Mentalitas melakukan riset secara pribadi sangatlah penting dalam membangun budaya ilmiah. Riset itu bisa dilakukan dengan pelbagai macam cara, seperti rutin membaca buku yang bersentuhan dengan bidang yang ditekuni dan menuliskannya dalam rupa opini.
Juga, riset itu berupa mengamati lingkungan sosial dan membedah realitas berdasarkan ilmu yang diperoleh di ruang kelas. Pendek kata, pelbagai macam wadah yang bisa dijadikan bahan riset. Â Â
Sewaktu masih berada di bangku kuliah, saya sangat menyukai para dosen yang memberikan materi ujian dalam bentuk makalah daripada ujian tertulis di ruang kelas.Â
Ditambah lagi dalam ujian makalah itu, dosen meminta mahasiswa untuk tak melibatkan sumber dari internet,membatasi sumber makalah dari koran dan majalah, dan memberikan standar minimal dari buku yang menjadi referensi yang dikupas dalam makalah.
Bahkan ada dosen yang meminta mahasiswa untuk mengambil sumber berbahasa Inggris. Â
Tugas seperti itu, pada satu sisi, mendorong mahasiswa untuk melakukan riset di perpustakaan. Mau tak mau, karena tuntutan pustaka dari dosen, maka mahasiswa berupaya mencari buku dan menyelaminya.Â
Di sisi lain, hal itu secara tak langsung membangun karakter. Apabila dilakukan secara terus menerus dalam jenjang bangku kuliah, hal itu pun bisa membangun karakter mahasiswa setelah tamat kuliah, misalnya karakter tekun dan pekerja keras untuk melakukan riset secara pribadi.Â
Hemat saya, setelah empat atau lima tahun berada di bangku kuliah dengan mentalitas melakukan riset secara pribadi, peserta didik tak akan kesulitan ketika dimintai tugas yang sama.Â
Ketiga, Terlalu mengedepankan hasil akhir daripada proses.Â
Bukan rahasia lagi jika proses pendidikan kita masih mengedepankan hasil. Terbukti, sewaktu penerimaan rapor di akhir semester.Â
Orangtua lebih melihat rangking anak di sekolah dan nilai yang diperoleh daripada apa isi kepala anak dan perilaku yang terbentuk selama proses pendidikan.Â