Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memahami Ambiguitas dan Kontroversi Permendikbud PPKS Secara Linguistik

27 November 2021   09:15 Diperbarui: 29 November 2021   07:53 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ranah bahasa tulis, ambiguitas bahasa memang kerap terjadi karena tidak memiliki intonasi dan bunyi yang pasti seperti bahasa lisan.

Jadi itu wajar saja terjadi. Akan tetapi, justifikasi peluang multitafsir atau ambigu pada bahasa tulis sebetulnya tidak sesederhana memberi respons pertanyaan, terlebih pada teks bacaan yang bukan fiksi/karya sastra. 

Pada kajian linguistik, ambigu atau lebih tepatnya ambiguitas merupakan gejala kegandaan makna akibat tafsir gramatikal yang berbeda.

Hal tersebut dijelaskan oleh linguis/ahli bahasa Abdul Chaer dengan istilah taksa atau ketaksaan. Linguis Harimurti Krisdalaksana juga menjelaskan bahwa ambiguitas adalah sifat konstruksi (satuan bahasa) yang dapat diberi lebih dari satu tafsiran.

Kita dapat memahami bahwa ambiguitas terjadi ketika ada lebih dari satu makna dari satu bentuk kalimat atau satuan bahasa. Yang perlu digarisbawahi juga ialah sejumlah jenis penyebab ambiguitas. 

Pertama, ambiguitas berdasarkan makna gramatikal yang terjadi akibat hubungan antar unsur-unsur kalimatnya.

Sebagaimana contoh yang dijelaskan oleh Abdul Chaer dalam Linguistik Umum. Misalnya pada konstruksi "Buku sejarah baru" yang dapat dimaknai dengan berbeda. Pembaca dapat memaknainya menjadi, "Buku sejarah tentang hal-hal terkini ( baru)". Kedua, pembaca dapat pula mengartikannya menjadi, "Buku baru (tentang) sejarah".

Peluang multitafsir tersebut terjadi karena hubungan kata "sejarah" dan kata "baru" dalam susunan gramatikal kalimat tersebut.

Ketidaklengkapan unsur dalam kalimat juga membuat peluang multitafsir sehingga perlu diurai unsur lain yang tersirat pada struktur gramatikal tersebut.

Selain itu, penyebab kedua ambiguitas yaitu berdasarkan leksikal atau unsur kata dalam kalimat. Misalnya hadir homonimi ( kata dengan makna lebih dari satu). Sebagai contoh pada konstruksi kalimat "Randi memang bukan orang kudus." 

Kalimat tersebut dapat berarti "Randi bukan orang dari daerah kudus", dan "Randi bukan orang suci ( kudus)". Makna menjadi ganda karena dominasi makna kata "kudus" yang memiliki lebih dari satu makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun