Pertama-tama, perlu ubah orientasi dalam penggemblengan dan penetapan prioritas cabor di tanah air.
Bukan rahasia lagi jika Indonesia sudah sangat merakyat dengan cabor sepak bola dan badminton. Ketika cabor sepak bola gagal tembus Olimpiade Paris gegara kalah di babak play off kontra Gambia, tak sedikit yang kecewa dan seolah itu adalah akhir dari partisipasi Indonesia pada Olimpiade.
Sama halnya dengan degradasinya prestasi bulu tangkis di Olimpiade Paris. Indonesia gagal mempertahankan tren medali emas.Â
Beruntung, Indonesia masih memiliki Gregoria Mariska Tunjung, tunggal putri yang meraih medali perunggu.
Cabor bulu tangkis menjadi andalan Indonesia dalam menyumbangkan emas di setiap perhelatan Olimpiade.Â
Namun, sejak perhelatan Asian Games Hungzao, China pada tahun 2023 dan Olimpiade Paris 2024, prestasi bulu tangkis Indonesia sepertinya berada pada jurang keruntuhan.
Di balik dua situasi tersebut, persembahan medali emas dari cabor panjang tebing dan angkat besi sepertinya mengarahkan kita pada orientasi baru dalam pembinaan atlet dan olahraga di tanah air.
Dalam mana, orientasi baru itu berupa keterbukaan mata kita bahwa ada banyak cabor yang bisa mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional. Untuk itu, perlu pemerataan dalam setiap aspek dan sisi dalam pembinaan dan penggemblengan para atlet dari setiap cabor.
Situasi Indonesia persis serupa dengan Filipina. Olahraga bola basket begitu menjadi prioritas yang sangat tinggi daripada cabor yang lain. Namun, cabor bola basket Filipina gagal tembus Olimpiade Paris.
Keberhasilan Carlo Yulo yang mempersembahkan dua medali emas dari cabor gymnastik menghadirkan tren baru di tengah masyarakat Filipina. Tren baru itu muncul ketika orang-orang beramai-ramai menirukan gerakan Yulo sewaktu melakukan aksi di arena gymnastik.
Gegara prestasi Yulo di Olimpiade, mata publik terbuka. Ternyata, untuk menjadi sukses di Olimpiade tak semata-mata lewat olahraga yang sudah merakyat seperti bola basket tetapi juga lewat cabor yang lain.