Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebabnya Terjebak pada Perjokian Ilmiah dan Solusinya

17 Februari 2023   06:56 Diperbarui: 17 Februari 2023   07:11 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca karya ilmiah. Foto: freepik.com via Kompas.com

Dunia pendidikan di tanah air tercoreng dengan fenomena perjokian ilmiah. Fenomena ini mengarah pada upaya untuk mendapatkan gelar akademis, menghasilkan karya ilmiah, atau pun mencapai target akademis tanpa usaha kuat dan mengikuti proses yang semestinya. 

Lebih pada jalur instan dan gampang tanpa melibatkan kerja keras dan ketekunan dari pelaku pendidikan demi mendapatkan gelar atau pun melewati proses pendidikan. 

Tentu saja, perjokian ilmiah lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kualitas proses pendidikan tak hanya tercoreng, tetapi juga berada pada titik terendah lantaran tak dihargai atau pun tak dipandang sebagai bagian yang esensial dalam memanusiakan manusia. 

Padahal, dalam dunia pendidikan, proses sangatlah penting. Proses itu melibatkan sistem kerja dari institusi hingga kerja keras dan ketekunan dari pelaku pendidikan, dalam hal ini guru dan peserta didik. 

Ketika peserta didik dan dosen lebih memilih jalan singkat, misalnya lewat jasa joki ilmiah, untuk mendapatkan hasil, proses pendidikan pun tak dihargai, sistem kerja lembaga pendidikan patut dievaluasi, dan outcome  serta kualitas dari peserta didik pun patut dipertanyakan.

Untuk itu,  kita perlu melawan fenomena perjokian ilmiah. Ini adalah ancaman dunia pendidikan. 

Hemat saya, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang terjebak pada perjokian ilmiah. Sebab-sebab ini bisa menjadi landasan untuk mencari jalan keluar dari fenomena perjokian ilmiah. 

 

Pertama, Iklim sosial dan budaya yang terlalu mengagungkan gelar daripada kompetensi. 

Gelar dari bangku pendidikan menjadi keistimewaan tersendiri. Tak masalah apabila gelar itu diraih lewat perjuangan dan kerja keras. 

Hal yang patut disoroti dan dievaluasi adalah apakah perjuangan dan kerja keras itu berjalan lurus dengan kompetensi dan keahlihan tertentu. Sekiranya, setelah melewati proses penddikan tertentu, ada kompetensi yang tercapai dan bukannya gelar di atas kertas semata. 

Akan tetapi, konteks sosial dan budaya kerap kali menuntut gelar daripada menimbang kompetensi yang tercapai. Gelar diagungkan, dan keahlihan tak begitu dipertimbangkan. 

Semakin tinggi gelar seseorang, makin besar rasa hormat dan tinggi sanjungan yang diperoleh. Yang bersangkutan pun ditempatkan pada level tertinggi dalam kehidupan sosial gegara gelar yang diperoleh. 

Padahal, gelar yang tak tercapai belum tentu sepenuhnya membahasakan kompetensi. Oleh sebab itu, kita perlu menekankan kompetensi dan keahlihan yang tercapai di bangku pendidikan daripada gelar semata. 

Toh, fakta kadang membuktikan bahwa yang tak bergelar tinggi tampil lebih meyakinkan di dunia kerja daripada yang mempunyai banyak gelar. 

Untuk itu, tak boleh mengagungkan gelar semata, tetapi berupaya untuk melihat tiap individu berdasarkan pada keahlihan dan kompetensi yang tercapai selama masa pendidikan. 

   

Kedua, Kemalasan melakukan riset secara pribadi.

Selama menjadi peserta didik, riset secara pribadi merupakan bagian yang sangat penting. Kemalasan dalam melakukan riset kerap berbuah pada hasil kerja yang dangkal, tak menukik pada inti pelajaran yang ditekuni, dan tak betah untuk mempelajari sesuatu. 

Ya, kemalasan melakukan riset bisa nampak pada mentalitas mencari gampang. Ketika ada tugas, seseorang mencari bahan di internet dan tinggal meng-copy-paste bahan tersebut sebagai bagian tugasnya. 

