Misalnya, orangtua yang mengatur pendidikan anak dari cucu mereka. Bahkan, gegara pendidikan cucu mereka, mereka seperti menyetir si anak dan menantu untuk mengikuti keinginan mereka.Â
Gaya seperti itu menjadi salah satu contoh di mana mertua terlalu ikut campur urusan menantu dan si anak atau tak tahu batas dalam berelasi dengan rumah tangga anak dan mertua.Â
Atau juga, mertua yang begitu mengatur pekerjaan menantu. Padahal, menantu mempunyai minat tersendiri, tetapi mertua cenderung untuk memaksakan apa yang diinginkannya berlaku untuk menantu.
Untuk itu, kedua belah pihak juga perlu tahu batas di mana ada hal-hal yang tak boleh sekadarnya dimasuki dan dicampuri. Dengan kata lain, baik mertua maupun menantu perlu memiliki sikap saling menghargai dan menghormati antara satu sama lain.Â
Ketiga, Ekspetasi yang Perlu Realistis
Tak masalah saat mertua mempunyai ekspetasi yang besar untuk anak dan mertuanya. Namun, ekspetasi itu tak boleh berlebihan, apalagi membebankan menantu.Â
Kadang kala, mertua memiliki ekspetasi tertentu untuk menantunya. Misalnya, ekspetasi dari kategori fisik tertentu dan pekerjaan si (calon) menantu.Â
Seyogianya, mertua perlu realistis. Seorang menantu adalah pilihan anak dan bukan pilihan orangtua.Â
Konsekuensinya, ekspetasi orangtua/mertua tak berlaku sama sekali lantaran pilihan anak selalu berbeda dengan apa yang diharapkan oleh anak.Â
Oleh sebab itu, mertua tak boleh memiliki ekspetasi yang terlalu tinggi, tetapi perlu memiliki ekspetasi yang realistis dengan pilihan pendamping hidup anak atau mertua yang dimiliki.Â
Pilihan dari anak kerap berbeda dari selera dan pandangan orangtua, dan karenanya orangtua harus menerima kenyataan yang yang terjadi sembari menguburkan ekspetasi yang terlalu tinggi untuk (calon) mertua.Â