hanya perlu mengawasi jalur tersesat menuju arah berbahaya bukannya memantau Jemaah orang-perorang dan jumlah manusia yang ada di mina. jatuhnya ratusan korban ini hanya karena tersesat membuktikan jika PPIH kemenag lebih memilih mengurusi dan pantau Jemaah di zona aman dibanding mengantisipasi dijalur rawan dilewati Jemaah tersesat menuju daerah berbahaya.
Hal ini bisa dibuktikan dari penentuan tujuh pos-pos pengawasan PPIH Kemenag setiap musim haji hanya berada dijalur-jalur resmi, memang sudah diperuntukan bagi Jemaah Indonesia bukannya titik rawan yang dilalui oleh Jemaah tersesat, Tujuh pos itu antara lain adalah Pos Muaisim I yang akan dilalui jamaah haji Indonesia saat berada di Mina Jadid, Pos Muaisim II di mulut Terowongan Muaisim, Pos Muaisim III di dekat Jembatan, Pos Jamarat I, Jamarat II dan Jamarat III, dan Pos Aziziyah yang mengarahkan jamaah melakukan tawaf ifadhah di Masjidil Haram.jadi sejak awal Tidak ada pos untuk titik atau jalur alternative guna menjaga kemungkinan adanya Jemaah tersesat. Untuk jalur aman kenapa lagi harus focus di awasi mestinya yang dipantau jalur yang berpotensi menyesatkan Jemaah dan berbahaya.
Alasan keterbatasan personil untuk Melayani dan mengatur seluruh 170 ribuan Jemaah haji oleh petugas haji yang jumlahnya ‘ hanya” 1700 orang, 1 banding seratus perjemaah, mungkin agak logis, tapi untuk insiden Mina tidaklah demikian, karena jumlah Jemaah haji yang “kurang disiplin” dan butuh perhatian khusus hanya segelintir Jemaah, lolosnya ratusan Jemaah bergerak ke pelontaran diluar jadwal bagi Indonesia tentu tidak bisa diterima begitu saja sebagai bentuk ketidak disiplinan atau pemahaman yang salah dari Jemaah, lalu menuduh Jemaah dan arab Saudi sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Faktanya, kontribusi kelalaian kemenag sangat berpengaruh atas jatuhnya korban ratusan Jemaah haji Indonesia. PPIH Kemenag kalau memang serius mau bekerja, cukup menempatkan petugas di jalur rawan sangat efektif selamatkan Jemaah tersesat. Kesan kurang hati-hati dan waspada lukman saefuddin jelang pelaksanaan ritual lontar jumrah dan hanya mengandalkan mental penyakit bawaan birokrat PPIH Kemenag : asal menteri senang, akibatnya sikap dan prilaku mereka ini tidak bisa menyembunyikan fakta bagaimana mereka melalaikan tanggung jawab atas keselamatan Jemaah haji.
Petinggi Kementerian Agama yang sudah puluhan tahun menghadapi pelaksanaan haji sangat paham, bahwa Jemaah haji Indonesia ini patuh dan mudah diatur, kalau sejak awal petugas Kemenag sudah ditempatkan pada jalur-jalur atau simpul alternative jalan yang rawan dilalui Jemaah Indonesia tentunya tidak perlu mengawasi Jemaah orang perorang atau person per person, kalau TPIH kemenag memang profesional tentu mengerti jika menjaga dan mengawasi jalur –jalur alternative ini sudah cukup efektif menjaga keselamatan segelintir Jemaah Indonesia, kelalaian lukman sebagai amirul Hajj dan PPIH kemenag menjaga jalur perlintasan inilah yang harus dibayar mahal dengan jatuhnya korban Jemaah haji Indonesia.
Area perkemahan Jemaah haji Indonesia di mina agak terisolir, untuk menuju jamarat dari dari area tersebut Jemaah sangat sulit dan jaraknya yang jauh, karna hanya punya beberapa simpul jalur, dari tiga yang dilalui, sementara jalur yang rawan tersesat dan bercabang hanyalah di terowongan mina lama : inilah yang harusnya dijadikan PPIH Kementerian Agama sebagai pusat pengawasan, menempatkan ratusan petugas haji, sebab Arab Saudi sudah menyediakan terowongan khusus untuk Jemaah Indonesia, tidak hanya aman tapi juga “lux” karena dijejajli dengan escalator menuju lantai 3 jamarat yang juga diperuntukan untuk Negara-negara asia, sehingga walaupun melontar diluar jadwal Jemaah Indonesia tetap akan aman karena daya tampung jamarat hinga 5 juta orang.