Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Agar Pangan Lokal Tidak Terancam dari Menu Keluarga

19 Oktober 2023   07:50 Diperbarui: 22 Oktober 2023   02:21 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis pangan menjadi topik yang disoroti beberapa hari terakhir. Persoalan perubahan iklim yang ikut mempengaruhi masa bercocok tanam hingga berdampak pada kualitas hasil panen adalah realitas yang bisa menghadirkan krisis pangan.

Situasi ini, paling tidak menurut observasi pribadi, sudah mulai pelan-pelan terasa di rumah saya. Beberapa kali, adik saya mengeluh lantaran harga beras makin naik. Selain itu, kebanyakan beras yang dijual juga berasal dari luar daerah kami.

Situasi itu cukup menantang apabila harga beras naik atau juga persediannya berkurang. Mau tidak mau, perlu beralih pada pilihan lain agar anggaran keluarga tidak membengkak dan roda kehidupan keluarga tetap berjalan.

Misalnya, mengonsumsi pangan lokal seperti jagung, ubi atau pun pisang. Lebih jauh, memanfaatkan lahan kosong sebagai tempat untuk menanam pangan lokal.

Di tempat saya, Manggarai, Flores, ubi, jagung, dan pisang menjadi makanan yang gampang dijumpai. Konon sebelum beras familiar seperti saat ini, ubi, pisang, dan jagung jadi makanan pokok dan harian masyarakat. 

Tantangannya sekarang adalah bagaimana agar pangan lokal itu menjadi bagian penting dari kehidupan keluarga. Ternyata perealisasian hal itu tidak gampang karena derasnya bahan makanan dari luar yang dijual dalam bentuk kemasan atau pun diolah tetapi sebagian besar bahannya dari luar daerah kami.

Saya ambil contoh dengan memperhatikan tingkah laku kedua keponakan saya. Kebetulan di samping rumah kami, ada kebun kecil. 

Lalu, orangtua kami menanam beberapa jenis ubi. Kalau musim hujan tiba, orangtua akan menanaminya dengan jagung dan sayur-sayuran.

Kadangkala untuk menemani minum sore, ibu akan memasak ubi kayu atau ubi tatas. Namun, kedua keponakan saya tidak begitu tertarik atau berminat untuk makan ubi. Malahan, ketika ditawarkan, mereka menolaknya dan menilainya tidak enak.

Berbeda kalau yang disiapkan itu gorengan dan kue kemasan yang dibeli di kios atau di toko. Mereka begitu semangat untuk mengonsumsi itu daripada makan ubi.

Artinya, untuk generasi saat ini, tidak gampang untuk membiasakan makan pangan lokal. Efek lanjutnya adalah pada bagaimana makanan lokal menjadi alternatif di tengah krisis pangan dan juga menjaga kesehatan anggaran keluarga.

Pasalnya, saat sekarang ada kecenderungan untuk membeli makanan dari luar dan mengesampingkan pangan lokal. Padahal, kalau direnungkan jika kita mengonsumsi pangan lokal, kita bisa menghemat dari sisi keuangan dan tak bergantung pada makanan dari luar.

Oleh sebab itu, di tengah isu ancaman krisis pangan, keluarga perlu menjadi garda pertama dalam menyikapi situasi ini. Paling tidak, beberapa hal yang bisa dilakukan.

Pertama, Memperkenalkan Pangan Lokal kepada anak.

Pernah suatu kali, ibu saya menyajikan ubi talas atau dalam bahasa kami, Manggarai, "Tete Teko." Keponakan saya yang mau menginjak usia enam tahun agaknya penasaran. Barangkali baginya, jenis ubi itu hanya satu yakni singkong saja. Tanpa ragu, dia bertanya ke ibu saya tentang ubi itu.

Dengan agak terkejut, dia mendengar jawaban kalau ubi talas juga adalah ubi. Pertanyaan keponakan saya itu muncul karena ubinya disajikan dan dilihat secara langsung. Kalau tidak pernah disajikan, barangkali keponakan saya bertanya atau mengetahui ubi jenis lain daripada singkong.

Untuk itu, perlu orangtua menyajikan pangan lokal di keluarga dengan mengganti makanan olahan. Tujuannya agar anak menjadi familiar dengan pangan lokal.

Kedua, Perlu Pembiasaan untuk Mengonsumsi Pangan Lokal. 

Pada titik tertentu, orangtua tak boleh selalu mengiakan semua keinginan anak. Apalagi, keinginan itu berdampak pada kesehatan anak atau juga cenderung memaksakan anggaran keluarga.

Membeli makanan olahan dan kemasan cenderung lebih mahal daripada pangan lokal. Jika ada kebun atau pun halaman, tempatnya dijadikan pekarangan untuk menanam pangan lokal.

Selanjutnya, pangan lokal mesti selalu disajikan di rumah. Kebiasaan orangtua akan selalu dilihat oleh anak-anak. Bukan tak mungkin, kebiasaan orangtua itu akan diikuti oleh anak-anak.

Masalahnya, ketika orangtua yang tak terbiasa mengonsumsi pangan lokal dan lebih memilih makanan olahan. Situasi ini tentu saja tak akan bisa menciptakan iklim untuk mengonsumsi pangan lokal di keluarga.

Ketiga, Keluarga tak boleh gengsi menyajikan dan mengonsumsi pangan lokal.

Masih kuat mentalitas bahwa mengonsumsi pangan lokal hanya untuk kalangan bawah. Sebaliknya, ketika menyajikan dan mengonsumsi makanan olahan dan kemasan, untuk yang beruang dan kalangan atas.

Pernah sewaktu arisan di tetangga kami, pihak keluarga yang menyajikan ubi untuk yang ikut arisan. Kebetulan ada anak kecil di rumah itu. Dalam konsep seorang anak kecil, ketika ada arisan, makanan yang disajikan adalah makanan olahan seperti kue.

Dia begitu terkejut bercampur kecewa karena dia hanya melihat ubi yang disajikan dan bukan kue. Bahkan, dia agak mempertanyakan jenis arisan yang hanya makan ubi daripada kue.

Reaksi anak kecil itu bisa membahasakan bahwa pangan lokal seperti ubi mendapat tempat kedua daripada makanan olahan. Dengan ini pula, ada gengsi ketika hanya menyajikan pangan lokal daripada makanan olahan.

Gengsi ini harus diruntuhkan. Caranya dengan membiasakan menikmati pangan lokal di keluarga. Tentu saja, kebiasaan itu dibarengi dengan edukasi tentang pentingnya pangan lokal daripada makanan kemasan.

Tantangan untuk menjadikan pangan lokal sebagai bagian dari kehidupan keluarga tidaklah gampang. Banjir makanan lokal begitu deras sehingga pangan lokal seperti tersisihkan.

Sebenarnya, di tengah arus deras makanan olahan dari luar atau juga makanan kemasan, keluarga seyogianya menjadi agen pertama untuk membiasakan konsumsi makanan lokal.

Terlebih lagi jika konsumsi makanan olahan lebih banyak membawa efek kerugian pada sisi kesehatan anak. Lebih baik mengonsumsi pangan lokal, yang mana berharga murah dan gampang diperoleh daripada mengonsumsi makanan olahan dan kemasan tetapi merugikan kesehatan dan menguras anggaran keluarga.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun