Kisah-kisah  yang hampir tragis  seperti  itu, seringkali malah  berujung lebih bersahabat. Namun berita tandingan harus tetap dibuat. Jadi pihak sekolah harus rutin menulis. Karena pembaca tidak akan tahu kini kami berangkulan. Begitulah  pihak pemangku dunia pendidikan selalu mengalah dan memaafkan. Memang awalnya  para oknum  membuat serangan  berupa kirim pesan singkat berentet berupa kalimat menekan  bahkan menyerupai ancaman, memancing emosi.  Intinya memaksakan kehendak tidak beretika.Â
Kalimat pesan singkat itu dikirim berkesinambungan tiada henti. Yang kalimatnya kadang membuat merinding bulu kuduk. Tak jarang  kasus tuduhannya sampai diangkat ke media abal-abal yang dicetak terbatas untuk dibagikan cuma-cuma sebagai teror. Seringnya berupa tulisan di media online yang tidak jelas, karena media demikian tidak dikenal masyarakat. Tapi hanya disebar  laksana  sistim manual, lewat bisikan malu-malu. Di share berulang kali ke orang yang sama. Jika  pengelola sekolah tidak suka menulis apalagi tidak punya studio podcast dapat dibayangkan "pencemaran itu, tampa klarifikasi." Tapi kami kini  (SMA Gubuk Apung) jadi punya beberapa buku  yang diterbitkan disamping tulisan di media online seperti ini.
Ketiga peristiwa  "salah paham:  yang diceriterakan di atas, terjadi di sekolah yang masyarakatnya mengalami tekanan ekonomi yang begitu kuatnya saat itu.  Banyaknya individu yang tidak sempat berpikir panjang, diduga karena dampak gaya hidup & tekanan ekonomi. Atau mungkin juga ambisi pribadi.
Karena  diantara  peristiwa ini ada yang tuntas  dengan sangat baik,  solusinya  cukup unik, membuat penulis sering tersenyum setiap kali melihat "baju robek yang diabadikan dalam lemari pakaian itu". Setiap kali melihat baju itu pasti teringat tiga kisah di tempat  berbeda yang memiliki motif  hampir sama dengan Ferdy Sambo itu. Yaitu kesalah pahaman, namun bisa tuntas diselesaikan dengan penuh keakraban. Akhirnya kami bersahabat. Dan hal ini sesungguhnya adalah prestasi besar yang layak mendapat kenaikan pangkat dengan mudah, apalagi PAK sudah di tangan.
Salah satu  dari  tiga kisah di atas diantaranya ada yang hampir terjadi adu pisik. Kasusnya ada yang mendekati peristiwa asmara Ferdy Sambo. Persamaannya tokoh dalam peristiwa ini adalah orang  yang memiliki hak istimewa (Privilese) karena individu itu punya jabatan terhormat. Dan tentu saja layak dihormati karena banyak  jasanya. Akhirnya dia minta maaf lewat ajudan pribadinya, karena kealfaan yang telah dia lakukan. Dan kami saling memaafkan.
Dia saat itu, sangat emosi besar ketika ada laporan bahwa  anak kandungnya ada di deretan nama yang termasuk belum menyelesaikan administrasi. Setelah di cek ulang "beliau lupa kalau anak itu dari istri yang belum di publikasikan" jadi pihak organisasi sekolah tidak mengenal bahwa itu anak tokoh terkemuka. Akhirnya kami semua  tertawa dibalik kengerian.  Dan di akhir kisah persahabatan itupun terjalin baik hingga saat ini. Mungkin saja tulisan ini, bisa jadi bahan untuk cinematografi atau sinetron pembelajaran.
Yang disayangkan di setiap tempat yang berbeda selalu ada kasus serupa. Emosional individu itu memuncak diduga  karena dampak dari tekanan ekonomi  dan gayà hidup. Kisah serupa diatas pernah terjafi ketika itu seorang panitia kegiatan mengumumkan daftar nama dan ditemukan nama seorang anak tokoh penting (non pemerintah) di dalamnya. Saat penulis turun dari kendaraan, baju bagian leher ditarik dan diseret orang tua tersebut, hingga robek dan kancingnya terlepas. Sebelum kejadian WA di banjiri kalimat penuh dengan ancaman. Tapi akhirnya dalam salah satu acara di sebuah gedung besar, satu keluarga datang dan meminta maaf. Padahal kisah itu sudah hampir terlupakan. Tapi kisah ini layak jadi pembelajaran bagi pengelola kemasyarakatan yang keadaannya unik di masa naiknya BBM.
Kisah ini sengaja di tuliskan menyangkut kenaikan harga BBM saat ini yang sulit dihindari pemerintah. Dampak kenaikan bahan bakar minyak  akan merembet ke harga barang lainnya, ongkos angkutan,  hingga barang konsumsi. Hal ini  diduga akan berdampak dan mengakibatkan gesekan seperti gejala di atas. Pihak sekolah di daerah padat penduduk yang pertama kali akan merasakan .
Untungnya bagi masyarakat di
Jawa Barat saat ini beredar surat Pergub Nomor 44. Yang akan jadi rujukan untuk rapat komite dengan penuh damai. Keluarga miskin harus dibebaskan dari sumbangan apapun, tapi keluarga berekonomi kuat harus dipertahankan agar tidak lari pindah ke sekolah unggulan dengan senjata kekuatan ekonomi yang dia miliki. Realitanya orang kaya lebih memilih jalan pintas pindah sekolah ketimbang bersatu memajukan sekolah yang baru  merintis.  Apalagi jika saat rapat komite lebih banyak orangtua yang mrnuntut serba gratis sesuai janji kampanye.  Saat situasi terjadi maka orang kaya akan lari mencari peluang menempati sekolah yang sudah mapan. Yang penting ada batu loncatannya.
Patut disyukuri jika sekolah yang ada itu orangtuanya bahu membahu membebaskan keluarga miskin dari belenggu yang ada. Sehingga orang kaya tidak lari mengambil jalan pintas. Tapi mendorong sekolah untuk berprestasi dalam segala  hal. Akan lebih  bersyukur bagi  beberapa sekolah yang sudah melakukan rapat komite sebelum BBM di naikan pemerintah, peluang itu akan tampak lebih besar. Tapi bagi yang belum melakukan rapat komite, tentu harus memikirkan tentang peristiwa  dalam tulisan ini. Maka SMA Gubuk Apung di Bekasi melakukan sosialisasi dulu lewat Podcast untuk menjaring para calon pengurus komite. Kampanye  bakal calonnya dipilih  berjenjang  seperti calon anggota legislatif. Dan berita miring di media online sudah di klarifikasi lewat podcast dan tulisan di my.id dan kompasiana.
Sekolah itu sarana pendidikan untuk mengubah pola pikir anak didik dan masyarakat. Kisah baju robek dan kancing pada copot itu adalah kisah tragis yang nyata. Dapat diduga akibat beratnya "Tekanan ekonomi."  Hal ini baru diantara yang jadi salah satu penyebab lahirnya kekerasan pisik  hingga mengarah pada ancaman melayangnya nyawa seseorang. Sungguh mengerikan. Tapi inilah tugas dunia pendidikan yang harus tampil sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin sebagian besar pendidik akan menyembunyikan kisah kelam demikian. Tapi bagi penulis, kisah demikian harus dipublikasikan.Â