Mentalitas kita terbentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu. Pengalaman-pengalaman itu bermula sejak kita berusia anak-anak.
Apa yang kita rekam, resapi, dan alami semenjak usia dinih bisa menjadi motor yang membentuk dan menggerakan kepribadian kita di kemudian hari.
Tak ayal, pendidikan seorang anak sangatlah signifikan dan kompleks. Banyak hal yang perlu dilakukan dan sekaligus dihindari agar kelak tak bisa merusak perkembangan mental anak.
Salah satu hal yang perlu dihindari adalah menegur, terlebih lagi memarahi anak di depan umum. Umumnya, kemarahan bisa berujung pada sakit hati. Apalagi kalau hal itu disampaikan di depan umum. Dampaknya pasti lebih besar.
Makanya, selalu diingatkan untuk menegur atau pun memarahi secara empat mata. Selain tidak membuat orang yang ditegur menjadi malu, juga agar menjadi kondisi batin dari yang mendapat teguran.
Pendeknya, tak boleh menegur dan memarahi seseorang anak di hadapan orang lain. Beberapa efek yang bisa terjadi apabila memarahi anak di depan umum. Â
Pertama, Melemahkan Kepercayaan Diri Anak
Kepercayaan diri bisa terbangun lewat pemberian apresiasi secara positif. Apabila seorang anak melakukan sebuah pekerjaan tertentu dan menghasilkan buah kerja tertentu, hal yang bisa dibuat oleh orangtua adalah memberikan apresiasi.
Pemberian apresiasi itu bisa menjadi motor yang bisa mendongkrak semangat anak untuk melakukan atau pun melampaui apa yang telah dibuatnya.
Sebaliknya, memarahi anak apalagi di depan umum bisa menumbuhkan rasa rendah diri. Hilang kepercayaan diri. Tak mau tampil di depan umum karena bayang-bayang kemarahan yang telah dialaminya.
Ujung-ujungnya, menjadi pribadi yang suka menyendiri, enggan bergaul dengan sesama, dan tak mau tampil di depan umum. Bentuk-bentuk hilangnya kepercayaan diri ini terjadi karena pengalaman traumatis dimarahi di depan umum.
Jadi, perlu jauhi kecenderungan untuk memarahi anak di depan umum. Efeknya bisa melemahkan dan meruntuhkan kepercayaan anak untuk berada di depan umum.
Kedua, Anak Menjadi Ragu Berbuat Sesuatu Karena Takut Salah dan Dimarahi
Melakukan kesalahan merupakan resiko dari berbuat sesuatu. Menjadi masalah apabila kita dinaungi oleh perasaan perfeksionis.
Perasaan perfeksionis itu muncul lewat sikap tak mau ada kesalahan yang terjadi. Ketika terjadi kesalahan, ada kekecewaan di dalam diri yang luar biasa.
Namun, tak jarang terjadi jika melakukan kesalahan merupakan bagian yang tak bisa dihindari dari usaha melakukan sesuatu. Tak sedikit yang menilai bahwa hal itu merupakan bagian dari proses belajar. Kesalahan menjadi medium pembelajaran agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama.
Namun, ketika ada kemarahan yang menghantui seorang anak, ada kecenderungan menjadi ragu untuk melakukan sesuatu. Keraguan ini dibayangi oleh takut melakukan kesalahan. Pasalnya, melakukan kesalahan akan berujung pada kemarahan dari orangtua.
Tak masalah, orangtua menasihati anak atas kesalahan yang terjadi, sembari mendukung anak untuk terus memperbaiki kesalahannya. Persoalannya, ketika orangtua memarahi anak atas kesalahannya itu di depan orang lain.
Misalnya, kemarahan itu diluapkan di depan tetangga. Tentunya, anak akan menjadi malu. Dampak lanjutnya ketika anak dihadapakan dengan tugas yang sama. Pastinya, dia enggan melakukannya karena dia takut melakukan kesalahan dan takut mendapat kemarahan yang sama.
Maka dari itu, mendukung anak untuk melakukan sesuatu walaupun dia melakukan kesalahan sangat perlu dilakukan. Kesalahan dibenarkan dengan nasihat atau pun contoh hidup orangtua dalam memperbaiki kesalahan yang terjadi.
Ketiga, Anak Mengalami Luka Batin
Luka batin terjadi karena pengalaman-pengalaman menyakitkan dari masa lalu. Salah satu pengalaman itu berupa dimarahi di depan umum.
Saya pernah mempunyai luka batin sewaktu masih kelas 1 SMP. Bukan dengan orangtua, tetapi dengan guru. Gara-gara keributan yang terjadi di kelas. Bukannya teman yang menyebabkan keributan yang dipanggil, tetapi saya yang berlaku sebagai ketua kelas.
Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat ke pipi. Sempat mengeluarkan air mata. Bukan rasa sakit yang membuat batin terluka, tetapi peristiwa itu terjadi di depan teman-teman yang lain.
Karena peristiwa itu, saya sulit menjadi sulit memaafkan guru itu. Luka batin mengusai pikiran hingga kadang merasa sakit hati membayangkan wajah dari guru tersebut.
Sama halnya, ketika orangtua memarahi seorang anak di depan anak. Barangkali tujuannya untuk membetulkan masalah yang terjadi. Persoalannya, jika kemarahan itu tidak menyelesaikan masalah sama sekali, tetapi hanya menghadirkan luka batin bagi anak.
Jadi, perlu hindari diri dalam meluapkan kemarahan di depan umum. Kontrol diri atau juga mencari tempat dan waktu yang tepat untuk meluapkan kemarahan. Tujuannya, bukan saja menyelesaikan masalah, tetapi menjaga batin anak dari efek negatif.
Pendidikan anak membutuhkan kehati-hatian. Salah satunya adalah upaya orangtua menghindari diri dalam meluapkan kemarahan kepada anak di depan umum. Tujuannya demi perkembangan mentalitas anak ke arah yang lebih baik.
Salam Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI