Akan tetapi, pertanyaan itu terbilang sensitif dan membebankan. Pertanyaan itu bisa membuat yang ditanya merasa terbebankan dan tak nyaman untuk berelasi. Bisa jadi, yang bersangkutan akan menjadi enggan untuk kembali berkumpul bersama.Â
Oleh sebab itu, kita sekiranya kontrol diri menanyakan hal-hal yang sensitif. Perlu mempertimbangkan perasaan dari orang yang ditanyakan karena bukan tak mungkin dia mempunyai pergolakan batin tersendiri dengan apa yang dialaminya.Â
Bagaimana kalau tak mempunyai anak merupakan pilihan bebas dan pribadi dari kedua belah pihak.Â
Juga, pilihan itu terlahir karena faktor kesehatan dari salah satu pihak yang tak memungkinkan hadirnya seorang anak.
Tak bisa dipungkiri bahwa pelbagai faktor yang bisa melatari seseorang mempunyai anak atau tidak.Â
Ada yang memang menjadikan itu sebagai pilihan hidup. Dalam mana, tahu dan mau dua insan tak mempunyai anak karena faktor-faktor tertentu, seperti faktor pekerjaan dari kedua belah pihak. Â
Selain itu, faktor lain juga dipengaruhi oleh kesehatan dari salah satu pihak. Barangkali ada salah satu pihak yang mengalami gangguan kesehatan sehingga tak memungkinnya untuk mempunyai anak.
Oleh sebab itu, ketika berhadapan dengan pertanyaan itu, kita perlu mempunyai kesiapan batin untuk menjelaskan realitas yang terjadi. Penjelasan tentang alasan di balik memilih untuk tidak memiliki anak.
Lebih jauh, disposisi batin perlu menjadi fundamen kuat dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan sensitif tersebut. Bukan tak mungkin, pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu batin, dan bahkan melukai ketika pertanyaan-pertanyaan sensitif itu dibarengi dengan ungkapan yang tak perlu.
Misalnya, seorang teman saya. Dia dan istrinya sudah lebih 14 tahun menikah, namun belum dikarunia anak. Pertanyaan tentang "kapan punya anak?" kerap kali mereka dengar dari teman dan keluarga.
Tak sedikit yang menyatakan bahwa kasihan dengan rumah dan harta mereka karena tak ada pihak yang bisa menerima warisan mereka.