Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Media Penelitian Masih Terpenjara dalam Bentuk Teks?

7 April 2023   21:12 Diperbarui: 8 April 2023   22:39 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.(PIXABAY.COM/ GERD ALTMANN)

Entah bagaimana iklan jasa penulisan ilmiah tersebut bisa mampir di feed Instagram saya. Apakah ini pertanda joki ilmiah kini makin laris di dunia kampus? Saya jadi teringat pengalaman teman saya beberapa bulan belakangan. 

"Joki pembuat skripsi sekarang mahal, bisa sampai 5 Juta." Keluh teman saya suatu ketika. 

Kami pun berdiskusi tetang bagaimana sebuah skripsi dituntaskan. Karena kebetulan saya sudah mengalaminya jauh sebelum dia, maka saya berlaku semacam mentor dadakan untuknya. 

Dia pun mentraktir saya kopi, walau tak sedikit pun saya menyentuh laptopnya. Saya hanya menjawab apa yang ia tanya, dan memberi sejumlah refrensi. Saya kira ini semacam pekerjaan dosen pembimbing.

Teman saya itu jarang sekali bertemu tatap muka dengan dosen pembimbingnya. Menurutnya ia hanya kosultasi melalui WA dan setelah bertemu tatap muka, teman saya kerap kali mendapat persetujuan dengan ucapan semacam ini, "Lanjutkan saja dulu sampai bab 3." 

Singkat cerita, teman saya berhasil lulus. Beberapa minggu kemudian, kami bertemu lagi. Dia pun bercerita bahwa dia baru saja menerima "objekan" dari salah seorang teman kampus. Membuatkan skripsi dengan bayaran setengah di awal dan sisanya di akhir (setelah lulus). Dia pun menerima pekerjaan tersebut karena bayarannya menggiurkan.

Iklan Layanan Joki Ilmiah(  Sumber: Tangkapan Layar Instagram )
Iklan Layanan Joki Ilmiah(  Sumber: Tangkapan Layar Instagram )

Jika pengalaman tersebut cukup menggambarkan fenomena perjokian ilmiah, maka ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, rendahnya semangat belajar mahasiswa sebagai peneliti atau pun menulis skripsi. Kedua, rendahnya intesitas dosen sebagai pembimbing skripsi mahasiswa. 

Gawatnya lagi, jika joki ilmiah itu juga terjadi di kalangan dosen. Sebagaimana laporan tim investigasi harian Kompas berikut,   

"... sejumlah dosen senior di beberapa kampus terlibat praktik perjokian karya ilmiah demi menyandang gelar guru besar. Salah satu modus perjokian karya ilmiah di sejumlah kampus swasta maupun negeri itu ialah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi. Tim khusus itu memasukkan nama dosen-dosen senior yang ingin menjadi guru besar sebagai penulis karya ilmiah, meski mereka tak memiliki kontribusi aktif. ( Kompas.TV Jumat, 10 Februari 2023.)

Dosen dan Rendahnya Kemampuan Menulis Ilmiah

Perihal Joki Ilmiah di kalangan dosen, saya belum pernah berjumpa atau mengalami langsung fenomena tersebut. Kendati demikian, pengalaman relevan dan agak lucu, sempat saya temukan dari sahabat saya yang seorang dosen di kampus swasta.

Sahabat saya bercerita. Suatu hari ia bersemangat untuk melanjutkan tulisan ilmiahnya (untuk publikasi jurnal), sebab NIDN sudah ia dapatkan. Namun ketika sedang menata data-data penelitian, tiba-tiba token listrik berbunyi. Semangatnya pun runtuh. 

Sahabat saya mengeluhkan statusnya sebagai dosen, yang masih perlu peningkatan grade atau golongan. Secara finansial, pemasukan dan pengeluaran yang harus dia keluarkan tidaklah logis. Ditambah, suasana lingkungan dosen yang tidak menggugah dirinya sebagai seorang pemikir. 

Selain itu, menurutnya, ia tidak punya kemampuan menulis dengan baik, sehingga ketika menulis akan menghabiskan banyak waktu. Pemikiran yang brilian, kritis dan penuh ide inovasi itu malah menjadi buyar ketika dituliskan.

Pengalaman sahabat saya tadi menggambarkan suasana tidak kondusif dalam keadaan personalnya, membuatnya ogah-ogahan melakukan riset atau pun menulis karya ilmiah. Terlebih ia tidak mahir dalam menulis karangan ilmiah.

Mungkinkah Semua Orang itu Pandai  Menulis Karya Ilmiah?

Keterbatasan kemampuan menulis sepertinya relevan dengan kondisi dosen secara umum. Sebagaimana yang disampaikan oleh Whinda Yustisia, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berikut ini.

"Akar permasalahan pertama adalah rendahnya kemampuan riset. Permasalahan ini saya amati sejak beberapa tahun yang lalu saat menjalani amanah sebagai managing editor di Jurnal Psikologi Sosial (JPS). Tahun pertama adalah tahun yang berat karena kelangkaan naskah yang layak publikasi." (Kompas.id 19/02/23)

Whinda Yustisia juga berpendapat bahwa rendahnya kemampuan riset yakni menulis, bertanya (berpikir kritis) serta mendesain penelitian, menjadi salah satu penyebab Joki Ilmiah laris di kalangan dosen. 

Ironisnya adalah, jika ada dosen yang punya banyak temuan pemikiran, namun harus terpentok pada lemahnya kemampuan menulis ilmiah, sehingga harus mencari joki ilmiah atawa penulis bayaran. 

Pengalaman sahabat saya itu bisa saja membawanya kepada joki. Namun, ia tidak akan melakukannya karena menurutnya, sayang sekali uangnya. Ia lebih memilih mempelajari Chat GPT untuk membantu kepenulisan karya ilmiahnya. 

Kehadiran alat bantu penulisan seperti Chat GPT jangan-jangan menjadi solusi bagi para dosen seperti sahabat saya ini. Sebab, kini kita belum berani menyatakan, bahwa tidak semua orang itu dapat menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan dengan baik. Walau pun dia berpemikiran cermelang atau intelektual tinggi.

Akankah Media Penelitian Berkembang dari Sekedar Teks?

Fenomena joki ilmiah dalam dunia akademis ini membuat saya jadi menyimpulkan, bahwa karya tulis ilmiah atau kerja penelitian sebagai salah satu aksi dari Tri Darma Perguruan Tinggi, masih terpenjara dalam "kertas" atau pun kata-kata tesktual. 

Pembaharuan atau temuan yang dilakukan oleh seorang dosen masih harus dilaporkan dengan syarat-syarat "tertutup". Harus di jurnal ini, harus di jurnal itu, dengan belenggu sistematika penulisan ilmiah yang kaku. 

Manurut saya, hal ini yang membuat seorang dosen harus "memaksakan diri" menulis dengan baik walau ia sebenarnya lebih mahir secara verbal maupun secara penerapan teknologi visual. 

Kita boleh saja bertanya-tanya, berapa banyak dosen yang telah menghidupkan keilmuannya di dunia sosial dengan inovasi, namun belum ia tuliskan sebagai karya tulis ilmiah atau di Jurnal ilmiah bergengsi? 

Dan berapa banyak profesor atau guru besar yang menghabiskan waktu di hadapan laptop, dan di dalam mobil, tanpa menggerakan apa-apa di luar kertas penelitiannya? 

Saya kira, kita dapat bertanya kembali, jika tujuan penelitian adalah menemukan pembaharuan atau inovasi atau pun solusi, maka bukankah sangat mudah melaporkan temuan para dosen secara langsung yaitu dengan presentasi? Atau pun dengan video dokumenter misalnya? Sampai kapan ide dan inovasi harus dituliskan, di tengah media teknologi informasi yang makin ajaib ini?

Marendra Agung J.W

Maret 2023.

 Sumber berita:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun