Ujung-ujungnya, menjadi pribadi yang suka menyendiri, enggan bergaul dengan sesama, dan tak mau tampil di depan umum. Bentuk-bentuk hilangnya kepercayaan diri ini terjadi karena pengalaman traumatis dimarahi di depan umum.
Jadi, perlu jauhi kecenderungan untuk memarahi anak di depan umum. Efeknya bisa melemahkan dan meruntuhkan kepercayaan anak untuk berada di depan umum.
Kedua, Anak Menjadi Ragu Berbuat Sesuatu Karena Takut Salah dan Dimarahi
Melakukan kesalahan merupakan resiko dari berbuat sesuatu. Menjadi masalah apabila kita dinaungi oleh perasaan perfeksionis.
Perasaan perfeksionis itu muncul lewat sikap tak mau ada kesalahan yang terjadi. Ketika terjadi kesalahan, ada kekecewaan di dalam diri yang luar biasa.
Namun, tak jarang terjadi jika melakukan kesalahan merupakan bagian yang tak bisa dihindari dari usaha melakukan sesuatu. Tak sedikit yang menilai bahwa hal itu merupakan bagian dari proses belajar. Kesalahan menjadi medium pembelajaran agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama.
Namun, ketika ada kemarahan yang menghantui seorang anak, ada kecenderungan menjadi ragu untuk melakukan sesuatu. Keraguan ini dibayangi oleh takut melakukan kesalahan. Pasalnya, melakukan kesalahan akan berujung pada kemarahan dari orangtua.
Tak masalah, orangtua menasihati anak atas kesalahan yang terjadi, sembari mendukung anak untuk terus memperbaiki kesalahannya. Persoalannya, ketika orangtua memarahi anak atas kesalahannya itu di depan orang lain.
Misalnya, kemarahan itu diluapkan di depan tetangga. Tentunya, anak akan menjadi malu. Dampak lanjutnya ketika anak dihadapakan dengan tugas yang sama. Pastinya, dia enggan melakukannya karena dia takut melakukan kesalahan dan takut mendapat kemarahan yang sama.
Maka dari itu, mendukung anak untuk melakukan sesuatu walaupun dia melakukan kesalahan sangat perlu dilakukan. Kesalahan dibenarkan dengan nasihat atau pun contoh hidup orangtua dalam memperbaiki kesalahan yang terjadi.
Ketiga, Anak Mengalami Luka Batin