Generasi baru pengiklan dan konsumen di negara-negara postkolonial mulai sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi, menciptakan ruang bagi iklan yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun jati diri (Steger, 2003).
Kesimpulan
Iklan postkolonial menjadi medium penting dalam pergulatan identitas budaya, menawarkan peluang untuk mengguncang paradigma yang telah lama mendominasi. Melalui strategi hibriditas, perlawanan, dan kebangkitan identitas lokal, iklan dapat menjadi alat yang kuat untuk mengungkapkan kompleksitas budaya dalam era globalisasi.
Masa depan iklan di dunia postkolonial bergantung pada sejauh mana para pengiklan mampu memahami, merayakan, dan mempertahankan kekayaan budaya yang ada, sambil tetap beradaptasi dengan perubahan dunia modern.
Referensi
- Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (1989). The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures. Routledge.
- Bhabha, H. K. (1994). The Location of Culture. Routledge.
- Fanon, F. (1963). The Wretched of the Earth. Grove Press.
- Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. SAGE.
- Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
- Sayekti, P. (2022). Visual Branding and Cultural Identity: The Case of Laweyan Batik Labels. Journal of Cultural Studies.
- Spivak, G. C. (1988). Can the Subaltern Speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the Interpretation of Culture (pp. 271-313). University of Illinois Press.
- Steger, M. B. (2003). Globalization: A Very Short Introduction. Oxford University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H