Bayangkan sebuah masyarakat utopis di mana manusia berada di puncak peradaban.
Benar-benar berada di pucuk peradaban sehingga tidak ada lagi pengetahuan yang harus dicari oleh manusia. Tidak ada lagi misteri di alam semesta. Segala sesuatu sudah terjawab dan manusia bermain menjadi Tuhan di atas dunia.
Seperti halnya Ideologi Komunisme yang dicanangkan Karl Marx, konsep tentang sebuah peradaban utopis di mana manusia sudah mencapai peradaban tertinggi masih jauh di awang-awang. Tapi, apakah benar apabila manusia sudah mencapai peradaban tertinggi, maka manusia akan mencapai kebahagiaan sejati?
Kita tarik mundur ke 10.000 tahun silam, di mana manusia masih memakai kayu dan batu untuk bertahan hidup. Manusia-manusia pada saat itu mungkin berpikir, apabila mereka bisa mendapat kehidupan yang lebih aman dari ancaman hewan buas, mungkin mereka akan bahagia. Atau Ketika mereka menemukan cara untuk makan lebih banyak tanpa harus repot-repot berburu ke dalam hutan, mungkin mereka akan bahagia.
Manusia-manusia pada zaman itu mungkin akan menganggap bahwa peradaban kita adalah utopia yang mereka idamkan sejak dulu. Tapi apa benar begitu? Apakah kita hidup di dalam sebuah utopia?
Kita harus pahami dulu konsep dari utopia itu sendiri.
Pertama kali digagas oleh Sir Thomas More pada tahun 1516, utopia merupakan suatu konsep masyarakat fiktif di mana kualitas hidup yang mereka jalani berada di titik paling sempurna. Cita-cita dari utopia memang sering kali menekankan pada prinsip-prinsip egaliter kesetaraan dalam ekonomi, pemerintahan, atau keadilan yang benar-benar stabil dan bebas hambatan.
The point is, utopia adalah masyarakat yang dianggap sempurna.
Lalu apakah masyarakat kita pada zaman ini sudah sempurna?
Bagi manusia purba? Ya. Bagi kita?
Masih banyak ketidakadilan, ketimpangan, dan segala permasalahan lain yang terjadi di atas muka bumi. Peperangan dan wabah masih kerap menyambangi kita dalam beberapa tahun sekali.
Kalau kita membaca antropologi fase pertama, orang-orang negroid dianggap keturunan setan oleh orang-orang Eropa. Bila hari ini rasisme masih ada substansinya, maka kita tidak pernah berkembang dari antropologi fase pertama itu. Ilmu pengetahuan dan budaya kita tidak melangkah maju, dalam kata lain, kita tetap primitif.
Jadi apakah kita hidup dalam sebuah utopia? Tidak. Kita masih sama primitifnya dengan mereka di 10.000 tahun yang lalu.
Utopia yang Tidak Utopis
Biar kubawa kamu ke sebuah semesta di mana manusia berada di titik intelejensi tertinggi.
Sebuah dunia di mana ilmu pengetahuan sudah tidak ada yang perlu dicari lagi. Alam semesta sudah tidak semisterius dahulu. Manusia paham apa yang ada sebelum alam semesta ada. Tidak ada lagi wabah penyakit, tidak ada lagi perang, tidak ada lagi perebutan kekuasaan, tidak ada lagi kejahatan, tidak ada lagi harapan dan kreativitas manusia.
Dunia sudah kehilangan sesuatu yang membuatnya menarik. Tidak ada lagi konflik karena manusia tahu cara mengantisipasinya. Tidak ada lagi harapan karena manusia sudah tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Tidak ada lagi kreativitas karena tidak ada alasan untuk berkreasi sebab segalanya telah diketahui.
Manusia-manusia pada zaman itu bisa dengan mudahnya mengubah tampilan mereka dengan rekayasa genetik, memilih akan seperti apa bayi mereka yang lahir, atau bahkan mereka mempercayakan negaranya untuk dipimpin oleh kecerdasan buatan.
Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan manusia yang berlangsung selama berabad-abad tidak pernah bisa mengatasi keadaan dan selalu berakhir dengan kehancuran dan peperangan. Baik itu kekaisaran, sosialis, liberal, bahkan demokrasi sekalipun. Sistem pemerintahan oleh kecerdasan buatan akan lebih relevan untuk mencapai keadilan, dan tidak ada keberpihakan untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi ini untuk meraih utopia.
Pada akhirnya kecerdasan buatan telah mengambil alih kecerdasan organik. Seluruh manusia di masa ini status sosialnya setara dan hanya perlu fokus mengejar mimpinya masing-masing, karena AI telah memberikan apa yang manusia inginkan secara instan, di mana tidak ada lagi keinginan untuk berkuasa dan melakukan intimidasi serta kejahatan.
Kemudian teknologi neurosains berkembang untuk mewujudkan mimpi manusia agar bisa merasakan sensasi yang mereka inginkan, bahkan ingin menjadi apa saja pun bisa; layaknya berada di surga.
Apakah dunia yang seperti itu menarik bagimu? Mungkin bagi kita di masa sekarang hal tersebut terdengar menarik. Tapi coba kita pikirkan lagi.
Di masa di mana manusia bisa menulis ulang takdir mereka. Apa yang kemudian terjadi? Mereka kehilangan harapan, kekosongan, nirproses, tak memiliki nilai, tak ada kejutan, nirmakna, dan tenggelam dalam samudera kenikmatan hampa.
Manusia telah menemukan surganya tanpa proses kematian.
Di masa itu sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan manusia karena semua keinginan dengan mudahnya dapat terpenuhi. Segalanya tidak lagi memiliki value.
Suatu hal akan memiliki nilai/value karena dihasilkan dari sebuah proses. Ketika manusia tidak mengalami fase proses, semua serba ada dan instan, maka yang ada hanyalah kekosongan, karena tidak ada lagi tujuan hidup dan harapan serta mimpi dan keinginan. Mereka bisa saja iri dengan kita di masa sekarang yang penuh emosi dan punya tujuan hidup.
Ironis, bukan?
Inilah paradoks utopia.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H