Relasi antara mertua dan menantu kerap diwarnai oleh kesalahpahaman, cekcok, dan konflik. Terlebih lagi, jika mertua dan menantu tinggal seatap atau serumah.
Sebabnya bisa bermacam-macam, baik itu disebabkan dari sisi mertua maupun dari sisi menantu.Â
Untuk itu, seperti lazimnya di balik setiap persoalan, guna mencari solusi, kita sekiranya perlu mendeteksi penyebabnya terlebih dahulu.Â
Mendeteksi sebab dari ketidakharmonisan itu bisa menjadi stepping stone untuk mengantisipasi dan juga menjaga keawetan dari relasi antara mertua dan menantu.Â
Hemat saya, ada tiga hal yang perlu dibangun dalam relasi antara mertua dan menantu agar relasi kedua belah pihak menjadi awet.Â
Tiga hal itu kerap menjadi poin dari keharmonisan dan sebab dari ketidakharmonisan antara menantu dan mertua.Â
Pertama, Jadikan Mertua/Menantu sebagai Anggota Keluarga
Sejatinya, relasi antara menantu dan mertua menjadi relasi keluarga. Konsekuensi lanjutnya, si menantu bukan sekadar pasangan dari si anak, tetapi lebih dari jauh dia sudah menjadi bagian anggota keluarga.Â
Sama halnya juga bahwa mertua juga perlu dinilai sebagai anggota keluarga. Nasihat baik dari mertua tak boleh dipandang secara negatif atau nasihat dari pihak luar, tetapi dinilai sebagai nasihat dari orangtua.Â
Secara pribadi, saya sangat suka ketika menantu memanggil mertua dengan sebutan bapak/ayah atau ibu/mama. Panggilan seperti itu menjadi salah satu tanda dan penegasan bahwa mertua dipandang sudah seperti orangtua sendiri.Â
Perlakuan dalam relasi di antara kedua belah pihak pun seperti anggota keluarga. Dengan ini, tak ada pandangan bahwa menantu atau pun mertua bukan orang luar, tetapi sudah menjadi bagian dari lingkup terdalam anggota keluarga.Â
Konsekuensi lebih jauh, setiap keputusan yang berkaitan dengan urusan keluarga tak boleh mengesampingkan menantu atau pun mertua. Suara menantu atau mertua perlu didengar karena anggapan bahwa dia sudah dipandang sebagai keluarga.Â
Persoalan sering muncul saat menantu masih dikategorikan sebagai pihak luar, yang mana tak begitu dipandang sebagai anggota keluarga. Pendapat dan opininya tak begitu didengar. Posisinya pun kerap dikesampingkan.Â
Situasi ini kadang menjadi awal dan biang dari keretakan relasi antara menantu dan mertua.Â
Oleh sebab itu, ketika seseorang menjadi menantu, tempatnya bukan sekadar menantu, tetapi sudah menjadi anggota keluarga. Hal yang sama juga berlaku untuk posisi mertua.Â
Akibatnya jelas yang mana dia mendapat tempat untuk didengar dan juga posisi untuk dihargai laiknya sebagai anggota keluarga.Â
Kedua, Tahu Batas
Walaupun mertua dan menantu membangun relasi keluarga, yang pasti ada batas yang perlu diketahui, dihargai, dan dipertimbangkan. Batas itu soal urusan domestik antara kedua belah pihak.Â
Dalam mana, saat anak sudah menikah, posisinya sudah membangun sebuah keluarga yang berbeda dari orangtua. Keluarga si anak dan menantunya perlu diperhatikan, tetapi tak boleh dicampuri terlalu jauh.Â
Perlu tahu batas di mana mertua bisa masuk dan terlibat dalam urusan domestik dari si anak dan menantunya.Â
Persoalan muncul ketika mertua atau juga menantu tak tahu batas dalam berelasi dan menempatkan diri.Â
Misalnya, orangtua yang mengatur pendidikan anak dari cucu mereka. Bahkan, gegara pendidikan cucu mereka, mereka seperti menyetir si anak dan menantu untuk mengikuti keinginan mereka.Â
Gaya seperti itu menjadi salah satu contoh di mana mertua terlalu ikut campur urusan menantu dan si anak atau tak tahu batas dalam berelasi dengan rumah tangga anak dan mertua.Â
Atau juga, mertua yang begitu mengatur pekerjaan menantu. Padahal, menantu mempunyai minat tersendiri, tetapi mertua cenderung untuk memaksakan apa yang diinginkannya berlaku untuk menantu.
Untuk itu, kedua belah pihak juga perlu tahu batas di mana ada hal-hal yang tak boleh sekadarnya dimasuki dan dicampuri. Dengan kata lain, baik mertua maupun menantu perlu memiliki sikap saling menghargai dan menghormati antara satu sama lain.Â
Ketiga, Ekspetasi yang Perlu Realistis
Tak masalah saat mertua mempunyai ekspetasi yang besar untuk anak dan mertuanya. Namun, ekspetasi itu tak boleh berlebihan, apalagi membebankan menantu.Â
Kadang kala, mertua memiliki ekspetasi tertentu untuk menantunya. Misalnya, ekspetasi dari kategori fisik tertentu dan pekerjaan si (calon) menantu.Â
Seyogianya, mertua perlu realistis. Seorang menantu adalah pilihan anak dan bukan pilihan orangtua.Â
Konsekuensinya, ekspetasi orangtua/mertua tak berlaku sama sekali lantaran pilihan anak selalu berbeda dengan apa yang diharapkan oleh anak.Â
Oleh sebab itu, mertua tak boleh memiliki ekspetasi yang terlalu tinggi, tetapi perlu memiliki ekspetasi yang realistis dengan pilihan pendamping hidup anak atau mertua yang dimiliki.Â
Pilihan dari anak kerap berbeda dari selera dan pandangan orangtua, dan karenanya orangtua harus menerima kenyataan yang yang terjadi sembari menguburkan ekspetasi yang terlalu tinggi untuk (calon) mertua.Â
Relasi yang harmonis antara mertua dan menantu bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Hal itu bisa tercapai apabila kedua belah pihak tahu menempatkan diri dan juga bisa mengontrol segala padangan dan pikiran yang bisa merendahkan.Â
Salam Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H