Pada konflik di bagian cerita tersebut menggambarkan situasi ketegangan politik yang mencekam tokoh Harimurti. Walau latar waktu tidak eksplisit dinyatakan dalam novel ini namun sejumlah detail dalam dialog tokoh menunjukan bahwa seting politik terjadi pada era kepemimpinan militer. "Apanya yang ditakutkan? Bukankah pemerintah sekarang begitu kuat? Dengan angkatan bersenjata yang begini canggih dan besar, siapa yang akan berani bikin onar dan hura-hura? ( Hlm, 10.) "
Kecenderungan Priyayi Jawa di Kota
Umar kayam juga sepertinya ingin menunjukan gejolak kecenderungan hidup keluarga keturunan priyayi melalui tokoh-tokoh sentral. Harimurti, Lantip, Tommy, Marie yang merupakan saudara sepupu, mereka generasi ke tiga dari keluarga besar Sastrodarsono, Tommy dan Marie memiliki kecenderungan hidup modern, flamboyan, hedonis, kebarat-baratan dan hidup bergelimang harta.Â
Gelagat perilaku korup sangat ditonjolkan Umar Kayam kepada Tommy sang pengusaha. Sedangkan tokoh Harimurti dan Lantip digambarkan sebagai tokoh priyayi jawa yang cenderung hidup prihatin, nerimo, dan bersahaja. Hal tersebut disajikan dalam konflik cerita ketika pemugaran makam keluarga di desa Wanagalih yang digagas oleh Tommy ditolak oleh Lantip dan Harimurti.Â
Bagi lantip dan Harimurti, pemugaran makam leluhur yang begitu mewah dan megah gaya orang-orang barat itu tidak pantas dilakukan di tengah desa yang kecil, terlalu berlebihan.Â
Akhirnya, makam orang tua Harimurti dan Lantip dipertahankan, tidak ikut dibugar. " Ya begitulah keluarga kami. Kami termasuk yang berpendapat bahwa makam itu cukup sederhana saja. Kalau orang sudah meninggal itu sudah selesai pula urursannya di dunia," ( Hlm, 48)
Urbanisasi dan Perkawinan Lintas Budaya
 Selain perihal tindak tanduk orang jawa, novel Jalan Menikung juga menggambarkan makna dan dampak urbanisasi secara sosial. Lantip tokoh priyayi jawa dalam novel ini yang sudah lama menikah dengan seorang melayu bernama Halimah, membawa cerita Jalan Menikung ke ranah budaya yang lebih berwarna. Umar Kayam menyajikan perbedaan kebiasaan orang Minang dan Jawa dalam merantau dalam bab Pulang Basamo dengan begitu anekdot.Â
" ... Kebiasaan kami untuk merantau mengadu di negeri orang dan jarang sekali pulang ke kampung seperti paman ini membuat kehidupan di kampung kami jadi sepi. Lihatlah pengusaha-pengusaha Minang dengan took-toko dan perusahaan mereka di rantau. Lihat waurung-warung dan restoran-restoran Padang yang ada di mana-mana di negeri kita. ..."
 "...Sebaliknya, kalian Jawo-Jawo yang merantau. Mana ada warung Jawa atau restoran Jawo di Padang atau di ranah Minang ini. Paling paling hanya jual baksio dan bakmi tek-tek tegal saja. Ya kan,Tip?Apalagi took-toko dan perusahaan orang Jawo di rantau. Indak ado! Yakan, Tip? ( hlm, 173)"
Selain pernikahan Jawa - Melayu, terjadi pula permasalahan yang menyangkut pandangan hidup yang lebih prinsipil. Yakni perkawinan seorang Yahudi dan Jawa ( Islam) yang dalam novel ini dituangkan dalam 3 sudut pandang "aku" yaitu pada tokoh Claire, Eko dan tokoh Alan Bernsten. Eko anak dari Harimurti yang urung pulang selepas lulus kuliah di Amerika Serikat akhirnya menetap di sana kemudian menikah dengan Cleire dan hidup dalam keluarga Yahudi, keluarga besar Cleire.Â