Mohon tunggu...
Noor Azizah
Noor Azizah Mohon Tunggu... pelajar -

email baru avantidm@gmail.com. terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengejaran Pendakian (3)

21 Januari 2018   09:35 Diperbarui: 22 Januari 2018   08:26 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memberi kabar pada dia, kalau tersesat disebabkan sopir kurang ajar yang sok tahu. Brian sudah melakukan riset bahwa view terbaik mendaki Merbabu adalah track Selo. 

Kami sudah menjelaskan, Selo terletak di Boyolali. Bagaimana bisa si sopir membawa kami ke Magelang? Andai bisa kubedah otaknya, sudah kulakukan untuk memasukkan Google Map ke dalam batok kepala sopir pick up yang kami sewa. 

Dan seperti biasa, sesaat kukabari dia kami tersesat, chat panjangnya memasuki inbok memberiku teori berkepanjangan untuk mengalihkan track mendaki, karena sudah berada di Magelang. 

Aku sebal membaca chatnya, meski mengakui kebenarannya. Sungguh aku heran, apa yang membuatku mengabarinya. Entahlah.

Kuraih ponselku, kali ini kukabari gadisku, bahwa waktu pendakian menjadi lebih panjang dari yang semestinya. 

Gadisku belum pernah mendaki. Dan aku ingin akulah yang mengenalkan padanya betapa mengasyikkan menapaki jalan menanjak menuju puncak. 

Gadisku memahami betul kesukaanku pada pendakian. Dia tak pernah melarangku, bahkan membelikan bandana untuk kupakai di setiap pendakian. "Anggap aku menemanimu Bang," katanya saat dia memberikan bandana.

Tersenyum, kucium lembut bandana pemberiannya. Terbayang senyum lembut lesung pipinya. Membuatku merindukan gadisku. kukira gadisku tengah sibuk dengan tuts laptop meluncurkan ratusan kata untuk sebuah cerita. 

Sebenarnya aku bosan dengan semua cerita yang dibuat. Karena akulah tokoh utama semua kisah yang ditulis, meski tidak terang-terangan namaku ada di sana. 

Ingin aku bertemu gadisku melepas rindu. Bunyi notifikasi berbunyi, "Aku naik," pesan pendek membuyarkan lamunan akan gadisku. Dia. Kujawab pendek,"Ya, hati-hati."

Dia dan gadisku, memang berbeda. Gadisku sendiri sudah berbeda dibanding gadis umumnya. Tidak suka K-Pop, selfie, jalan-jalan di mall. Kesukaannya membaca dan menulis. 

Artikel tulisannya tersebar di beberapa media online. Readernya disalah satu media online mencapai ribuan. Dan sekarang kesibukannya bertambah dengan mengajar mengaji di masjid.

Dia, lebih berbeda lagi. Suka sekali dengan tantangan, dan mendatangkan masalah bisa jadi bakat dia yang lain. Cerdas, matematika menjadi kesukaannya. Efektif, efisien dan logis, meski cengeng. 

Dia yang mengajari gadisku bisa membaca Al Qur' an. Pengetahuan syariahnya juga tidak bisa dibilang amatir meski jauh dari tingkat ulama. Berat kuakui dia kombinasi yang sempurna, tapi tidak untukku. Tak bisa kulepas dia meski tak bisa juga kumiliki. Aku dan dia terperangkap dalam dimensi waktu.

***

Aku sudah turun dari Merapi. Kembali berhadapan dengan rutinitas harianku. Udin berkali menemuiku dan berdiskusi tentang proyek yang kini memasuki tahapan diagnosa. Tanpa dia, kami tak bisa memutuskan tindak lanjut proyek tersebut.

Tiga hari berselang sejak dia naik, belum ada kabar. Ponsel tak ada gunanya dalam pendakian selain untuk mengambil foto. Resah menghinggapiku. Semua sosmed yang dia miliki kukirimi pesan. Tak ada satupun yang direspon. Ini musim hujan dan badai.

Aku sendiri terjebak badai di puncak Merapi. Aku dan tim lain yang sudah mencapai puncak, tak punya pilihan selain bertahan. 

Angin dengan kecepatan 6 km/jam menerbangkan apapun yang dilalui. Batu besar yang kami harapkan jadi pelindung tenda kami, tak mampu menahan terjangan angin yang menggila. Masih ditambah rinai diiringi kilat yang sesekali muncul, cukup menciutkan nyali, meski tak diiringi suara menggelegar. 

Suhu merendah, kabut menyelubungi area perkemahan, meski kupakai dua kaos kaki, tak juga bisa mengusir dingin di kakiku yang mengigit hingga ke sumsum. Kunyalakan kompor untuk menghangatkan tenda. Dalam cuaca seperti ini, mataku tak bisa terpicing barang sekejap. Terlebih benakku penuh akan dia. 

Kukira diapun menghadapi badai yang sama. Merapi dan Merbabu hanya sepelemparan batu. Bersebelahan, berdiri berdampingan seakan saling menjaga. Merapi yang manja masih suka ngambek dengan menyemburkan lahar dan awan panas mengusir para pendaki patah hati. 

Merbabu yang lembut, anggun menyimpan misteri bagi pendaki yang membawa hati untuk pergi.

Saat kupandang sunrise jingga yang perlahan mengusir kabut lembut di ufuk fajar. Kupandang Merbabu di seberangku, seakan aku bisa melihat sosoknya berdiri di sana. Adakah dia memandang apa yang kupandang dari puncak triangulasi? Bisakah dia mengatasi badai semalam? Semoga.

Hampir tiap jam kulihat notifikasi ponselku. Mengharap kabar darinya meski hanya sepatah kata, seperti biasa, tapi itu pertanda dia selamat. Hufft.. benar-benar menyiksaku menanti kabar dari seseorang yang tak peduli akan kecemasanku. 

Aku tahu, cemasku tak ada artinya. Tapi aku tak bisa menghentikan kecemasan ini. Kututup laptopku. Tak ada yang bisa kukerjakan.

***

Badai menggila di puncak. Sejak sore gerimis sudah menemani kami menapaki track. Jalan menjadi licin dan sedikit berlumpur. Semakin malam debit hujan semakin meningkat. Dan mencapai puncaknya ketika kami sudah bergelung dalam sleeping bag, melepas penat. 

Logistik kami terjatuh di tengah perjalanan, menyisakan sepotong sandwich coklat dan sebotol air mineral tanggung, untuk dibagi ber enam. Luar biasa.

Aku menelan ludah, kembali menyadari kebenaran saran dari dia, untuk mulai mendaki selepas dhuhur. Kami memulai pendakian selepas ashar, melalui track Wekas, yang memiliki karakteristik medium di bawah Selo tapi di atas Suwanting. 

Pemandangan yang disajikan tetaplah menyejukkan mata, meski tak seindah Selo atau Se syahdu Suwanting. Dalam keterbatasan logistik, aku merasakan beratnya bertahan untuk bisa turun dengan selamat. 

Seperti yang pernah diucapkannya, pendakian tanpa pernah turun adalah pendakian yang gagal. Beruntung pagi menjelang badai mereda, sehingga sunrise yang begitu indah menjadi hadiah penghilang letih lelah.

Dering notifikasi seakan berlomba memasuki ponsel, saat aku mencapai base camp. Pesan dari gadisku, mama, dan dia memenuhi inbokku. Terbanyak memang gadisku, senyum simpul mengingat wajah manis penuh kecemasan menantikan kabarku. 

Ah, rinduku untuknya. Kupandang lama nama lain yang terpampang di sana. Antara keinginan membalas dan mendiamkan pesannya. Aku tahu dia cemas. Meski hanya sepotong pesan, namun menggambarkan keresahan. 

Kukirimkan fotoku, memberitahunya aku baik-baik saja. Entah kenapa, aku ingin menemuinya. Mungkinkah rindu? Bisa jadi.

***

Sore itu jogging track tidak terlalu padat. Aku berlari seperti biasa untuk menjaga stamina. Meski ada alasan lain. Menghilangkan kecemasan. Aku tak ingin resah menyergap, membuatku tak bisa berkonsentrasi pada apapun. Aku yakin dia tahu kalau aku mencemaskannya. 

Dan aku menduga dia sengaja tak memberiku kabar. Mestinya dia sudah turun. Menyadari kenyataan itu, darahku menggelegak. Semakin kupikirkan semakin darah naik ke kepala, membuat ayunan langkah lariku semakin cepat. 

Aku tak peduli nafasku tersengal, mulai berkunang dan kabur karena air mata yang tak bisa kucegah turun deras. Setengah terisak aku terduduk dengan kepala tertunduk di bangku taman jogging track. Aku merasa bodoh menurunkan airmata tanpa guna. 

Toh aku tahu, aku tak pernah punya arti baginya, sebagaimana dia tak kuijinkan memasuki relung hatiku. Namun airmataku mengatakan hal sebaliknya.

"Kenapa menangis?" Suara yang kukenal mengagetkanku. Cepat kuangkat kepalaku, meski masih terisak pelan, dengan mata basah, kutatap dia dalam-dalam. 

Dia berdiri didepanku, sehat, tak kurang suatu apapun. Memandangku dengan tatapan dingin seperti biasa. Tak tahan kuangkat tanganku. "Plaakk..!!" Meski tamparanku pelan cukup membuat kepalanya miring dan menghadirkan ekspresi kaget campur heran.

"Kenapa?" Tanyanya. Isakku mengeras. Tatapan tersirat kemarahan, namun berangsur meredup dan berakhir melembut, saat menyadari kecemasanku. 

Pelan ditariknya tubuhku dalam peluknya.  Kudekap erat. Isakku tak bersuara. Namun bajunya basah oleh deras airmata. Degub jantungnya terdengar keras di telingaku. Diangkat pelan wajahku, "Maaf membuatmu cemas."

Runtuh sudah pertahanan diri, aku hanya menggeleng. Kami duduk di bangku taman lama tak bersuara, memperhatikan kesibukan orang di taman. Menatap senja perlahan menghitam.

"Kuantar kau pulang," katanya. Aku diam. Beranjak mengikuti langkahnya. Sampai di depan pintu rumah, aku menoleh,"Maaf tak kutawari kau masuk."

"Tak apa." Ditariknya lenganku pelan, mendaratkan kecupan di dahiku. Makin berani dia. Aku tak bisa menolak. Kuberikan senyum kecil. 

Dia membalikkan badan, melangkah tanpa menoleh. Sepanjang malam mataku tak berhenti meneteskan air mata, bahkan di tengah aktivitas yang kulakukan keesokan hari. Seolah tak kehabisan sumber untuk dialirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun