Mengapa disebut "gradasi makna"? Sebab unsur modalitas dalam penggunaan bahasa dapat mengisi polaritas makna, misalnya antara 'ya ' dan 'tidak' atau "positif" dan "negatif".Â
Sebagai contoh, pada ungkapan aku mencintai kamu (positif), dan aku tidak akan mencintai kamu (negatif).
Frasa "tidak akan" pada kalimat kedua itu merupakan adverbia atau penada modalitas.
Pada diskursus linguistik bahasa Indonesia, satuan bahasa yang memberi modalitas dikategorikan atau bernama adverbia.
Kategori adverbia dapat berupa kata, frasa, atau pun klausa (inti kalimat). Kehadiran modalitas membuat sikap penutur bukan hanya bermakna menyampaikan "pesan" kepada pendengar atau lawan bicara, namun juga menerangkan atau menjelaskan kualitas sikap, pikiran, dan hati si penutur.
Sederhananya, modalitas dapat memberi "mood" kalimat atau tuturan sehingga timbul dinamika makna. Bukan sekadar "menyatakan", tapi juga dapat mengingkari, memastikan, memungkinan, mengharuskan, mengajak, menanyakan, mewajibkan, meyakinkan, dan lain sebagainya.
Seperti pada ungkapan aku tidak akan mencintai kamu pada contoh tadi, yang mengandung makna sikap mengingkari (negatif).Â
Jika modalitasnya diubah dengan pemberian adverbia tidak terlalu dan tidak dapat, maka gradasi maknanya akan bergerak.Â
Dapat dilihat pada contoh berikut: aku tidak terlalu mencintai kamu - aku tidak dapat mencintai kamu.
Modalitas dapat memberi relativitas nilai, tentang seberapa "iya" dan seberapa "tidak", seberapa "mungkin" dan seberapa "tidak mungkin", seberapa "benar" dan seberapa "tidak benar" pada kalimat atau tuturan.Â