Mohon tunggu...
Afni Zulkifli
Afni Zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis adalah sajadah kata untuk berbicara pada dunia

Jurnalis, Akademisi, Praktisi Komunikasi Publik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kontroversi Riset Karhutla David Gaveau: Haruskah Manggala Agni Padamkan Gunung Api?

23 Januari 2022   08:44 Diperbarui: 23 Januari 2022   16:53 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juga pernah kejadian di Siak, helikopter pemadam bergerak terbang ke lokasi karena mengira ada kebakaran lahan, ternyata sampai di lokasi bukan titik api yang mereka temukan, melainkan para petani yang sedang membakar sisa panen padi. Pilot helikopter sepertinya kesal karena sudah terlanjur bawa air jauh-jauh, akhirnya sengaja menjatuhkan air ke arah lahan pertanian yang sedang ditunggui petani. Kejadian ini sempat jadi tontonan masyarakat desa yang seperti dapat hiburan, sementara si pilot mungkin saja merasa malu kena prank satelit. Yang jelas, Negara rugi karena biaya terbang heli pemadam juga tidaklah murah.

Satelit juga pernah membaca lahan pertanian masyarakat yang diberi herbisida alias racun rumput, meninggalkan penampakan area dengan rona menghitam, sehingga diidentifikasi satelit sebagai area kebakaran. Padahal jelas ini bukan areal terbakar.

Ada juga kejadian di Singkawang. Satelit begitu yakin menunjukkan ada titik terbakar, begitu tim ke lapangan ternyata tidak ada kebakaran. Ada areal perbatasan kebakaran di kanan kirinya hanya layu saja karena panas, oleh satelit ini ditangkap sebagai areal kebakaran, padahal tidak terbakar. Terlihat dalam g
Begitu juga misalnya di NTB. Satelit pernah menangkap ada areal terbakar di satu pulau. Ternyata setelah diverifikasi, ternyata hanya lautan padang savana yang sedang mengering.

Satelit pada tingkat kepercayaan tertentu (confidence level) harus dilakukan groundcheck, karena bila salah melangkah, pengaruhnya sampai pada  tahap pengambilan kebijakan. Jika semua hanya percaya data satelit, sungguh tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya penyusunan anggaran untuk mitigasi dan kebijakan lanjutan seperti penegakan hukum, pemulihan kawasan, dan lainnya.

Semua verifikasi lapangan inilah yang tidak dilakukan riset David, karena ia percaya seutuhnya pada algoritma mesin dan langsung mempublikasinya, lalu disambut oleh beberapa pihak seperti Greenpeace yang dalam kampanye medsos mereka menyusun narasi seolah pemerintah pemerintah Indonesia telah berbohong soal data karhutla. Padahal ini justru menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti sama sekali kondisi faktual lapangan dan cara kerja pengendalian karhutla di Indonesia.

Oke, kita lanjut ya pada perbedaan metodologi riset lainnya.

Untuk menegaskan metodologi data karhutla, pemerintah Indonesia melalui KLHK melakukan deliniasi atau penggambaran/pemetaan dengan menggunakan garis dan lambang, yang dibandingkan secara lengkap dengan indikasi data hotspot, data burned area (areal bekas terbakar), perbandingan dengan kenampakan sebelum kebakaran, dan lagi-lagi dan lagi diperkuat data lapangan.

Karena filosofi dasar penginderaan jauh adalah melakukan penafsiran, menganalisis penampakan pada citra, dan memastikan obyek di lapangan itu apa. Karena bila hanya mengandalkan mesin, proses identifikasi masih ada potensi kesalahan. Maka kebenaran data mutlak baru bisa didapatkan pada saat turun ke lapangan.

Sehingga dengan begitu, maka kontrol kualitas data pemerintah dilakukan secara virtual bertingkat dengan melibatkan pakar kebakaran (tidak hanya dari KLHK), penginderaan jauh dan juga tenaga lapangan dari DAOP Manggala Agni yang memang sehari-hari berada di tingkat tapak. Dengan melibatkan kolaborasi mesin dan manusia, validasi dilakukan pada seluruh areal atau 100 persen yang terintegrasi dengan kontrol kualitas.

Sedangkan David Cs hanya melakukan klasifikasi random forest supervised classification dengan sumber hasil kalkulasi dNBR ditambah 10 saluran sentinel. Sehingga kontrol kualitasnya juga hanya membandingkan data yang sudah ada di mesin (MODIS, VIIRS, dan titik referensi). Adapun peta validasinya hanya pada 1.298 titik yang dilakukan dengan citra sentinel 2 secara visual pada hanya 7 Provinsi saja yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Papua, Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. Sedangkan pemerintah pada seluruh area se Indonesia.

Pemerintah menggunakan citra satelit optis (landsat 7/8), dengan resolusi spasial 30 m dan masa akuisisi 16 hari, dan tersedia secara konsisten sejak tahun 1972 sampai sekarang. Sedangkan David menggunakan sumber data yang baru tersedia tahun 2015, menggunakan citra satelit Optis (Sentinel-2A/B), dengan resolusi spasial 20 m dan akuisisi 5 hari. Meski berbeda namun sumber data pemerintah maupun David sama-sama mumpuni, karena cakupan areanya sama-sama untuk seluruh Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun