Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Relevansi Kunjungan Paus Fransiskus untuk Rakyat Indonesia

2 September 2024   09:35 Diperbarui: 2 September 2024   09:51 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus akan melakukan kunjungan ke Indonesia (3-6 September 2024). (FOTO: Instagram/@fransiscus via Kompas.com)

Paus Fransiskus adalah pemimpin tertinggi agama Katolik sekaligus kepala negara Vatikan. Dua identitas itu pun membahasakan bahwa kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia dari 3-6 September 2024, bukan saja bermotifkan agama, tetapi lebih jauh menyangkut relasi antara negara.

Lewat tulisan ini saya coba memaknai relevansi kunjungan Paus Fransiskus untuk Indonesia sebagai sebuah negara dalam bingkai tema kunjungan tersebut.

Temanya, "Faith, Fraternity, and Compassion". Tema ini menunjukkan tiga keutamaan yang sebenarnya ada pada jati diri manusia  pada umumnya dan terejahwantah dalam relasi sosial antara sesama manusia.


Pertama, Faith (Iman)

Sila Pertama Pancasila, "Ketuhanan yang maha Esa", cukup jelas menggariskan bahwa Indonesia adalah negara yang penduduknya mempunyai iman kepada Tuhan. Iman itu diekspresikan dan diungkapkan lewat beragama. Atau dengan kata lain, baju agama menjadi instrumen manusia untuk mengungkapkan iman kepada Tuhan.

Pastinya, kedatangan Paus Fransiskus berefek pada ungkapan iman yang beragama Katolik pada khususnya, dan harapannya bisa berdampak pada relasi dengan kaum agama lain yang ada di Indonesia.

Menjadi sebuah keistimewaan kala Paus Fransiskus memilih datang ke Indonesia, yang mana jumlah penganut Agama Katolik terbilang minoritas. Harapannya, meminjam pernyataan dari Mgr. Soegijapranata, "100 persen Katolik, 100 persen Indonesia", kehadiran Paus Fransiskus seyogiannya meneguhkan iman dari penganut agama Katolik dan sekaligus menjadi undangan untuk mewujudkan imannya sebagai warga Indonesia yang baik dan bertanggung jawab.

Untuk konteks Indonesia, relevansi kunjungan Paus Fransiskus bisa menjadi pengingat pada iman setiap penduduk Indonesia, terlepas baju agama apa yang dikenakan. Dalam mana, iman itu mesti mengakar dan bukan superfisial.

Ketuhanan yang Maha Esa menjadi sila yang cukup mendalam tentang identitas kita sebagai orang Indonesia. Konsekuensi logisnya jelas. Kita berkeyakinan kepada Yang Ilahi. Keyakinan itu sekiranya terpancar lewat cara hidup kita.

Ironisnya, ketika ungkapan iman berbanding terbalik dengan cara hidup berbangsa dan bernegara. Misalnya, ketimpangan sosial akibat kerakusan segelintir kelompok, korupsi dan nepotisme yang seperti tak ada ujungnya, pengrusakan lingkungan demi menggolkan kepentingan bisnis semata hingga relasi antara sesama manusia yang tak adil menjadi wajah terbalik dari ekspresi iman.

Beriman berarti yakin akan adanya Tuhan, sebagaimana terimplisit dalam Sila Pertama Pancasila. Konsekuensinya, kita perlu dekat dengan Tuhan dan mewujudkan kedekatan itu lewat perilaku dan sikap hidup yang berwajah ketuhanan.

Oleh sebab itu, kunjungan Paus Fransiskus memberikan pesan iman, membangun iman yang telah ada, dan sekaligus mengingatkan tugas mulia sebagai orang beriman yang berwarga negara Indonesia.

Kedua, Fraternity (Persaudaraan)

Tema ini cukup dekat dengan masa kepemimpinan Paus Fransiskus. Paus yang berasal dari Argentina itu mempunyai relasi yang baik dengan para pemimpin agama lain, termasuk dari kalangan Muslim. Juga, Paus Fransiskus menjalin relasi yang dekat dengan para pemimpin politik dunia.

Relasi itu membahasakan tali persaudaraan. Batas-batas geografi, kotak-kotak agama, dan perbedaan pilihan politik dilampaui demi membangun kemanusiaan yang bermartabat dan bernilai lewat semangat persaudaraan.

Kedatangannya ke Indonesia menjadi perhatian lantaran status Indonesia sebagai negara bermayoritaskan Muslim. Untuk itu, di balik kunjungan itu, Paus Fransiskus membawa pesan persaudaraan untuk siapa saja yang ada di Indonesia.

Pesan itu pun bisa mengingatkan relasi persaudaraan kita di Indonesia. Lihat ke dalam sebelum mencernah pesan persaudaraan dari Paus Fransiskus.

Bukan rahasia lagi jika persaudaraan kita kadang pecah lantaran musim politik, baik itu yang sudah lewat sewaktu Pemilu pada 14 Februari lalu, maupun yang sementara hangat-hangatnya lewat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Saudara jadi musuh dan difitnah karena perbedaan pilihan.

Sekiranya, persaudaraan harus dibangun dan dijaga terlepas pada perbedaan pilihan politik, struktur sosial, hingga latar belakang. Paus Fransiskus datang ke Indonesia untuk menguatkan tali persaudaraan antara Indonesia dan Vatikan, dan bukan semata-mata membawa baju agama Katolik.

Kunjungan itu pun mengingatkan kita bahwa persaudaraan mesti mendapatkan tempat utama dan pertama dalam relasi bernegara dan berbangsa. Persaudaraan mesti dibangun dengan melampuai batas-batas agama, sosial, dan politik.

Jangan sampai persaudaraan dikorbankan lantaran perbedaan pilihan politik dan kepentingan. Dengan kata lain, perbedaan politik, agama, dan status sosial tak boleh meruntuhkan tali persaudaraan sebagai satu negara dan bangsa.

Ketiga, Compassion (Belas Kasih)

Belas kasih menjadi salah satu keutamaan yang ditekankan Paus Fransiskus sejak awal masa kepemimpinannya di Gereja Katolik. Wujud belas kasihnya itu terungkap pada kepeduliannya pada kaum imigran, kritiknya pada perang geo politik, dan juga seruan-seruan kepedulian pada kerusakan lingkungan hidup.

Belas kasih merupakan bahasa iman. Itu bermakna pada upaya kita masuk atau merasakan derita sesama dengan langsung. Tujuannya agar pengalaman itu bisa mentransformasi kita untuk mengambil langkah konkret dalam mengatasi persoalan yang terjadi.

Pada tempat pertama, sikap belas kasih itu mesti dipunyai oleh setiap pihak, terlebih khusus para pemimpin. Pemimpin yang tak berbelas kasih akan cenderung tak peduli pada orang-orang yang dipimpinnya, bertindak seturut kemauan sendiri, dan bahkan bergaya hidup dengan jarak yang cukup jauh dari rakyat.

Sebaliknya, pemimpin yang berbelas kasih selalu mempunyai kepedulian kepada sesama, dekat dengan rakyat, dan tahu benar-benar apa yang dibutuhkan rakyat. Juga, sikap berbelas kasih seorang pemimpin bukanlah bentuk pecintraan, tetapi benar-benar bahasa imannya, yang terlahir dari lubuk hati.  

Kedua, sikap belas kasih itu mesti terbangun dalam relasi harian kita sebagai warga negara. Kepedulian antara satu sama lain dalam relasi sosial menjadi wajah nyata dari sikap belas kasih.

Ya, sikap belas kasih menjadi senjata melawan kanker apatisme dan invidualisme menggerogoti kita. Kita adalah makhluk sosial dalam payung yang sama, Indonesia. Kesosialan kita sebagai rakyat Indonesia mesti terwujud dalam rupa kepedulian dan belas kasih.  

Ketika setiap orang bermantelkan sikap belas kasih, pada saat itu pula hidup bersama akan penuh damai dan persaudaraaan. Efek lanjutnya adalah iman kepada Tuhan benar-benar hidup dan nyata di Indonesia.

Selamat Datang Paus Fransiskus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun