Perbedaan mendasar lainnya di metodologi penelitian ada pada tingkat kepercayaan titik api. Tidak semua hotspot yang terbaca di satelit, berarti di titik tersebut ada kebakaran hutan dan lahan. Karena itu pemerintah menggunakan tingkat kepercayaan. Identifikasi areal terbakar ditetapkan berdasarkan kategori akurasi.
Kategori high (H) yakni titik yang teridentifikasi di citra, ada hotspotnya dan dibuktikan dengan data lapangan; Kategori medium (M), ada citra dan hotspot; Sedangkan untuk kategori low (L) hanya penampakan di citra saja.
Kategori akurasi ini akan membantu tim satgas lapangan menentukan tindakan prioritas. Ini sekaligus untuk verifikasi bertingkat, seperti contohnya di Sumatera Barat. Ada satu lokasi yang awalnya selalu berada di level Medium. Namun setelah diverifikasi berulang kali, akhirnya dikeluarkan dari level Medium menjadi ke level Low.
Areal bekas terbakar yang terindikasi muncul di level low, tidak digunakan untuk kerja tim lapangan, sehingga tidak dipublikasikan dan hanya disimpan sebagai basis data saja, karena dari hasil cek lapangan pada areal terbakar kategori Low ini akurasi kebenaran titik apinya hanya lk 50 % saja.
Artinya ke depan bilamana muncul indikasi hotspot oleh satelit, maka tim pemadam memprioritaskan lokasi yang berada pada level high atau medium daripada level Low. Ini akan membantu efektifitas dan efesiensi kerja tim satgas di lapangan, karena memadamkan api karhutla adalah kerja berkejaran dengan waktu dan keselamatan nyawa manusia.
Sementara oleh David dalam risetnya, tingkat kepercayaan ini tidak digunakan sama sekali alias diabaikan total. Jadi seluruh data pada level kepercayaan apapun semua dipublikasikan. Apapun yang memantulkan panas, mau itu atap seng, kebun masyarakat, tanah lapang, lahan terbuka, bandara, waduk bahkan gunung berapipun dipublikasikan sebagai areal terbakar. Jadi riset David cs hanya berorientasi pada data visual di layar komputer semata, sedangkan data pemerintah mencakup semua aspek sosial dan ekosistem yang nyata ada.
Di tahap berikutnya, terjadi perbedaan mendasar pada piranti pengolah data yang digunakan. Bila pemerintah memproses data secara offline atau manual menggunakan PC dan software GIS/RS, maka riset David Cs hanya melakukan secara online dan otomatis menggunakan fasilitas Google Earth Engine, dimana server data dan algoritme dasar milik google, sedangkan peneliti hanya memasukkan algoritma dan parameter perintah secara daring atau online.
Begitu juga dengan periode pengamatan riset. Pemerintah mengeluarkan data karhutla pada periode 1 Januari 2019-31 Desember 2019. Sedangkan David Cs mengeluarkan data riset periode 1 November 2018-31 Desember 2019.
Maka tak heran bila terjadi perbedaan data yang sangat signifikan, dimana data pemerintah menunjukkan area terbakar di 2019 seluas 1,6 juta ha, sedangkan data riset David Cs overestimate hingga ke angka 3,1 juta ha.
Sebenarnya jika yang digunakan perbandingan kondisi riil di tengah masyarakat, riset David Cs bisa terbantahkan dengan sendirinya. Karena bila data David Cs ini dianggap valid, berarti estimasi karhutla 2019 melebihi karhutla tahun 2015 seluas 2,6 juta ha.
Saat itu (2015) pada Provinsi rawan di Sumatera dan Kalimantan, karhutla menyebabkan bencana asap Nasional. Bahkan di Riau lebih dari 3 bulan matahari tidak tembus tertutup kabut asap. Namun dengan karhutla seluas 3,1 juta ha versi David cs di 2019 tidak mengakibatkan bencana kabut asap dengan skala seperti 2015. Kok bisa dengan luasan yang begitu banyak, karhutla 2019 berbeda dampaknya dengan karhutla di 2015? Ini hanya logika sederhana saja dan non ilmiah untuk membuktikan bahwa ada 'sesuatu yang hilang atau kurang lengkap' pada artikel hasil riset David Cs.