Â
DRISTY AULIA- SAJAK DALAM CERITA-DEAR HANZ, from Dyra.
Tetaplah dalam majas yang tak berekesudahan, hingga kelak nuansa bersamamu akan kuceritakan sebagai seorang yang kupeluk dalam ratap nanah dan luka dipaksa melepas kepergian. Kita pernah menyelami lautan sendu, menyusuri pusara waktu, membuka lembaran kelabu, tentang kita yang terpasung dalam secarik kertas dalam kisah yang semu.
                                  (Figuran, 91)
Putaran lagu sendu, sebuah buku, dan layar monitor yang masih menyala di meja kerja, seperti biasa, menemani malamku yang tak pernah mampu untuk terlelap pulas seperti insan pada umumnya.
Lembaran itu perlahan kubuka, sampai pada suatu halaman yang mengajaku Kembali menyusuri ruang waktu masa lampau. Saat sepasang mata itu menjadi miliku seorang. Seraut wajah yang tak pernah hilang dalam ingatan, dialah peran utama, yang kukenal dengan nama Hanz.
Si pecandu kopi dan hujan, pria dengan tatapan dingin yang pandai memainkan petikan gitar, dan pria yang kukenal sebagai seorang pembohong besar. Ya, Hanz.
                                     ***
Caf 7Eleven. 16.00
"apa kamu percaya pada sebuah takdir?" tanyaku pelan.
Hanz menatapku sendu, lengkung sabit yang terukir di senyumnya terlihat hambar. "Tentu saja."jawabnya.
"apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk merubahnya?" tanyaku Kembali.
"ada, doa. Hanya doa yang bisa merubahnya," tandasnya kemudian.
"kalau begitu, aku akan selalu berdoa agar semesta tak bisa memisahkan kita,"ucapku.
Dia memalingkan pandangan. Lelaki itu begitu tak ramah pada setiap tegukan kopi yang tak hangat lagi. Di balik jendela, jalan terbentang luas dengan gemuruh hujan yang mengguyur bumi. Aku mencoba sedikit tenang dalam hati yang kacau berantakan.
Susana menjadi hening. Tiada lagi percakapan, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Bagaiamna bisa Hanz? Bagaimana bisa kamu berpikir semua akan baik-baik saja, sedangkan kamu sendiri tahu, kita tengah sama-sama bertarung dengan waktu untuk sebuah perpisahan yang terjeda?" ucapku lirih.
                                       ***
Sepekan setelah perbincangan kita Ketika itu, aku tidak pernah lagi melihat senyumnya, tak pernah lagi mendengar tutur manjanya. Semua itu hilang perlahan, bersama waktu yang berjalan.
Beberapa kali, aku sempat tak sengaja berjumpa dengannya di jalan, atau di caf langganan. Namun sialnya, ia berpaling dan selalu menghindar. Di kampus, akupun selalu menanyai kabar atau sekedar mengirimkan surat lewat teman dekatnya, namun semua tak pernah dapat jawaban.
Aku hancur, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Seluruh insan di bumi ini seakan mengutuku pada waktu itu, aku tahu siapapun takkan mendengarkan. Betapa aku mencintai Hanz.
Dia lelaki yang pernah menerimaku apa adanya dan mencintaiku sepenuh hatinya. Namun, kita di hadapkan pada sebuah takdir yang tak memungkinkan kita untuk bersama. Restu orang tua.
"sudahi semua drama cinta-cintaan ini Ra! Seharusnya kamu tahu diri, siapa orang yang kamu cinta itiu, dia tidak sebanding denganmu." ucap bunda ketika itu, sembari melempar barang-barang kenangan aku sama Hanz di depan banyak mahasiswa dan guru.
Hanz sendiri pada waktu itu sudah tak pernah datang ke kampus. Ia memang sengaja akan di pindahkan ke luar Negeri, hanya agar tidak berjumpa denganku lagi.
Dari awal, bunda memang tidak pernah suka dengan hubungan ini. Namun kita selalu berpikir, bahwa kita bisa merahasiakannya. Namun, lambat laun semua tercium baunya, sampai aku sendiri harus menanggung bretapa sakit di permalukan di hadapan banyak orang.
Namun dengan egoisnya, aku masih mencari dan menunggunya sampai detik dimana perpisahan itu menjadi kenyataan. Ketika aku sudah tak bisa menggapainya atau sekedar memandangnya dari kejauhan.
Namun sebelum itu, ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Tentang rindu, tentang cinta, dan tentang segala hancur yang kusimpan rapat dalam diam Ketika masih menjalin hubungan. Aku terbiasa menulisnya dalam buku, yang kini telah tersebar luaskan.
                  ***
Bertahun-tahun berlalu, sampai pada suatu hari, seorang teman lama menghubungiku.
"kamu sekarang jadi penulis?" tanyaya tiba-tiba
"apa namu penamu adalah Dyra?" tandasnya kemudian.
Sementara aku masih terdiam
"Aku punya seorang teman, aku memberikan puisi untuknya, kutipan dari bukumu. Tadinya aku berniat untuk menciptakan suasana baru untuknya karna aku menyukainya. Namun ternyata, aku salah. Saat itu, dia menolak puisinya dan memintaku untuk membuatkan puisi baru untuknya. Dia bilang, dia mengenal itu puisi siapa." Tuturnya, membuat aku terdiam seketika. Tak percaya dengan semua yang aku dengar barusan
"Lalu?" sahutku penasaran.
"dia mengeluarkan buku yang sama denganku dalam tas nya, dan dia ucapkan nama aslimu dengan jelas, hingga aku tahu Dyra itu adalah kamu." Tuturnya.
Seketika air mataku jatuh, membiarkan ponselku masih ku genggam dan kutempelkan ditelinga.
"siapa nama teman yang kamu sukai itu?" tanyaku kemudian
"Hanz," jawab temanku.
"kamu hebat ya, teman aku saja tahu kamu siapa," ucapnya kemudian  sebelum akhirnya menutup telepon.
                                ***
Jadi, selama ini buku itu sudah sampai di tangannya. Buku yang kususun dari lembaran luka yang kutulis selama aku masih bersamanya. Ajaibnya semesta, meski kadang tak adil, namun sesekali takdir memang suka sebercanda untuk membuatku sedikit tertawa.
        Pada suatu hari, kau dan aku pernah menjadi kita. Hingga aksaraku terlahir untuk mengabdikan dialog-dialog sendu, yang kutulis dengan air mataku. Kini, esok, lusa, dan selamanya tentang kita akan kuperkenalkan pada dunia.
       Dunia ini mungkin kuasa mereka yang sempurna, namun perihal cinta yang kupunya, sungguh tiada siapapun yang akan mampu menandinginya.
                                      (Figuran, 130)
SELESAI.
   Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H