Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Agar Media Sosial Tak Ciptakan Keterasingan di Keluarga

2 Juli 2024   17:16 Diperbarui: 2 Juli 2024   17:19 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kehidupan di dalam keluarga. Foto: tirachardz/Freepik via Kompas.com

Pernyataan "keluarga adalah seminari kecil" cukup membekas sejak pertama kali saya dengar di bangku SMP. Maksudnya adalah keluarga menjadi tempat pendidikan pertama seorang anak.

Seperti arti kata "seminari" yang berasal dari kata bahasa latin, "seminarium" berarti tempat persemaian benih.  Begitu pula dengan keluarga yang menjadi lokus pertama persemaian benih-benih baik atau nilai-nilai pendidikan kepada anak.

Konsekuensinya sangat jelas. Ketika benih yang ditabur tidak baik, hasilnya pasti juga tidak baik. Ketika benih yang ditabur tak dirawat, masa pertumbuhan dan perkembangannya pun terganggu.

Begitu pun sebaliknya. Saat benih-benih kebaikan ditabur dan ditanam dengan penuh cinta dan kesungguhan pada seorang anak, pasti hasil baik bisa dipetik di kemudian waktu.  

Oleh sebab itu, kita perlu menjadikan keluarga kita seperti sebuah seminari yang benar-benar menjadi persemaian nilai-nilai yang baik dengan tujuan tak hanya untuk kehidupan anak sendiri, tetapi juga untuk konteks yang lebih luas.

Seperti terlansir dalam berita kompas.id edisi 29 Juni 2024,  keluarga menjadi landasan penting untuk kehidupan negara. "Keluarga merupakan unit terkecil dari negara," demikian kalimat pertama dalam tulisan kompas tersebut. 

Ketika keluarga bermasalah, kehidupan bernegara juga ikut terpengaruh.

Untuk itu, perlu menjaga keluarga. Perlu membangun keluarga sebagai sebuah seminari kecil yang benar-benar solid dan kuat, dan bukan keluarga yang cenderung individualis dan terasing dalam berelasi.

Tantangan untuk Keluarga

Saat ini, banyak tantangan untuk dunia keluarga tak gampang. Tantangan-tantangan itu menghantui, merusak, dan merugikan tatanan kehidupan berkeluarga.

Salah satunya adalah tantangan era disrupsi digital. Era digital sebenarnya memberikan banyak manfaat. Terlebih lagi jika kita adalah pengguna yang bijak, selektif, dan bertanggung jawab.

Namun, kalau kita tak bijak, masalah bisa muncul. Kita terkontrol dan bukannya kita yang mengontrol. Efek lanjutnya, salah satunya kita menjadi terasing dalam relasi sosial.  Fisik kita berada bersama dengan orang lain, tetapi pikiran kita pergi ke media digital.

Seperti ungkapan klasik, tantangan dari digital sepertinya "menjauhkan yang dekat, tetapi malah menjauhkan yang terdekat," termasuk antara anggota keluarga.

Barangkali Anda pernah melihat pemandangan sebuah keluarga yang datang dan berada di sebuah restauran. Kadang-kadang, mereka bicara. Tetapi ala kadarnya.

Biasanya sembari menanti pesanan makanan, beberapa anggota keluarga, bahkan semuanya sibuk dengan phone. Tampak terasing, lantaran mereka sibuk dengan phone. Jadinya, tak ada interaksi dan komunikasi antara satu sama lain.

Padahal, momen kebersamaan di luar rumah itu bisa menjadi kesempatan untuk berinteraksi dan saling mengenal antara satu sama lain.

Situasi seperti itu menjadi tantangan dalam era disrupsi digital. Phone mendapat tempat terdepan. Relasi tatap muka ditepikan.

Pendek kata, ada kecenderungan yang mana berelasi dengan orang-orang yang jauh lewat phone lebih nyaman ketimbang dengan orang-orang serumah.

Oleh sebab itu, sebuah keluarga perlu mempunyai taktik agar kebersamaannya tak luntur, terganggu, dan hancur gegara media digital. Perlu langkah praktis agar tak menjadi terasing di dalam rumah sendiri dan dalam berelasi sesama anggota keluarga.

Paling pertama adalah saat berada bersama sebagai keluarga, sebisa mungkin untuk menjauhkan phone. 

Tujuannya agar momen makan bersama itu sebagai kesempatan untuk berbagi cerita di antara satu sama lain.
Misalnya, saat momen makan bersama, phone tak boleh berada di atas meja makan.

Begitu pula saat makan di luar. Perlu aturan agar phone disimpan pada salah satu tempat, ataukah hanya satu orang dari anggota keluarga yang membawa phone dan yang lainnya ditinggalkan di rumah.

Aturan ini awalnya sulit, namun tak mustahil dilakukan. Saya mengambil contoh dari pengalaman saya sendiri.

Ketika diundang oleh tetangga atau pun pergi berkunjung ke rumah orang, saya tak membawa phone. Tujuannya agar saya benar-benar membangun interaksi dan komunikasi dengan orang-orang yang dijumpai.  

Awalnya terasa sulit. Namun, perlahan hal itu menjadi kebiasaan. Hingga saat ini, saya merasa tak begitu terbebankan ketika phone ditinggalkan di rumah.

Yang terpenting adalah komitmen bersama. Orangtua perlu menjadi contoh untuk membangun komitmen itu. Saat orang tua menjadi model dari komitmen bersama itu, dengan sendirinya anak bisa mengikuti hal tersebut.

Masalah kerap muncul saat orangtua tak menjadi contoh yang baik. Orangtua memarahi anaknya untuk tak bermain di phone dan memintanya untuk belajar. Namun, di lain pihak, orangtua malah sibuk berselancar di medsos.

Tentu saja, sikap itu tak mencerminkan contoh yang baik. Anak pasti mengiakan perintah orangtua, tetapi di balik itu mereka merekam contoh yang tidak baik.

Dalam mana, aturan tampak berat sebelah atau pun hanya berlaku untuk sebagian. Juga, aturan itu cenderung lebih menekan daripada mendidik anak untuk melihat sisi dan nilai positif dari aturan tersebut.

Lebih jauh, salah satu cara sederhana untuk menghadapi disrupsi digital adalah tak ragu untuk menerapkan cara hidup yang konvensional.

Misalnya, barangkali keluarga terbiasa untuk memesan makanan secara online. Barangkali hal itu perlu dibatasi, dan coba untuk mencari waktu masak bersama.

Tak masalah ketika memesan satu atau dua porsi untuk sekeluarga. Menjadi masalah saat anggota keluarga memesan lantaran faktor selera pribadi. Belum lagi, tiap anggota keluarga makan di waktu yang berbeda dan yang lain memilih kamar tidur sebagai tempat makan.

Untuk itu, perlu kembali ke metode konvensional. Memasak makanan di dapur, makan bersama, dan juga melakukan aktivitas bersama tanpa terlalu bergantung pada media digital. Tujuannya agar bisa membangun kebersamaan sebagai keluarga.

Era disrupsi digital sangat menantang. Kalau keluarga tak mempunyai cara yang tepat menyikapi era perkembangan digital tersebut, kehidupan keluarga bisa terganggu dan bahkan menghadapi keterasingan dalam berelasi antara satu sama lain di dalam keluarga.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun