Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Tak Perlu Bertanya "Kapan Punya Anak?"

27 Juni 2024   12:46 Diperbarui: 27 Juni 2024   13:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Relasi Orangtua dan Anak. Foto: Freepik.com via Kompas.com

Pertanyaan-pertanyaan bernuansa sensitif kadang menjadi bagian dari relasi sosial, baik itu dalam relasi pertemanan maupun di lingkup keluarga.

Sebut saja salah satunya adalah pertanyaan "kapan nikah?" untuk mereka yang sudah masuk kepala tiga tetapi belum memberikan tanda-tanda membangun relasi ke arah pernikahan.

Padahal, kalau dilihat ke dalam, pertanyaan itu tak perlu diajukan apabila menyelami lebih dalam tentang keputusan untuk memilih hidup sendiri atau belum menikah. 

Tak sedikit orang yang tidak mau terikat dalam relasi lewat pernikahan karena pelbagai alasan, salah satunya adalah pilihan pribadi.

Pastinya, pilihan pribadi itu mempunyai latar belakang tertentu. Alih-alih mau tahu kapan dia menikah, lebih baik menghargai keputusan seseorang yang memang tak mau menikah dan memilih hidup sendiri. Toh, orang itu sendiri yang akan menjalani hidupnya.

Namun, begitulah realitas masyarakat kita yang kadang peduli atau dalam bahasa gaulnya kepo dengan kehidupan pribadi orang lain. Ini terjadi karena konteks sosial dan budaya, di mana menikah seperti menjadi "keharusan", dan tak menikah terlihat sebagai realitas yang sulit untuk diterima.

Sama halnya dengan pertanyaan, kapan punya anak? Pertanyaan seperti ini muncul karena faktor sosial dan budaya masyarakat kita.

Ketika perempuan dan laki-laki menikah, mereka membentuk sebuah keluarga. Konsekuensi lanjutnya adalah mereka seharusnya mempunyai anak guna mengafirmasi dari pembentukan kedua insan itu sebagai sebuah keluarga.

Karenanya, ketika keduanya belum memiliki anak, pelbagai persepsi muncul. Salah satu persepsipnya adalah ada yang kurang dalam relasi tersebut. Relasi itu belum lengkap.

Persepsi itu bermuara pada pertanyaan, "kapan punya anak?" setiap kali bertemu dan berkumpul. Pertanyaan itu, barangkali di satu sisi menjadi harapan untuk kedua belah pihak agar dikarunia anak.

Akan tetapi, pertanyaan itu terbilang sensitif dan membebankan. Pertanyaan itu bisa membuat yang ditanya merasa terbebankan dan tak nyaman untuk berelasi. Bisa jadi, yang bersangkutan akan menjadi enggan untuk kembali berkumpul bersama. 

Oleh sebab itu, kita sekiranya kontrol diri menanyakan hal-hal yang sensitif. Perlu mempertimbangkan perasaan dari orang yang ditanyakan karena bukan tak mungkin dia mempunyai pergolakan batin tersendiri dengan apa yang dialaminya. 

Bagaimana kalau tak mempunyai anak merupakan pilihan bebas dan pribadi dari kedua belah pihak. 

Juga, pilihan itu terlahir karena faktor kesehatan dari salah satu pihak yang tak memungkinkan hadirnya seorang anak.

Tak bisa dipungkiri bahwa pelbagai faktor yang bisa melatari seseorang mempunyai anak atau tidak. 

Ada yang memang menjadikan itu sebagai pilihan hidup. Dalam mana, tahu dan mau dua insan tak mempunyai anak karena faktor-faktor tertentu, seperti faktor pekerjaan dari kedua belah pihak.  

Selain itu, faktor lain juga dipengaruhi oleh kesehatan dari salah satu pihak. Barangkali ada salah satu pihak yang mengalami gangguan kesehatan sehingga tak memungkinnya untuk mempunyai anak.

Oleh sebab itu, ketika berhadapan dengan pertanyaan itu, kita perlu mempunyai kesiapan batin untuk menjelaskan realitas yang terjadi. Penjelasan tentang alasan di balik memilih untuk tidak memiliki anak.

Lebih jauh, disposisi batin perlu menjadi fundamen kuat dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan sensitif tersebut. Bukan tak mungkin, pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu batin, dan bahkan melukai ketika pertanyaan-pertanyaan sensitif itu dibarengi dengan ungkapan yang tak perlu.

Misalnya, seorang teman saya. Dia dan istrinya sudah lebih 14 tahun menikah, namun belum dikarunia anak. Pertanyaan tentang "kapan punya anak?" kerap kali mereka dengar dari teman dan keluarga.

Tak sedikit yang menyatakan bahwa kasihan dengan rumah dan harta mereka karena tak ada pihak yang bisa menerima warisan mereka.

Sampai pada titik di mana keduanya melakukan pengecekan kesehatan. Ternyata, salah satu pasangan yang memiliki masalah kesehatan. Menariknya, kedua belah pihak menerima kenyataan itu.

Penerimaan itu menjadikan fondasi kuat dalam relasi kedua belah pihak, dan juga menjadi dasar untuk menghadapi pertanyaan "kapan punya anak?" Mereka sadar dan tahu dengan realitas itu, dan pertanyaan "kapan punya anak?" disikapi pengolahan batin yang jelas.

Disposisi batin juga tercermin dari pengolahan pada konteks sosial di mana pertanyaan-pertanyaan sensitif itu terlahir.

Jika kita mempunyai kesadaran atas konteks sosial di mana kita menjumpai dan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, kita pun akan terbuka menerimanya tetapi tanpa terlalu menjadikannya bahan permenungan batin. Secara kasarnya, pertanyaan-pertanyaan itu masuk ke telinga kiri dan keluar ke telinga kanan.

Toh, di tempat-tempat lain sudah menjadi tren bagi pasangan yang sudah menikah untuk menunda mempunyai anak atau pun tak mau mempunyai anak sama sekali. Pilihan ini terlahir karena pelbagai pertimbangan pribadi.

Pertanyaan-pertanyaan sensitif seperti "kapan punya anak?" kerap muncul dalam relasi sosial. Pertanyaan itu sangat sensitif ketika didengar, dan jawabannya sangat sulit untuk diberikan.

Kendati demikian, kita yang berkaitan dengan pertanyaaan itu perlu mempunyai disposisi batin untuk mengolah pertanyaan itu agar tak menjadi beban batin dan mempengaruhi relasi sebagai suami dan istri.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun