Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memahami Ambiguitas dan Kontroversi Permendikbud PPKS Secara Linguistik

27 November 2021   09:15 Diperbarui: 29 November 2021   07:53 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Problem selanjutnya bagi tim penyusun Permendikbud ini adalah bagaimana menentramkan respons tertentu yang sebut saja bersikap "asosiatif" terhadap konstruksi frasa "tanpa persetujuan korban". 

Edukasi perihal polemik penggunaan frasa atau bahasa dalam pasal Pasal 5 Nomor (2) Butir (b) harus segera dilakukan oleh ahli bahasa dari pihak penyusun atau pun ahli bahasa yang dianggap kompeten, misalnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Ahli bahasa perlu mengedukasi publik secara intens

Mengapa harus ahli bahasa yang menjelaskan ke muka publik?

Saya kira diskusi Kalish Mardiasih dan Fadh Pahdhepie di acara ROSSI kompas TV cukup menggarisbawahi bahwa polemik ini dominan berasal dari penggunaan bahasa, dalam hal ini frasa "tanpa persetujuan korban." 

Bahkan, kedua belah pihak secara eksplisit telah menyatakan sikap yang sama yakni mendukung semangat Permendikbud PPKS untuk mencegah kekerasan seksual.

Kendati demikian, sejauh yang saya simak di sejumlah media TV, yang muncul dominan di muka publik untuk membahas polemik ini bukan ahli bahasa. Maka yang terjadi bukanlah pembelajaran objektif secara keilmuan melainkan unjuk gigi argumentasi dan perang opini.

Berdasarkan simulasi analasis pada tulisan ini, maka kita sebagai publik patutnya menyadari bahwa peluang tafsir dalam konsep ambiguitas begitu terpaut dengan dasar-dasar linguistik.

Tidak hanya kajian makna gramatikal ataupun makna leksikal namun masih banyak koridor kajian makna lainnya. Sehingga kita tidak dapat sembarangan memberi arti pada segala kalimat berdasarkan pertanyaan dalam benak kita, terlebih menjadikannya sebagai makna inti kalimat. 

Simulasi analisis dalam tulisan ini bukan rekomendasi kebenaran perihal linguistik, melainkan bahan diskusi dan bacaan untuk menjernihkan pikiran kita sebagai publik. Khususnya untuk merespons judul berita yang berbunyi "KemdikbudRistek Akan Melegalkan Zina."

Sebab, ungkapan judul tersebut bukan berarti kalimat fakta dalam konteks frasa yang menjadi polemik di dalam Permendikbud PPKS.

Untuk sementara, kita dapat menyimpulkan secara waspada, bahwa judul semacam" KemdikbudRistek Akan Melegalkan Zina" tersebut merupakan opini subjektif yang belum tentu tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun