Sudah lama aku tahu tentang kelakuan suamiku. Namun, aku hanya diam. Diamku lebih karena kedua anak kami. Masih kecil. 4 dan 10 tahun.
Mereka belum mengerti tentang apa yang terjadi. Jadinya, relasi kami sebatas sebagai ayah dan ibu. Rasa suami dan istri sudah terasa hambar walau tetap tinggal serumah.
Lebih sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Karena pekerjaan pula, aku sedikitnya menghapus luka yang tertusuk di dalam hatiku. Namun, hanya sementara.
Luka itu tetap hadir. Apalagi ketika kulihat wanita itu. Seorang wanita yang berhasil masuk kehatinya.
Terlebih lagi, wanita itu tak jauh dari mataku. Teman kerjaku sendiri. Sama-sama mengabdi di sekolah yang satu dan sama.
Tak kuduga, wanita yang sudah menjadi temanku itu rela menusukku dari belakang. Makanya, setiap kali aku melihat dirinya, aku seolah ditikam oleh pengkhianatan yang sangat sulit kumaafkan.
Terlebih lagi saat kulihat suamiku dihajar di depan rumah kami. Oleh suaminya.
Tanpa peduli pada kedua anak kami, suami wanita itu memukul suamiku tanpa ampun. Beruntung ada tetangga yang berani datang menghentikan kebringasan suaminya. Kalau tidak, anak-anak kami yang tak berdosa bisa menyaksikan kisah yang bisa terekam di seluruh hidup mereka.
Namun, suaminya pergi dalam ketidakpuasan. Meninggalkan tetes-tetes kecil darah suamiku di halaman rumah dan membekaskan ancaman yang terdengar oleh anak-anak kami. Aku hanya merinding saat mendengar ancamannya.
"Urusan kita belum selesai," katanya sambil pergi menjauh dengan mobil Fortunernya.
Entah apa yang ada di pikirannya. Hingga dia terjebak pada pelukannya. Kukenal dia dengan baik. Seorang yang tidak gampang jatuh hati. Seorang yang sangat sulit jatuh pada bayang-bayang romantis.
Makanya, setelah kuketahui hubungan gelap itu, aku lebih melihat diriku. Diriku yang lebih sibuk bekerja tanpa peduli pada penampilanku. Ya, fisik wanita itu lebih menarik dari diriku yang kurang terawat.
Hanya ini yang menjadi penghiburan hatiku. Dia jatuh ke pelukan wanita itu karena diriku yang tak lagi terawat.
***
Pagi itu, kami bertiga pergi ke kota. Si sulung tidak mau ikut. Dia lebih memilih bermain dengan teman-temannya daripada pergi ke kota.
Perjalanan tak terlalu jauh. Hanya 10 menit.
Setelah menurunkan kami di depan pintu masuk mall, dia pergi memarkirkan mobilnya. Tidak juga terlalu jauh dari pintu mall. Kami masih bisa melihat dia memarkirkan mobilnya.
Di saat sementara memarkirkan mobilnya, dua orang berkendara sepeda motor, berjaket hitam, dan berhelmet tiba-tiba mendekati mobilnya. Seseorang turun dan langsung menuju bagian kiri mobil kami. Lalu, terdengar letusan hebat memecah keramaian mall. Letusan senjata api.
Seketika itu pula, orang-orang di sekitar kaget. Aku yang melihat peristiwa itu hanya berteriak sambil menyebut namanya. Tanpa peduli si bungsu, aku berlari ke mobil. Terlambat.
***
Di depan peti jenasahnya, aku membayangkan dirinya. Yang tidak terlalu romantis dan tidak gampang jatuh cinta. Kukenal dia dengan baik.
Aku yang lebih cenderung aktif mendekatinya sewaktu masih bekerja di tempat yang sama. Makanya, aku selalu heran ketika dia harus jatuh pada hubungan terlarang itu.
Dia telah pergi. Pergi dengan pelbagi cerita-cerita miring. Tentang relasi terlarangnya. Toh, relasi terlarang yang terbongkar dua bulan lalu sudah menjadi konsumsi publik. Gara-gara suami wanita itu, yang datang ke halaman rumah kami, berteriak, dan menghajarnya tanpa ampun.Â
Ya, banyak yang menduga kematiannya melekat dengan peristiwa hari itu. Darah yang membekas di depan rumah kami belum tertumpah habis. Yang tertinggal hanya dendam dan ancaman. Hingga, peristiwa di parkiran itu meneteskan darah terakhir.
"Akh, susah berspekulasi. Untuk saat ini, aku ingin hanya mau mengingat kebaikannya sebagai seorang yang pernah mencintaiku. Walaupun cintanya itu pun terjebak pada relasi terlarang."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H