Atau juga, kemalasan melakukan riset secara pribadi berdampak ketika meminta orang lain untuk mengerjakan tugas sekolah daripada berusaha sendiri. 

Mentalitas melakukan riset secara pribadi sangatlah penting dalam membangun budaya ilmiah. Riset itu bisa dilakukan dengan pelbagai macam cara, seperti rutin membaca buku yang bersentuhan dengan bidang yang ditekuni dan menuliskannya dalam rupa opini.

Juga, riset itu berupa mengamati lingkungan sosial dan membedah realitas berdasarkan ilmu yang diperoleh di ruang kelas. Pendek kata, pelbagai macam wadah yang bisa dijadikan bahan riset.   

Sewaktu masih berada di bangku kuliah, saya sangat menyukai para dosen yang memberikan materi ujian dalam bentuk makalah daripada ujian tertulis di ruang kelas. 

Ditambah lagi dalam ujian makalah itu, dosen meminta mahasiswa untuk tak melibatkan sumber dari internet,membatasi sumber makalah dari koran dan majalah, dan memberikan standar minimal dari buku yang menjadi referensi yang dikupas dalam makalah.

Bahkan ada dosen yang meminta mahasiswa untuk mengambil sumber berbahasa Inggris.  

Tugas seperti itu, pada satu sisi, mendorong mahasiswa untuk melakukan riset di perpustakaan. Mau tak mau, karena tuntutan pustaka dari dosen, maka mahasiswa berupaya mencari buku dan menyelaminya. 

Di sisi lain, hal itu secara tak langsung membangun karakter. Apabila dilakukan secara terus menerus dalam jenjang bangku kuliah, hal itu pun bisa membangun karakter mahasiswa setelah tamat kuliah, misalnya karakter tekun dan pekerja keras untuk melakukan riset secara pribadi. 

Hemat saya, setelah empat atau lima tahun berada di bangku kuliah dengan mentalitas melakukan riset secara pribadi, peserta didik tak akan kesulitan ketika dimintai tugas yang sama. 

Ketiga, Terlalu mengedepankan hasil akhir daripada proses. 

Bukan rahasia lagi jika proses pendidikan kita masih mengedepankan hasil. Terbukti, sewaktu penerimaan rapor di akhir semester. 

Orangtua lebih melihat rangking anak di sekolah dan nilai yang diperoleh daripada apa isi kepala anak dan perilaku yang terbentuk selama proses pendidikan. 

Pandangan seperti ini kadang memunculkan gaya belajar saat menunggu waktu ujian. Kalau tak ada ujian, belajar pun dikesampingkan. 

Saya masih ingat salah satu istilah di saat kuliah, istilah sistem kebut semalam. Istilah ini dipakai untuk mereka yang mengerjakan tugas kuliah atau pun belajar untuk ujian semalam sebelum hari H dari pengumpulan tugas atau pun ujian. Karenanya, seseorang harus mengunci diri kamar seharian dan bahkan belajar sampai dini hari. 

Gaya ini terbentuk karena lebih memikirkan hasil daripada proses. Efek sampingnya, setelah selesai ujian, tak banyak bahan yang diingat dan tugas kuliah tak begitu berdampak pada kehidupan harian.   

Seharusnya, proses harus dikedepankan daripada memikirkan hasil semata. Prinsipnya, ketika proses diikuti dengan tekun dan disertai dengan kerja keras, hasil terbaik pun akan mengikutinya. Dengan kata lain, hasil akan tercapai apabila proses belajar terjadi dalam waktu yang panjang dan sudah mengakar dari keseharian peserta didik.  

Perjokian ilmiah bisa diatasi apabila kita mengevaluasi proses pendidikan kita.Kita seharusnya mengedapankan kompetensi peserta didik, menghargai proses pendidikan, serta tak terlalu mengukur nilai rapor dan gelar pendidikan sebagai takaran satu-satunya kesuksesan. 

Salam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun