Mohon tunggu...
Fikram Alfar
Fikram Alfar Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Suka yang lucu-lucu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradoks Utopia: Refleksi Kehilangan Esensi Manusia dalam Dunia yang Tidak Menarik

22 April 2023   05:00 Diperbarui: 22 April 2023   05:52 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kalau kita membaca antropologi fase pertama, orang-orang negroid dianggap keturunan setan oleh orang-orang Eropa. Bila hari ini rasisme masih ada substansinya, maka kita tidak pernah berkembang dari antropologi fase pertama itu. Ilmu pengetahuan dan budaya kita tidak melangkah maju, dalam kata lain, kita tetap primitif.

Jadi apakah kita hidup dalam sebuah utopia? Tidak. Kita masih sama primitifnya dengan mereka di 10.000 tahun yang lalu.

Utopia yang Tidak Utopis

Biar kubawa kamu ke sebuah semesta di mana manusia berada di titik intelejensi tertinggi.

Sebuah dunia di mana ilmu pengetahuan sudah tidak ada yang perlu dicari lagi. Alam semesta sudah tidak semisterius dahulu. Manusia paham apa yang ada sebelum alam semesta ada. Tidak ada lagi wabah penyakit, tidak ada lagi perang, tidak ada lagi perebutan kekuasaan, tidak ada lagi kejahatan, tidak ada lagi harapan dan kreativitas manusia.

Dunia sudah kehilangan sesuatu yang membuatnya menarik. Tidak ada lagi konflik karena manusia tahu cara mengantisipasinya. Tidak ada lagi harapan karena manusia sudah tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Tidak ada lagi kreativitas karena tidak ada alasan untuk berkreasi sebab segalanya telah diketahui.

Manusia-manusia pada zaman itu bisa dengan mudahnya mengubah tampilan mereka dengan rekayasa genetik, memilih akan seperti apa bayi mereka yang lahir, atau bahkan mereka mempercayakan negaranya untuk dipimpin oleh kecerdasan buatan.

Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan manusia yang berlangsung selama berabad-abad tidak pernah bisa mengatasi keadaan dan selalu berakhir dengan kehancuran dan peperangan. Baik itu kekaisaran, sosialis, liberal, bahkan demokrasi sekalipun. Sistem pemerintahan oleh kecerdasan buatan akan lebih relevan untuk mencapai keadilan, dan tidak ada keberpihakan untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi ini untuk meraih utopia.

Pada akhirnya kecerdasan buatan telah mengambil alih kecerdasan organik. Seluruh manusia di masa ini status sosialnya setara dan hanya perlu fokus mengejar mimpinya masing-masing, karena AI telah memberikan apa yang manusia inginkan secara instan, di mana tidak ada lagi keinginan untuk berkuasa dan melakukan intimidasi serta kejahatan.

Kemudian teknologi neurosains berkembang untuk mewujudkan mimpi manusia agar bisa merasakan sensasi yang mereka inginkan, bahkan ingin menjadi apa saja pun bisa; layaknya berada di surga.

Apakah dunia yang seperti itu menarik bagimu? Mungkin bagi kita di masa sekarang hal tersebut terdengar menarik. Tapi coba kita pikirkan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun