Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Orangtua yang Bercerai dan Anak yang Terbebankan

10 Agustus 2024   08:05 Diperbarui: 10 Agustus 2024   08:29 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk konteks masyarakat Indonesia umumnya, upacara perkawinan  dipandang sebagai ritual yang sakral. 

Dipercayai bahwa ada keterlibatan Yang Ilahi lewat perkawinan, baik itu lewat ritus budaya maupun agama, dalam merestui dan memberkati ikatan tali perkawinan tersebut.

Oleh sebab itu, perceraian suami dan istri kerap dipandang secara negatif. Orang-orang yang bercerai masuk dalam stigma tertentu, misalnya dinilai tak setia.

Apalagi, jika motif perceraian disebabkan oleh orang ketiga, dan pasangan yang menjadi bagian dari orang ketiga itu akan dipojokan.  

Bahkan, mereka pun dikotakan dalam relasi sosial sehingga tak bebas bergaul atau juga menjadi nyaman untuk berinteraksi.

Akibat lanjutnya, mereka yang bercerai juga menjadi tak bebas. Trauma untuk kembali membangun kehidupan berkeluarga. 

Karena pengalaman sakit hati karena bercerai, muncul juga sikap menyesal telah menjalin tali perkawinan hingga "mewartakan" bahwa perkawinan itu tak bernilai.

Akan tetapi, ada pasangan yang sudah mempersiapkan segala konsekuensi baik mental maupun emosional dari perceraian. Kendati kedua belah bercerai, keduanya tetap membangun silahturami dengan baik.

Tentu saja, hal itu terjadi karena ada pengertian dan pemahaman di antara kedua belah pihak sebelum memutuskan untuk bercerai. Juga, ada penjelasan di balik latar belakang yang terjadi.

Kendati demikian, walau orangtua yang bercerai dalam kondisi siap dan tenang batin, belum tentu situasi yang sama terjadi pada anak.

Anak kerap menjadi sosok yang sulit menerima fakta perceraian orangtua. Penolakan anak biasanya dibarengi dengan beban batin dalam melihat dan menimbang situasi yang terjadi karena perceraian orangtua.

Beban batin anak disebabkan oleh pelbagai hal. Paling pertama adalah tidak menerima kenyataan atas kehilangan dua sosok yang sangat mengayomi mereka. 

Apalagi jika kedua belah pihak memiliki perhatian yang sama, dan tiba-tiba memutuskan berpisah.

Pastinya, anak merasa sakit hati. Tidak mau menerima kenyataan jika kedua orangtua mereka bercerai.

Alasan lainnya adalah faktor lingkungan sosial. Beban batin yang tercipta karena pengaruh lingkungan sosial, di mana anak bergaul dan berinteraksi.

Anak yang berasal dari "broken familiy" pasti merasa sedih ketika melihat anak-anak lain hadir bersama orangtua saat ada kegiatan bersama di sekolah, misalnya. Atau juga, teman sebaya yang bercerita pengalaman tentang pergi berlibur bersama orangtua.

Situasi itu kadang membuat anak merasa tak nyaman. Menjadi sedih lantaran tak memiliki situasi dan pengalaman yang sama. 

Bisa saja hal itu berujung pada sikap anak yang cenderung berada di rumah daripada bergaul dengan teman-teman sebaya.  

Beban batin anak karena perceraian orangtua itu tak boleh dianggap sepeleh. Harus diantisipasi dan disikapi dengan baik oleh orangtua yang bercerai. 

Kalau tidak anak bisa saja membangun dan terjebak pada orientasi hidup yang salah atau juga memiliki persepsi yang salah tentang hidup perkawinan.

Beban batin anak gegara perceraian orangtua perlu diantisipasi dan disikapi secara serius. 

Di sini, selain orangtua memberikan penjelasan dan pemahaman atas perceraian yang terjadi, juga perlu pendampingan secara menerus kepada anak.

Dalam mana, orangtua tak boleh memutuskan tali kekeluargaan dengan anak-anak walaupun sudah bercerai. 

Misalnya, anak tinggal dengan pihak suami. Pihak istri sekiranya terus membangun relasi dan komunikasi dengan anaknya, bahkan kalau perlu sesekali memiliki waktu untuk tinggal bersama dengan anaknya.

Pendek kata, tali relasi antara anak dan orangtua sekiranya tak boleh putus lantaran perceraian antara suami dan istri. 

Artinya, orangtua boleh berpisah sebagai suami dan istri karena perceraian, tetapi relasi antara orangtua (ayah/bapa dan ibu/mama) tak ikut terpecah, tetapi selalu terikat dan berada bersama.

Prinsipnya, peran sebagai orangtua tak terhapus karena perceraian. Sekiranya, tetap dipertahankan dan dijaga agar anak tak merasa kehilangan secara total dari keberadaan orangtua. 

Itu menjadi cara agar anak tak begitu tinggal dalam beban dan sakit hati lantaran perceraian kedua orangtua mereka.

Memang, perceraian adalah fenomena sosial yang sangat sulit untuk dihindari. Efeknya beragam, tak hanya pada kedua belah pihak (suami dan istri) yang memutuskan untuk bercerai, tetapi juga pada anak-anak.

Perlu pendampingan yang intensif pada anak agar tak tinggal dalam luka batin yang mendalam. 

Pendampingan itu mulai dari orangtua, yang mana perceraian orangtua tak mengakhiri relasi orangtua dan anak, tetapi tetap dipertahankan walau sudah pisah rumah dan orangtua mempunyai relasi yang berbeda.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun