Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jadi Guru atau Jadi Penulis Produktif

6 Juli 2024   06:15 Diperbarui: 13 Juli 2024   11:41 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar koleksi pribadi

Kalau dahulu hanya teman sepermainan di rumah dan sekolah saja, tapi dewasa ini,  di berbagai media sosial pula. Guru dan sekolah harus menciptakan berbagai lingkungan  untuk pertemanan  dalam berbagai Fasilitas. Teramasuk media social. Guru harus memanfaatkan media sebagai lingkungan yang menyenangkan. Karena lewat tiktok, facebook, twiter, grup WA,  atau youtube itu bisa menjadi ajang mengembangkan aneka  bakat.

Mengikuti perkembangan AI, Perkembangan media sosial itu jangan jadi beban bagi guru, tapi harus jadi sebuah hiburan yang menyenangkan. Noe Sabrang dari Letto menciptakan media sosial yang lebih baim dari Faceebook atau IG. Media sosial "Simbolic" harus disambut dunia pendidikan. Jika ada temuan baru demikian, jangan jadi beban. Bila perlu segera mengajak lingkungan sekitar ke hal yang lebih bermanfaat. Mengajak itu hendaknya berawal dari paparan berupa tulis menulis terkebih dulu. 

Profesor, Dr. Rhenald Kasali, P.Hd kini jarang menulis di media Kompas tapi beralih ke youtube. Mengapa? Jawabannya karena tuntutan netizen. Tapi perlu di ingat, awal karirnya dari penulis dan dosen bukan?


C. Membangun Komunikasi Lintas Generasi.


Generasi milenial dan Gen-Z, sebelumnya hanya sebagai anak ingusan, kini banyak yang sudah jadi guru juga bukan? Generasi-Z atau Gen-Z yang lahir rentangan 1997 sd 2012. Generasi Y atau milenial  1981 sd 1996. "Setiap generasi akan lahir sosok tauladan dan sosok korban kemajuan jaman." Sosok individu pelopor hendaknya jadi jembatan penghubung antara sosok tauladan dan sosok tertinggal. Tentu menghubungkannya lewat literasi yang dibuat. Karenanya guru wajib menguasai media sosial yang konten-kontennya digandrungi remaja saat ini. Iwan Fals pernah berterima kasih kepada Pemerintahan Orde Baru. Karena sempat diperiksa kepolisian, sebagai dampak komunikasi intensif dengan remaja pada jamannya. Komunikasi saat itu lewat lagu yang dia ciptakan. Lagu-lagunya dianggap memprovokasi penguasa maka sempat diadili, dan menangis. Itulah awal karir gemilangnya.  Kisah seperti itu dialami juga oleh para tokoh lain, seperti halnya pedangdut Roma Irama dan grup band Koes Ploes. Itu dari pemusik dan penyanyi.Dari penulis sastra kita mengenal Sastrawan Ananta Toer & Buya Hamka bukan? Mereka terkenal berkat keberhasilannya membangun komunikasi (Kadi Influenser).

Guru produktif bisa jadi tokoh tauladan pada jamannya. Bisa menjabat sebagai rektor, bisa menjabat sebagai anggota dewan, bisa menduduki posisi nomor 1 di pemerintahan. Dari mana mulainya? Tentu guru itu selayaknya berkarya sesuai bidang ilmu yang digelutinya, agar  lebih mudah populer seperti  "Guru Gembul" yang punya dasar ilmu Sejarah dan PKN. Seorang guru tidak usah merasa kecil hati jika folowernya tidak bisa bersaing, sebab punya tugas mulia. Tentu saja tidak harus   keluar menjadi yang terbaik seperti halnya konten karya  "Guru Gembul" yang  kini jadi youtuber ternama di Indonesia. Karena setiap jaman ada penghuninya dan setiap penghuni itu ada jamannya. Setiap generasi menempati dan mengisi budaya sesuai tradisi  jamannya. Minimal para guru tahu persis, langkah-langkah, bagaimana agar dapat Reward berupa esen dari youtube, serta tahu rambu-rambu agar tidak kena bened, itu saja sudah cukup.

Karena kaum milenial dan Gen-Z lebih banyak punya peluang seperti Heriss Skuyy dari Bandung yang dikenal sebagai "Hacker Bocil" Ome TV. Fiki Naki dari Padang yang taaruf dengan Tugba dari Turki. Mereka sangat terkenal hingga ke mancanagara, karena penguasaan Bahasa Ingris, Prancis, Rusia, Hibru, Korea, Vietnam, Turky dan sebagainya. Karyanya sangat viral. Padahal Fiki Nakiitu hanya belajar secara autodidak.  Kini  konten-kontennya sangat mendidik memasyarakat di kalangan milenial dan generasi-Z.  Mereka banyak menginspirasi generasi muda lintas negara. Bahkan kini banyak orang Vietnam yang bersahabat dengan youtuber Heriss Skuyy dan Fiki, dapat penghargaan dari tiktok berkat netizen dari Indonesia seperti Queenny dan Pe Nhung dari Vietnam?

Orang Eropa dan Korea  kini banyak  mengekor dengan menjilat netizen Indonesia. Pada mulanya hanya pura-pura menyukai dan menyanjung orang melayu, padahal dibelakang bicaranya berbeda. Seperti hebohnya situs Korea "Indosarang" yang rasis dan viral.  Awalnya merrka hanya mencari follower tapi akhirnya  banyak yang terjerembab dalam kebaikan,  hingga akhirnya mereka  pindah kewarganegaraan dan benar-benar cinta NKRI. Karena sebanyak 279.804.817 atau dibulatkan 270 juta jiwa penduduk Indonesia sangat menjanjikan bukan ? Bahkan seorang Profesor. Dr.  Orvalla dosen dari Rusia, telah  turut menikmati luasnya pengguna Bahasa Indonesia di Dunia.

Tampaknya pola Pendidikan harus terus menyesuaikan diri lewat kegiatan yang lebih mengarah ke pengembangan  literasi. Pola Pendidikan yang dikembangkan para orangtua harus dijembatani oleh pihak sekolah. Karena orangtua di perkotaan terlalu sibuk dan banyak keterbatasan.Di Bekasi orangtua rata-rata berprofesi sebagai karyawan yang memiliki tuntutan dan target sehingga berpengaruh dalam pola pendidikan anak. Santrock (2002:257) menjelaskan bahwa "pengasuhan yang otoriter ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orangtua dan menghormati pekerjaan dan usaha".


Sedangkan menurut Baumrind sebagaimana dikutip oleh Santrock (2002:257) menjelaskan bahwa "pola asuh demokratis mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka". Berdasarkan pendapat diatas maka  dapat diduga  bahwa kedua jenis pola asuh diatas memiliki karakteristik atau cara yang berbeda dalam mendidik anak.
Dengan pola asuh otoriter memang membuat anak menjadi lebih penurut, patuh dan sopan namun dalam jangka panjang dapat membuat anak menjadi rendah diri karena merasa selalu salah dalam mengambil keputusan dan kurang dihargai. Akhirnya individu menjadi selalu kalah bersaing di era persaingan nglobal.


Seperti kasus pada Santrock (2002:361) bahwa "orang tua yang melihat upaya anak-anak mereka dalam membuat sesuatu sebagai "kacau" atau "berantakan" dapat mendorong perkembangan rasa pada anak-anak". Sedangkan pola asuh demokratis "membuat anak mampu mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerjasama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik" (Santrock, 2002:167).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun