Masih kuat mentalitas bahwa mengonsumsi pangan lokal hanya untuk kalangan bawah. Sebaliknya, ketika menyajikan dan mengonsumsi makanan olahan dan kemasan, untuk yang beruang dan kalangan atas.
Pernah sewaktu arisan di tetangga kami, pihak keluarga yang menyajikan ubi untuk yang ikut arisan. Kebetulan ada anak kecil di rumah itu. Dalam konsep seorang anak kecil, ketika ada arisan, makanan yang disajikan adalah makanan olahan seperti kue.
Dia begitu terkejut bercampur kecewa karena dia hanya melihat ubi yang disajikan dan bukan kue. Bahkan, dia agak mempertanyakan jenis arisan yang hanya makan ubi daripada kue.
Reaksi anak kecil itu bisa membahasakan bahwa pangan lokal seperti ubi mendapat tempat kedua daripada makanan olahan. Dengan ini pula, ada gengsi ketika hanya menyajikan pangan lokal daripada makanan olahan.
Gengsi ini harus diruntuhkan. Caranya dengan membiasakan menikmati pangan lokal di keluarga. Tentu saja, kebiasaan itu dibarengi dengan edukasi tentang pentingnya pangan lokal daripada makanan kemasan.
Tantangan untuk menjadikan pangan lokal sebagai bagian dari kehidupan keluarga tidaklah gampang. Banjir makanan lokal begitu deras sehingga pangan lokal seperti tersisihkan.
Sebenarnya, di tengah arus deras makanan olahan dari luar atau juga makanan kemasan, keluarga seyogianya menjadi agen pertama untuk membiasakan konsumsi makanan lokal.
Terlebih lagi jika konsumsi makanan olahan lebih banyak membawa efek kerugian pada sisi kesehatan anak. Lebih baik mengonsumsi pangan lokal, yang mana berharga murah dan gampang diperoleh daripada mengonsumsi makanan olahan dan kemasan tetapi merugikan kesehatan dan menguras anggaran keluarga.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H