Intensitas PJJ ( pembelajaran jarak jauh) atau BDR ( belajar dari rumah) pelan-pelan mulai menurun. Pembelajaran Tatap Muka ( PTM) terbatas mulai digarisbawahi sebagai langkah waspada hingga kondisi benar-benar memungkinkan sekolah memberlakukan tatap muka secara penuh. Untuk itu, sebagai guru tentunya kita masih diber momen untuk terus berinovasi atau beradaptasi dengan  formula mengajar yang sesuai.
Perihal formula pembelajaran , saya ingin berbagi hasil observasi mengenai penerapan model pembelajaran yang saya sebut dengan "Satu Karya Beragam Ilmu". Walau penerapan pembelajaran ini saya jalani di tahun 2019, namun bentuk pembelajaran ini mengandung pokok-pokok yang relevan dengan tantangan PMT terbatas dan pembelajaran era covid-19 secara umum. Pada konteks ini yaitu terkait konsep blanded learning atau hybrid learning dan juga mengenai "pemadatan" kompetensi sebagaimana wacana kurikulum darurat covid-19.
Uraian skema model pembelajaran alternatif ini dapat dikatakan semacam "implementansi" dari artikel saya berjudul  Mebebaskan Siswa dari Disintegrasi Mata Pelajaran di kompasiana, Agustus  tahun lalu. Oleh karena itu, penjabaran ini saya maksudkan bagi pengajar mata pelajaran Bahasa/Sastra Indonesia.
***
Perencanaan Projek Belajar: menyulap teks  menjadi video
Secara umum, model discovery learning dan project based learning menjadi nafas pembelajaran ini. Proses pembelajaran berjalan dalam aktivitas studi literatur, dan bermuara pada pembuatan produk ( karya) belajar.  Selain itu, konsep blanded learning / hybrid learning juga diterapkan pada proses pembelajaran ini. Darti arti, secara ruang dan waktu siswa akan melakukan pembelajaran ini dalam dua kondisi yakni di sekolah dan di luar sekolah ( di rumah).
Pada matpel Bahasa Indonesia khusunya ( yang saya terapkan) yaitu topik  teks cerita ( novel) sejarah di kelas XII, kita dapat memberi ruang bagi siswa untuk membangun pengalaman baru. Kita dapat mendorong siswa untuk secara kolaboratif memproduksi sebuah film pendek dalam tema misalnya Hari Pahlawanan.
Sebelumnya,  kita perlu memastikan ketersediaan sejumlah media / teknologi yang dimiliki siswa seperti kamera,  laptop, dan  gawai. Pada tahap perencanaan ini, kita juga perlu memetakan kecenderungan minat siswa. Kita dapat membentuk kelompok, beserta deskripsi tugas mereka, terkait projek pembelajaran ini.
Artinya, kita menentukan mana yang benar-benar ingin bertugas sebagai kameramen ( pengambil gambar), mana yang editing video, tata rias, aktor, penulis skenario, sutradara dan lain sebagainya. Data minat tersebut kemudian kita olah untuk menjadi kelompok belajar. Jumlah kelompok  akan terbentuk sesuai jumlah siswa dan kebutuhan pembuatan film.
Kondisi Pertama:Â Literasi di kelas dan di perpustakaan
Kegiatan  non  teknis atau yang berkaitan dengan kognitif atau pun soft skill siswa dapat kita terapkan secara langsung di sekolah. Sebelumnya,  kita harus memberi alur belajar atau disain besar pembelajaran ini kepada siswa. Sederhannya, siswa akan membaca teks cerita sejarah, lalu mengonstruksinya  dalam bentuk skenario, dan mengonversinya kedalam bentuk film pendek.
Pada momen ini kita dapat menjaga komptensi dasar dan inti, yang harus dicapai oleh siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kegiatan dapat kita lakukan baik di kelas maupun di perpustakaan. Bentuk kegiatannya lebih  bersifat studi literatur atau  literasi, dengan bahan bacaan yang susuai tema film yang telah disepakati.
Aktivitas pertama, kita mendorong setiap siswa mengidentifikasi informasi yang mencakup konflik dan rangkaian kejadian yang saling berkaitan dalam teks cerita ( novel) sejarah. Dalam aktivitas ini, setiap kelompok belajar masing-masing  bekerja sama untuk membaca dan mendata momen-momen penting dalam teks cerita yang mengandung sejarah Hari Pahlawan seperti novel, cerpen, dan lain sebagainya.
Aktivitas kedua, siswa melakukan studi analisis literatur untuk melakukan verifikasi. Kegiatan ini berisi diskusi langsung dan juga membandingkan data-data sejarah dari buku non fiksi, majalah, koran, atau pun video dokumenter. Pada momen ini kita dapat berkolaborasi dengan guru lain untuk menerapkan integrasi pelajaran. Dalam konteks ini misalnya, dengan topik pembelajaran IPS seperti sejarah dan kewarganegaraan.
Aktivitas ketiga, setiap kelompok kita dorong untuk mempresentasikan hasil kesimpulan dari hasil riset mereka di muka kelas. Presentasi berisi pokok-pokok cerita sejarah beserta fakta yang relevan menurut penelusuran mereka. Setelah itu, siswa sudah siap untuk menyusun naskah film melalui catatan-catatan mereka. Â
Jumlah pertemuan dari setiap aktivitas tadi dapat kita sesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Perihal  menata  kisah dalam skenario film, saya  lebih memilih agar setiap kelompok bebes memilih format naskah. Namun, lebih baik lagi, kita berkolaborasi ( berdiskusi) bersama siswa yang memilih peran sebagai sutradara dan penulis skenario dalam projek pembuatan film ini.
Kondisi Kedua: Literasi digital, aksi  di luar kelas /sekolah
Pada kondisi kedua, learning by doing sedikit banyak akan dilakukan  oleh  siswa. Ini  terkait  hardskill untuk kebutuhan produksi  film.  Bagaimana mengoprasikan  kamera, mengedit video, menata musik, membuat properti, menata rias wajah ( make up) dan lain  sebagainya.  Kita harus percaya bahwa mereka begitu cepat belajar melalui cara mereka sendiri di rumah.
Tugas kita dalam kondis ini hanya memantau perkembangan dan kecenderungan mereka dari jarak jauh. Dalam konteks ini, bentuk  Pembelajaran Jarak Jauh akan diterapkan misalnya lewat grup WhatsApp, video call, dan komunikasi dengan orang tua siswa. Kita dapat menyusun kuantitas waktu produksi sesuai dengan jadwal tatap muka.
Siswa sudah harus melakukan shooting adegan di luar sekolah ketika naskah skenario sudah siap pada pertemuan tatap muka sebelumnya. Apabila tatap muka dilakukan satu kali dalam seminggu, maka minggu kedua siswa harus melaporkan proses produksi film pendek mereka. Setiap kelompok mempresentasikan produk film untuk dievaluasi bersama.
Pada aktivitas ini setiap kelompok  memutarkan film mereka di muka kelas, setelah itu mempresentasikannya. Kita juga dapat berkolaborasi dengan guru seni budaya untuk mengintrgrasikan pembelajaran seni peran/drama/teater / seni rupa, dalam proses pembelajaran ini.  Kemudian memberi apresiasi "moral" yakni produk yang memenuhi syarat tertentu dapat dipublikasi dalam youtube sekolah.Â
Merajut Beragam "Ilmu" dalam Satu Karya
Bukan hanya mengintegrasi banyak nilai karakter, tapi Model pembelajaran alternatif seperti  ini  juga  dapat menguak  banyak keterampilan dari siswa. Kita dapat memupuk bakat-bakat diantaranya siswa yang ingin menjadi periset, penulis skenario, sutradara, kameramen, editor video, tata rias, aktor, dan lain-lain. Kita juga dapat menemukan bahwa melalui pembuatan satu  karya ( produk) dapat mendorong siswa melakukan banyak kompetensi. Bahkan hingga menggapai wilayah mata pelajaran lainnya, dalam konteks ini yakni IPS dan Seni Budaya.Â
Misi selanjutnya adalah bagaimana membuat integrasi mata pelajaran  yang dianggap berbeda kutub?  Sebagaimana matpel-matpel IPA dan IPS? dapatkah semua mata pelajaran berkolaborasi dalam satu produk / karya ? Apabila pembaca sekalian punya ide, gagasan, dan pengalaman, boleh saja tinggalkan komentar di bawah ini.
Â
Marendra Agung J.W
Sumber pendukung:Â https://www.kompasiana.com/dramarento/5f4b4581d541df32dc040332/membebaskan-siswa-dari-disintegrasi-mata-pelajaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H