Kukirimkan fotoku, memberitahunya aku baik-baik saja. Entah kenapa, aku ingin menemuinya. Mungkinkah rindu? Bisa jadi.
***
Sore itu jogging track tidak terlalu padat. Aku berlari seperti biasa untuk menjaga stamina. Meski ada alasan lain. Menghilangkan kecemasan. Aku tak ingin resah menyergap, membuatku tak bisa berkonsentrasi pada apapun. Aku yakin dia tahu kalau aku mencemaskannya.Â
Dan aku menduga dia sengaja tak memberiku kabar. Mestinya dia sudah turun. Menyadari kenyataan itu, darahku menggelegak. Semakin kupikirkan semakin darah naik ke kepala, membuat ayunan langkah lariku semakin cepat.Â
Aku tak peduli nafasku tersengal, mulai berkunang dan kabur karena air mata yang tak bisa kucegah turun deras. Setengah terisak aku terduduk dengan kepala tertunduk di bangku taman jogging track. Aku merasa bodoh menurunkan airmata tanpa guna.Â
Toh aku tahu, aku tak pernah punya arti baginya, sebagaimana dia tak kuijinkan memasuki relung hatiku. Namun airmataku mengatakan hal sebaliknya.
"Kenapa menangis?" Suara yang kukenal mengagetkanku. Cepat kuangkat kepalaku, meski masih terisak pelan, dengan mata basah, kutatap dia dalam-dalam.Â
Dia berdiri didepanku, sehat, tak kurang suatu apapun. Memandangku dengan tatapan dingin seperti biasa. Tak tahan kuangkat tanganku. "Plaakk..!!" Meski tamparanku pelan cukup membuat kepalanya miring dan menghadirkan ekspresi kaget campur heran.
"Kenapa?" Tanyanya. Isakku mengeras. Tatapan tersirat kemarahan, namun berangsur meredup dan berakhir melembut, saat menyadari kecemasanku.Â
Pelan ditariknya tubuhku dalam peluknya. Â Kudekap erat. Isakku tak bersuara. Namun bajunya basah oleh deras airmata. Degub jantungnya terdengar keras di telingaku. Diangkat pelan wajahku, "Maaf membuatmu cemas."
Runtuh sudah pertahanan diri, aku hanya menggeleng. Kami duduk di bangku taman lama tak bersuara, memperhatikan kesibukan orang di taman. Menatap senja perlahan menghitam.