Untuk konteks zona Asia Tenggara (ASEAN), kontingen Indonesia dan Filipina menjadi terdepan dalam perolehan medali emas pada Olimpiade Paris, Prancis.
Koleksi emas dari kedua negara berkepulauan itu persis sama. Kedua negara sama mengoleksi 2 emas. 2 emas Indonesia diperoleh oleh atlet berbeda dan cabang olahraga (cabor) berbeda.
Sementara itu, sejauh ini 2 emas Filipina diperoleh oleh hanya satu atlet, Carlos Yulo, dari cabang olahraga yang satu dan sama.
Lalu, Filipina juga sudah mengoleksi 2 perunggu dan Indonesia baru mengoleksi 1 perunggu.
Perbedaan raihan perunggu itu membuat Filipina lebih unggul satu level atas Indonesia. Sampai hari ini (9 Agustus 2024), Filipina berada di posisi ke-26 klasemen sementara peraihan medali dan Indonesia di posisi ke-28.
Indonesia berhasil menyaingi perolehan medali Filipina setelah atlet angkat besi, Rizki Juniansyah nomor 73 kg unggul atas atlet andalan China, Shi Zhiyong.
Tak tanggung-tanggung, Juniansyah mengalahkan atlet yang merupakan peraih tetap medali dalam dua edisi Olimpiade.
Namun, sebelum Juniansyah meraih medali emas, Indonesia sebenarnya mengakhiri penantian medali emas ketika pemanjat Veddriq Leonarda menang kontra pemanjat China, Wu Peng. Veddriq hanya unggul 0.02 detik atas Wu Peng.Â
Namun, keunggulan itu sangat berharga dan sekaligus mengakhiri penantian emas Indonesia dalam 10 hari perhelatan Olimpiade Paris.
Raihan dua medali emas Indonesia itu memberikan pesan berharga.Â
Pertama-tama, perlu ubah orientasi dalam penggemblengan dan penetapan prioritas cabor di tanah air.
Bukan rahasia lagi jika Indonesia sudah sangat merakyat dengan cabor sepak bola dan badminton. Ketika cabor sepak bola gagal tembus Olimpiade Paris gegara kalah di babak play off kontra Gambia, tak sedikit yang kecewa dan seolah itu adalah akhir dari partisipasi Indonesia pada Olimpiade.
Sama halnya dengan degradasinya prestasi bulu tangkis di Olimpiade Paris. Indonesia gagal mempertahankan tren medali emas.Â
Beruntung, Indonesia masih memiliki Gregoria Mariska Tunjung, tunggal putri yang meraih medali perunggu.
Cabor bulu tangkis menjadi andalan Indonesia dalam menyumbangkan emas di setiap perhelatan Olimpiade.Â
Namun, sejak perhelatan Asian Games Hungzao, China pada tahun 2023 dan Olimpiade Paris 2024, prestasi bulu tangkis Indonesia sepertinya berada pada jurang keruntuhan.
Di balik dua situasi tersebut, persembahan medali emas dari cabor panjang tebing dan angkat besi sepertinya mengarahkan kita pada orientasi baru dalam pembinaan atlet dan olahraga di tanah air.
Dalam mana, orientasi baru itu berupa keterbukaan mata kita bahwa ada banyak cabor yang bisa mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional. Untuk itu, perlu pemerataan dalam setiap aspek dan sisi dalam pembinaan dan penggemblengan para atlet dari setiap cabor.
Situasi Indonesia persis serupa dengan Filipina. Olahraga bola basket begitu menjadi prioritas yang sangat tinggi daripada cabor yang lain. Namun, cabor bola basket Filipina gagal tembus Olimpiade Paris.
Keberhasilan Carlo Yulo yang mempersembahkan dua medali emas dari cabor gymnastik menghadirkan tren baru di tengah masyarakat Filipina. Tren baru itu muncul ketika orang-orang beramai-ramai menirukan gerakan Yulo sewaktu melakukan aksi di arena gymnastik.
Gegara prestasi Yulo di Olimpiade, mata publik terbuka. Ternyata, untuk menjadi sukses di Olimpiade tak semata-mata lewat olahraga yang sudah merakyat seperti bola basket tetapi juga lewat cabor yang lain.
Pendek kata, sejauh nama negara diharumkan lewat raihan emas dan ditambah lagi dengan nyanyian kebangsaan yang diputar di arena olahraga, pada saat itu pula setiap cabor mempunyai nilai yang sama.
Kedua, Tiap cabor perlu mendapatkan promosi yang sama. Tak ada yang dianaktirikan lantaran tak begitu menjadi minat dari khayalak ramai di Indonesia.
Promosi yang sama itu terjadi lewat kampanye tentang cabor tertentu dan prestasi yang sudah tercapai baik itu lewat internet maupun TV.
Masalah laten yang kerap terjadi adalah ada oknum yang memboncengi raihan para atlet demi kepentingan tertentu. Misalnya, menggambungkan foto pribadi sebagai ucapan selamat untuk atlet yang meraih medali, tetapi tujuan akhirnya hanya untuk kepentingan politik.
Ini bukan promosi atlet dan cabornya, tetapi promosi demi kepentingan diri. Seharusnya, promosi itu bisa melibatkan pada bagaimana melihat rekam jejak si atlet hingga bisa sukses dan juga mempromosikan cabor itu lewat pelbagai media agar publik pun makin mengenalnya dan tertarik untuk mengikuti jalan yang sama.
Saya agak kagum dengan promosi para atlet berprestasi di Filipina. Ketika Filipina "pecah telur" meraih medali emas pertama dalam keikutsertaannya di Olimpiade lewat Hidilyn Diaz empat tahun lalu di Olimpade Tokyo, muka dan nama Diaz selalu menghiasi media massa sampai saat ini.Â
Walaupun Diaz tak masuk Olimpiade Paris, wajahnya kerap menghiasi media pemberitaan. Cara itu sepertinya menjadi pembangkit awal dari prestasi para atlet lainnya.Â
Tak elak, setelah Diaz, muncul Yulo yang langsung memboyong dua medali emas untuk Filipina.Â
Kemunculan Yulo pun menjadi sorotan dan perbincangan netizens. Bahkan, meme-meme menarik muncul menghiasi keberhasilan Yulo.Â
Cara itu secara tak langsung tak hanya mempromosikan si atlet, tetapi juga memperkenalkan dan mempromosikan lebih jauh cabor yang telah menyukseskan nama Filipina di pentas internasiona.Â
Lebih jauh, nama para atlet yang sukses tak hanya tren untuk sementara waktu, tetapi terus dipromosikan agar membangkitkan ingatan dan menaikan ketertarikan dari masyarakat untuk mengikuti jejak yang sama.Â
Hal yang sama juga perlu diikuti agar kesuksesan para atlet dan cabornya tak ditelan oleh waktu dan tren zaman.Â
Raihan medali emas Indonesia di Olimpiade tetap mempertahankan tradisi. Namun, di balik itu ada satu pekerjaan besar yang menanti dunia olahraga Indonesia untuk membangun kesamaan derajat dari setiap cabor.
Indonesia dan Filipina bersaing dalam perolehan medali di Olimpiade Paris. Menariknya, persaingan perolehan medali itu terjadi lewat cabor yang kerap dipandang sebelah mata atau juga tak begitu menjadi favorit publik.
Kendati demikian, hal itu seperti memberikan pesan bahwa tiap cabor yang berpartisipasi dalam Olimpiade perlu mendapat pengakuan, tempat, dan prioritas yang sama dengan cabor yang telah memasyarakat atau pun favorit publik.
Salam Olahraga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H