Memang, pada satu sisi sangat sulit untuk menunggu dalam ketakpastian. Terlebih lagi pihak jasa penerbangan tak memberikan kompensasi tertentu seperti menyediakan air minum atau juga makanan.
Di sisi lain, situasi itu secara tak langsung menguji kekuatan mental dan emosional kita.
Lantas, saya pribadi teringat salah isi dari buku dari Jay Shetty yang berjudul Think Like a Monk: Train your mind for peace and purpose every day.
Salah satu benang merah dari buku ini adalah membedah cara hidup kaum biksu atau biarawan yang tinggal di biara. Ulasannya cukup menarik dan bernilai lantaran Jay Shetty mendasari pemikirannya dari pengalaman tinggal di biara seperti biksu.
Tiga yang patut dihindari dari cara hidup di monasteri adalah tak boleh mengeritik, tak boleh komplain dan tak boleh membandingkan hidup dengan orang lain.Â
Dalam salah satu diskusi di buku ini, Jay Shetty menyatakan bahwa ketidakdamaian hati kerap terjadi karena komplain dengan situasi yang sementara dialami. Menurutnya, alih-alih berkomplain, lebih baik kita mencari cara agar berdamai dengan situasi dan keadaan.
Apalagi, komplain itu tak menyelesaikan masalah dan hanya menghadirkan kekecewaan dan sakit hati. Untuk itu, kita kontrol diri untuk tak komplain dengan mencari cara-cara positif guna berdamai dengan situasi.
Bertolak dari ide Shetty itu, saya coba mencari cara berdamai dengan situasi sementara menunggu di bandara gegara penerbangan yang ditunda.Â
Tujuannya agar saya coba menilai waktu menunggu bukan sebagai beban batin tetapi tetap sebagai kesempatan emas.
Hampir dua jam menunggu dalam ketakpastian, yang saya lakukan, pertama, membaca bahan tertentu yang akan saya manfaatkan pada beberapa hari ke depan.Â
Saya juga berupaya merenungkan dan mengolah bahan yang dibaca agar bisa menjadi produk yang kelak siap dipresentasikan.