Meletakan Umar Kayam sebagai unsur ekstrinsik novel Jalan Menikung merupakan kegiatan yang melegakan. Karena isi novel begiu kaya relasi dengan latar dan riwayat hidup Umar Kayam. Sehingga walau tidak mungkin sepenuhnya sebuah "kenyataan" yang tersaji dalam novel, setidaknya sisi-sisi sejarah sedikit banyak dapat membantu mencerminkan apa yang sesungguhnya pernah terjadi.
 Umar Kayam dikenal bukan hanya saja sebagai seorang sastrawan melainkan juga budayawan, sosiolog, dan guru besar di Universitas Negeri Gajah Mada. Aktivitas akademiknya sebagai seorang sosiolog begitu berperan dalam penulisan Jalan Menikung yang sangat luas membahas permasalahan sosial di Indonesia. Selain itu Umar Kayam yang lahir dalam keluarga jawa ( Jawa Timur, Ngawi, 30 April 1932) seakan membuatnya memegang keotentikan pengalaman terkait darah biru, priyai, dan tindak tutur jawa.Â
Dalam dokumenter sastrawan yang diproduksi oleh yayasan lontar bahkan Umar Kayam secara eksplisit menjelaskan bahwa Para Priyayi dibuatnya berdasarkan pertimbangannya terhadap riwayat keluarga besarnya dalam kehidupan masa kecilnya. Hal tersebut pulalah yang membuatnya begitu "enteng" melukiskan psikologi tokoh-tokoh priyayi sampai di novel Jalan Menikung.
Pada tahun 1961, Umar Kayam hidup di New York melanjutkan studi di School of Education, New York University, dan pada tahun 1965 Umar Kayam menyelesaikan studinya di bidang sosiologi di Cornell University. Kemudian kembali ke Indonesia pada tahun 1966.Â
Multikultur dan Ketegangan yang Tak PerluÂ
Umar Kayam menyelesaikan Jalan Menikung di Jepang, Kyoto Imperial University selama 6 bulan pada tahun 1998. Apabila diamati latar situasi waktu penulisan Jalan Menikung, Umar Kayam seperti sedang mengambil jarak dari silang sengkarut sosial budaya di Indonesia pada masa itu. Bukan rahasia lagi, bahwa fakta sosial pada era 1998 di penghujung kekuasaan orba dipenuhi isu  yang mencekam bahkan sampai terjadi penjarahan dan diskriminasi, krisis ekonomi, KKN, serta sejumlah isu-isu rasial.Â
Riwiyat-riwayat tersebutlah yang kemudian cukup logis membuat karya Jalan Menikung begitu etnogarfis. Umar Mampu masuk ke banyak individu, dari seorang Jawa, Melayu, sampai Jepang dan Yahudi. Melalui novel Jalan Menikung ini Umar Kayam secara sadar atau tidak telah mencoba menuangkan fakta-fakta sosial tanpa terkesan menuding atau pun mencerca. Walau tak mendalam, banyak intrik-intrik politik yang terjadi dalam sudut pandang Tommy ketika bertemu tokoh politik di desa, diceritakan dengan santai dan menghibur.
Umar Juga mengisahkan bagaimana sinkretis budaya terjadi, bagaimana perkawinan antar etnis terjadi, dan itu mengalir saja dengan apa adanya. Pada titik inilah Umar Kayam ingin menekankan sebuah pandangan. Sejalan dengan pilihan judul yang diberi nama Jalan Menikung, Umar Kayam ingin menyampaikan bahwa kemajuan hidup secara global membuat persilangan hidup antar suku bangsa menjadi mungkin. Seorang yang jawa misalnya, dalam hal ini tokoh Eko, sangat mau tidak mau bahkan memang akan "menikung" hidupnya.Â
Eko yang Jawa dan Islam, mau tidak mau harus pegas, lentur, untuk bisa menikungi dunia. Bahkan sampai bisa hidup bersama dengan keluarga Yahudi. Begitu pula di Indonesia. Perkawinan biologis dan bisnis yang terjadi antara pribumi dan Tionghoa begitu santai saja di gambarkan oleh Umar Kayam dalam novelnya.
" .... Yang unik itu hubungan antara petani tembakau dan para tengkulak Tioghoa di sini. Hubungan mereka erat dan pribadi sekali. Para tengkulak itu kenal semua dengan para petani. Sehingga hubungan utang-piutang mereka juga didasarkan hubungan pribadi yang erati itu. Setiap waktu petani tembakau butuh duit buat keperluan ini dan itu, anak yang tiba-tiba sakit misalnya, petani itu bisa mengetuk pintu sang tengkulak jam berapa saja. Dan selalu dapat tanpa harus tanda tangan ini dan itu.( hlm, 80) "
Sehingga, Umar Kayam mampu memisahkan mana yang prahara politis mana yang keniscayaan kebudayaan. Ini yang membuat Jalan Menikung begitu objektif secara sosiologi. Melalui Jalan Menikung, Umar Kayam juga terkesan berpesan, bahwa sejatinya kepribadian bangsa tidak akan pernah benar-benar luntur. Bahkan tidak perlu terjadi ketegangan, karena dunia begitu luas.Â