Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Bertemu dengan Buah Hati Ayah dari Wanita Lain

29 Oktober 2020   19:59 Diperbarui: 29 Oktober 2020   20:13 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: Pixabay.com

Pagi itu, banyak panggilan masuk ke phoneku. Beberapa pesan juga tercatat di phoneku. Pas jam istirahat kerja. 10.00 pagi. Selama jam kerja, kami tidak diperkenankan untuk menggunakan phone.

"Pasti ada yang tidak beres," pikirku dalam hati.

Benar saja. Tertulis pesan di phoneku bahwa ayah masuk rumah sakit yang terletak di provinsi tetangga. Hanya 2 jam perjalanan dari kota, di mana keluarga kami tinggal. Kabarnya, tadi pagi ayah kena serangan jantung.  

Aku menjadi panik. Roti dan sebotol Coca Cola kulepaskan begitu saja di meja. Aku segera menuju ruang kerja manajer. Hendak minta ijin pulang ke rumah.

Aku belum tiba ruang kerja manajer, sebuah panggilan masuk ke phoneku. Dari adikku, Rivan. Dia bekerja di provinsi, di mana ayah terkena serangan jatung. Makanya, informasi tentang ayah begitu cepat diberitakan.

Aku begitu panik. "Semoga kabar baik," harapanku. Namun, sebelum aku mengatakan "hello," tangisan adikku pecah.

"Ayah sudah pergi," katanya.

Aku membisu. Tanpa berkata banyak, kumatikan panggilan itu. Langsung menuju kamar manajer dan minta ijin pulang.

Tanpa pamit kepada teman-teman sekerja, aku cepat pergi ke tempat parkir. Kulajukan motorku. Langsung meluncur ke rumah keluarga kami yang hanya berjarak sekitar 12 km.

Perjalanan pulang yang cukup berat. Pikiran melayang kepada kisah kasih tentang ayah. Seorang ayah yang bekerja lama di luar provinsi. Hanya pulang kalau mempunyai waktu libur.

Sebagai seorang polisi, ayah tidak bisa sembarangan pulang ke rumah. Tunggu waktu yang tepat. Makanya, aku dan adik-adikku begitu dekat dengan ibu.

Akan tetapi, kalau ayah pulang, kami begitu dimanjakan. Apa pun yang kami mau, ayah berusaha mengabulkannya. Tak heran, aku dan keempat adikku begitu nyaman kalau ayah pulang ke rumah. Ada sosok yang bisa memberikan kegembiraan. Paling tidak bisa mengimbangi sosok dan peran ibu selama ayah tidak ada.  

Dalam perjalanan pulang, aku juga ingat pada ibu. Beberapa bulan terakhir kondisi ibu menurun. Lemah. Pelbagai sakit menghampirinya. Dulu ibu begitu sehat. Dikenal sebagai wanita yang cukup energetik.  

Semuanya berubah cepat.Ibu sakit bukan semata karena persoalan fisik. Akan tetapi, luka batin. Pada ayah.

Setelah menikah 25 tahun, ibu baru mengetahui jika ayah ternyata mempunyai relasi dengan seorang wanita di provinsi tetangga. Ibu mengetahui itu pada saat ayah baru pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang polisi.

Entah apa yang memberanikan ayah untuk mengungkapkan aibnya, tetapi yang pasti hal itu menggoncang keluarga kami.  

Pasalnya, ayah terkenal sebagai orang baik di mata tetangga. Keluarga kami terbilang sebagai keluarga besar di desa kami. Banyak orang yang menaruh respek kepada keluarga kami.

Bahkan ayah juga termasuk sosok yang dermawan di gereja. Tanah di mana gereja berdiri merupakan donasi dari ayah. Tidak hanya tanah. Bahkan beberapa material untuk pembangunan kapela itu pun adalah sumbangan ayah.

Barangkali ayah berani mengatakan tentang aibnya karena buah hatinya dari hasil hubungan gelapnya itu. Dia tidak menelantarkan buah hatinya. Bukan karena wanita itu, tetapi demi buah hati yang terlahir dari hubungan gelapnya.

"Akh ayah. Lakumu membuat aku bingung. Sisi gelapmu membuatku sulit memaafkan wanita yang telah menekuk hatimu dan membuat ibu menderita saat ini."

***

Dua jam kami menanti kedatangan jenasah ayah. Dari jauh terdengar bunyi sirene ambulan. Beberapa orang berkumpul di pinggir rumah kami. Tidak sedikit.

Aku tahu mereka berada di depan rumah kami karena mereka mengenal ayah adalah orang baik. Walaupun kisah hubungan gelapnya sudah tersebar dari mulut ke mulut. Sepertinya, mereka tidak mau peduli.  

Mobil ambulan perlahan masuk ke halaman rumah kami. Peti  jenasah ayah dikeluarkan.

Pandangan mataku tertuju pada seorang bocah. Sedang memegang foto ayah yang berseragamkan dinas kepolisian. Rivan tidak melepaskan bahu bocah itu.  

"Siapa anak kecil itu?," tanyaku dalam sedih.

Adikku yang bekerja di luar provinsi berusaha membimbing anak itu. Mengambil foto ayah dan ditempatkan di atas peti jenasah ayah.  

Lalu, adikku memeluk anak itu dari belakang. Begitu perhatian. Sesekali membasuh air matanya.

Ibu yang berada di sampingku berbisik. "Yang berdiri dengan Rivan itu adalah anak dari ayahmu dengan wanita yang berada di luar kota."

"Lantas, di mana ibunya?" tanyaku dengan agak marah.

"Aku beritahu ke Rivan agar wanita itu tidak boleh datang. Anaknya boleh," kata ibu dengan suara yang begitu tegar.

Aku kembali memperhatikan anak itu. Tangisannya begitu membasahi pipihnya.

Rivan membasuhi pipinya dengan tisu. Sementara itu, ibu juga berupaya membasuh pipiku dengan sapu tangannya.

"Akh, ayah. Entah tangisanku dan tangisannya merupakan buah cinta yang engkau lukis pada kami?" tanyaku dalam hening pada pekatnya pikiranku di siang yang begitu riuh oleh orang-orang yang mau melihat ayah.

Salam Kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun