“ Aku tahu ini dari… Oh maaf, saya dapati lowongan ini dari teman saya, dia…”
“ Ya, ya, cukup. Anda tidak perlu meneruskan. Boleh saya terima CV Anda.”
Tak pernah kuduga, ini ulah Riri. Rekan kerjaku, teman lamaku ini bisa-bisanya dia mengerjaiku. Tidak biasanya aku menjadi interviewer di akhir pekan. Oh sialan. Ya ampun. Aku baru sadar.
“ Ee, apa ada pertanyaan lagi?”
Terdengar ia bertutur. Namun, sengaja waktu aku ulur, aku abaikan ucapannya, kutelusuri isi CVnya. Seperti yang telah kupahami, pelamar ini memang memiliki skill dalam bidang ini sejak lama. Ia konsisten juga ternyata, pikirku.
Beberapa jenak kemudian, hujan mereda, tiktak jam dinding terdengar jelas. Pelamar ini lagi-lagi tidak berubah. Pengecut dan tak tegas. Ia tak berani menagih jawaban. kesengajaanku membiarkan pertanyaannya, tak menimbulkan respon, ia malah berpura-pura asik dengan handphone.
“ hmm, saya paham ini sesuai dengan skill Anda. Untuk itu CV akan saya proses kepada user. Mungkin kalau cocok, akan kami hubungi Anda sesegera mungkin.”
Ia tak sedikit pun mengangguk, kepalanya masih menunduk. Perhatiannya seperti tenggalam dalam layar Androidnya. Sementara itu, kupandangi keringat di keningnya yang mulai mengalir, melintasi alis tebalnya.
“ Baiklah, waktu kita sudah akan selesai. Sebentar lagi jam istirahat makan siang...”
Aku berdiri, menatap jam dinding, sengaja dengan mengusap perutku lembut-lembut. Namun, memang dasar, pelamar ini belum juga berubah. Walau memiliki keahlian translate yang baik dan berpengalaman, tetapi tetap saja ia belum juga mampu menerjemahkan yang bukan teks.
“ ...sekarang, ada yang ingin Anda tanyakan?“