Piala Dunia 2022 di Qatar  yang akan dimulai 20 November hingga 18 Desember 2022 mendatang akan menjadi hiburan yang menarik pecinta sepak bola. Perhelatan sepak bola akbar yang berlangsun 4 tahun sekali ini menghadirkan 32 tim dan menyuguhkan 384 laga.Â
Pelbagai prediksi tentang tim mana yang keluar sebagai juara sudah mulai beredar. Beberapa tim sudah memastikan nama-nama pemain yang akan dibawa ke Qatar. Atribut yang bernuansa piala dunia gegap gempita di pelbagai media.Â
Di balik euforia itu, perhelatan piala dunia di Qatar tak luput dari kritikan. Kritikan bukan menyangkut prihal jadwal yang agak berbeda dari piala dunia sebelumnya, tetapi lebih pada kondisi dan kapasitas Qatar sebagai tuan rumah.
Melansir berita dari BBC Sport. (6/11/22), banyak kritik yang dilontarkan ke Qatar sebagai tuan rumah. Alasan di balik kritik-kritik itu soal pandangan dan perlakuan negara Qatar tentang LGBT, relasi hubungan sejenis, kasus hak asasi manusia, dan perlakuan pada pekerja migran.Â
Bahkan dugaan muncul bahwa pembangunan stadion-stadion yang disiapkan untuk perhelatan piala dunia telah menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam mana, para pekerja yang umumnya merupakan migran diperlakukan tak manusiawi.
Melansir berita dari BBC. com (25/8/22), tercatat 30 ribu pekerja asing yang dipakai untuk pembangunan 7 stadion baru untuk Piala Dunia, ratusan hotel, jalan, dan fasilitas publik lainnya.Â
Pemanfaatan tenaga kerja asing ini tak sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Tak sedikit pekerja yang meninggal dunia.Â
Melansir berita dari the Guardian. com (23/2/21) tercatat ada 6500 pekerja asing yang dinyatakan menjadi korban. Sebab umumnya karena tak ada pembatasan waktu kerja yang sesuai standar, melakukan pekerjaan di bawah suhu udara yang panas, dan fasilitas penginapan para pekerja.Â
Pemerintah Qatar menolak hal itu, dan menilai bahwa apa yang tersampaikan sebagai informasi yang tak benar.Â
Sebagaimana yang disampaikan oleh menteri luar negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al Tahin ke Sky News (7/11/22), Â menilai bahwa kritik pada Qatar sebagai tuan rumah terlihat arogan dan terlihat tak menerima negara kecil seperti Qatar menjadi tuan rumah piala dunia. Â
Badan sepak bola dunia FIFA pun meminta setiap tim yang terlibat dalam turnamen yang berlangsung dalam 4 tahun sekali ini untuk fokus pada sepak bola, daripada peduli pada hal-hal yang bernuansa ideologis.Â
Tak terlepas dari krtik itu, secara mengejutkan mantan presiden FIFA, sebagaimana yang disampaikan dalam wawancaranya dengan surak kabar asal Swiss Tages Anzeiger menyatakan bahwa pilihan pada Qatar sebagai tuan rumah piala dunia merupakan sebuah kekeliruan.
Bahkan Blater menilai bahwa sepak bola dan piala dunia terlalu besar untuk negara seperti Qatar.Â
Pernyataan Blater lebih bernada penyesalan atas apa yang telah terjadi. Rencana awalnya adalah menunjuk Amerika Serikat sebagai tuan rumah setelah Rusia. Tujuannya untuk menunjukkan komitmen FIFA pada perdamaian dunia. Â
Akan tetapi, pilihan berubah. Hal itu terjadi lebih karena faktor politik, yang mana perubahan pilihan berubah karena campur tangan Nicolas Sarkozy yang saat itu menjabat sebagai presiden Prancis dan mempunyai koneksi kuat dengan Qatar.Â
Faktor politik itu turut mempengaruhi Michael Platini, yang waktu itu berstatuskan sebagai presiden badan sepak bola Eropa, UEFA. Pengaruh Platini dan timnya di UEFA ikut mempengaruhi jumlah suara dalam pemilihan di tahun 2010 tentang tempat berlangsungnya piala dunia. Saat itu, Qatar unggul 14-8 atas Amerika Serikat.Â
Menariknya, Blater yang berkuasa selama 17 tahun sebagai presiden FIFA dipaksa turun dari kursi presiden atas tuduhan transfer sejumlah uang ke Platini.Â
Kedua sosok penting di dunia sepak bola itu pun diminta untuk turun dari jabatan yang mereka, dan bahkan mendapat sanksi tak terlibat dalam dunia sepak bola untuk jangka waktu tertentu.Â
Pengakuan Blatter sangat mengejutkan dan kadang sudah menjadi rahasia umum. Pengakuan itu memperjelas bahwa intrik politik dan kekuatan uang kerap turut campur dalam dunia sepak bola.
Pelajarannya dari situasi Qatar dan pengakuan Blater sangatlah penting untuk dunia sepak bola. Popularitas sepak bola sekiranya tak ternoda gegara realitas yang terjadi, atau pun pelbagai protes yang meliputi Qatar sebagai tuan rumah.
Aspek kompetesi dan sportivitas tetap dinomorsatukan. Persaingan sehat setiap tim harus mendapat tempat terdepan. Hal ini menjadi salah satu cara agar pelbagai noda negatif yang meliputi perhelatan piala dunia tak memperkeruh susasan.Â
Sebaliknya, kompetesi yang akan berlangsung selama sebulan ini malah menjadi hiburan yang benar-benar bebas dari motif politik dan ekonomi. Bahkan hiburan olahraga itu menghapus kesan negatif yang dilontarkan oleh Blater. Â
Sama halnya kritik yang mengitari Qatar sebagai tuan rumah. Kritik yang dilontarkan pada Piala Dunia 2022 menjadi tantangan serius untuk Qatar.
Tantangannya supaya bisa menjadi tuan rumah yang bisa memberikan kenyamanan untuk siapa saja yang datang ke negara Timur Tengah tersebut. Diskriminasi dan perlakuan negatif yang bernuansa SARA perlu dihindari agar tak mempertegas pelbagai kritik.Â
Qatar mempunyai tanggung jawab besar sebagai tuan rumah. Keberhasilan dalam menjadi tuan rumah bisa menetralisir kritik dan pelbagai isu negatif yang mengitari Piala Dunia Qatar 2022.Â
Keberhasilan Qatar menjadi tuan rumah piala dunia 2022 akan menjawabi para pengritik, termasuk pernyataan Qatar yang menilai bahwa Piala Dunia lebih besar daripada negara sekecil Qatar.Â
Salam Bola
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H