Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menguak Dampak Kenaikan BBM & Gaya Hidup Serupa Ferdy Sambo (Kisah Menjelang Rapat Komite Sesuai Pergub 44)

10 September 2022   07:35 Diperbarui: 12 September 2022   17:17 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa buku pengalaman demikian sudah diterbitkan dan dipasarkan. Buku ber ISBN itu merupakan kumpulan kisah nyata yang biasanya ditutupi "karena dianggap kisah kelam"  walaupun latarnya bisa karena naiknya BBM atau gaya hidup berlebihan. Ketika terjadi gesekan di sekolah, seringnya dunia pendidikan mengalah dan menutupi, walau gaya hidup berlebihan jadi pemicunya.

"Gaya hidup" dapat diduga jadi latar gesekan di masyarakat. Banyak memiliki istri lebih dari satu tanpa memperhitungkan kemampuan ekonomi salah satu gaya hidup itu. Daftar nama anak yang tidak terdata  karena statusnya berupa anak sambung dari istri  muda,  yang  baru dinikahi bisa berdampak buruk jika tidak tertib administrasinya.  Banyak memiliki istri,  bagi yang mampu dalam bidang ekonomi dan mampu berbuat adil tentu jadi sarana dakwah. Tapi kita harus bercermin kepada kisah  nasib anak keluarga "Predi Samboo"  yang membuat penggagas film "si-Komo" turun tangan (Kak Seto)  untuk memenuhi tuntutan kemanusiaan. Padahal dari segi perekonomian  mereka lebih dari cukup.

Gaya hidup keluarga yang berlebihan dan keluargs terjepit akibat tekanan ekonomi itu, berdampak pada  jenjang pendidikan yang dapat ditempuh. Sikap emosional  masyarakat sering dirasakan oleh guru ketika mereka harus berhadapan menyangkut anak didik. Peristiwa demikian  sering terjadi  di sekolah padat penduduk. Keragaman keadaan masyarakat sering sekali mengancam keselamatan para pengelola dunia pendidikan. Kekerasan pisik dan kekerasan verbal sering menyertainya. Sering pula konflik lahir akibat anak yang kurang perhatian di rumah, menjadikan sekolah jadi kambing hitam. Padahal siswa lebih banyak waktunya diluar sekolah.

Kenaikan BBM  akan sangat dirasakan dampaknya pada masyarakat bawah, menambah pula beban dunia pendidikan. Untungnya untuk sekolah di Jawa Barat di tahun ajaran baru, ada instruksi tidak boleh ada rapat komite sebelum ada instruksi. Kini harus bersyukur  dengan lahirnya Pergub nomor 44. Sehingga pihak sekolah dan masyarakat merasa bahwa pemerintah hadir mengatur kondisi untuk  menghindari konflik seperti dalam tulisan ini(DN).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun